(Sumber : Okezone Muslim)

Fenomena Islamophobia: Islam, Negara dan Pemerintahan Indonesia

Riset Agama

Tulisan berjudul “Regimented Islamophobia: Islam, State, and Governmentality in Indonesia” merupakan karya Syaifudin Zuhri. Artikel ini terbit di Qudus International Journal of Islamic Studies (QIJIS) tahun 2021. Penelitian tersebut berusaha mengupas bagaimana “seni” mengatur Islam di Indonesia, yakni negara dengan mayoritas muslim yang tidak sekular dan tidak islami. Selain itu, penelitian tersebut berusaha menjelaskan bagaimana model pemerintahan dalam struktur negara dan politik. Alih-alih melihat Islamophobia sebagai praktik budaya, justru Islamophobia berkembang sebagian karena relasi kekuasaan antara penguasa dan “yang diperintah” disebut dengan ‘Islamophobia Beraturan\" (Regimented Islamophobia)’. Ketakutan akan ancaman Islam baik nyata maupun imajiner dapat dianggap sebagai tantangan kuat bagi kekuasaan dan otoritas rezim. Terdapat tiga sub bab dalam resume ini. Pertama, pendahuluan. Kedua, menengok masa lalu Indonesia. Ketiga, sebuah jalan: moderasi beragama. 

  

Pendahuluan 

  

Terdapat beberapa konsep terkait Islamophobia menurut beberapa tokoh. Pertama, Australian Psychological Society (APS) mendefinisikan fobia sebagai perasaan tidak nyaman dan cemas. Kedua, menurut Tudor dalam tulisannya berjudul “Sociology of Fear?” menganggap bahwa Islamophobia merupakan ketakutan yang ekstrem terhadap suatu hal, terutama sesuatu yang tidak masuk akal. Pada tingkatan sosiologis, fobia dapat berubah menjadi ‘budaya ketakutan’. Ketiga, menurut Zimmerman dalam artikelnya berjudul “A Review of: Hillel Schenker and Ziad Abu-Zayyad: Islamophobia and Anti-Semitism” menyatakan bahwa Islamophobia menunjukkan adanya ketakutan yang tidak masuk akal terhadap muslim dan Islam. Keempat, menurut Morgan & Poynting dalam bukunya berjudul “Global Islamophobia: Muslims and Moral Panic in the West” menyatakan bahwa Islamophobia adalah fenomena global yang berkembang dalam konteks berbeda dan berbenturan dengan berbagai bentuk praktik ideologis. Kelima, Faisal Devji dalam tulisannya berjudul “From Xinjiang to Germany: how did Islamophobia become a global phenomenon?” menyatakan bahwa istilah Islamophobia diciptakan selama 1990an, tidak mengacu pada buruh, seperti rasisme, atau modal, melainkan arena global tanpa politiknya sendiri. Islamophobia memberikan energi dalam konteks di mana negara tidak dapat menunjukkan penguasaan politik terhadap kekuatan non-negara, baik lingkungan, ekonomi maupun peradaban. Keenam, menurut Ramon Grosfoguel & Mielants dalam artikelnya yang berjudul “The Long-Durée Entanglement Between Islamophobia and Racism in the Modern/Colonial Capitalist/Patriarchal World-System: An Introduction” menyatakan bahwa Islamophobia adalah bentuk lama dari rasisme budaya barat yang berakar pada ekspansi kapitalisme dan kolonialisme. Secara sederhana, Islamophobia mengacu pada persepsi xenophobia terhadap Islam dan masyarakat muslim. 

  

Menengok Masa Lalu Indonesia

  

Pada pertengahan abad 16, para pedagang muslim dari Samudra-Hindia memperkenalkan Islam di kepulauan Indonesia. Selama beberapa abad berikutnya, wilayah Nusantara di bagian barat khususnya Pulau Jawa dan Sumatera menyetujui Islam sebagai agama resmi. Di Indonesia bagian Timur, Belanda berhasil mengonversi beberapa penduduk pribumi ke dalam agama Kristen. Alhasil, Islam harus bersaing dengan Kristen akrena pemerintahan kolonial Belanda mensponsori ekspansi besar-besaran agama Kristen yang menantang segala kegiatan misionaris muslim. Lebih Jauh, Belanda menganggap Islam sebagai ideologi berbegaya yang memicu kerusuhan sosial dan beberapa pemberontakan melawan otoritasnya. Salah satu pemberontakan terpopuler adalah pada akhir abad 19, para sufi kelompok Qadiriyah mengobarkan perang melawan pemerintah Belanda di Banten. 

  

Pemerintahan Belanda gagal dalam mengekang pemberontakan yang diilhami Islam diberbagai bagian di Indonesia. Selama tahun 1940-an, kekuasaan kolonial Jepang justru mempertahankan pemerintahan sebagai cara mengendalikan muslim. Alih-alih menghasut kekuatan Islam, Jepang justru mengagungkan semangat pemberontakan Islam, dengan menjadikan doktrin perang/jihad melawan kolonial Belanda. Alhasil, Jepang sepenuhnya mengendalikan MIAI (Majelis Islam Raya Indonesia) dan melatih milisi Muslim untuk berperang melawan Belanda. Kolonial Jepang menganggap doktrin jihad sebagai aliansi dengan tantara Jepang dalam perang melawan Belanda. 

  

Menjelang kemerdekaan Indonesia tahun 1945, secara khusus ketakutan terkait islamis dan sekular muncul melalui dua faksi ideologis di kalangan pemimpin Indonesia. Kaum Islamis menganggap agenda sekular-nasionalis sebagai ancaman bagi umat Islam di Indonesia untuk menjalankan agamanya. Orang-orang sekular-nasionalis menggap Islam sebagai ancaman potensial bagi persatuan negara di masa depan. Perpecahan antara keduanya memuncak pada malam kemerdekaan Indonesia. 

  

Sebuah Jalan: Moderasi Beragama

  

Pasca Orde baru, jihad di Indonesia muncul seabgai eksppresi kecemasan dengan latar belakang kegagalan Islam di arena politik formasl. Ekspresi radikal kelompok Islam mencontohkan ketidakpuasan politik dan strategi politik untuk mengangkat Islam sebagai satu-satunya faktor dalam politik negara sejak kemerdekaan Indonesia. Pasca reformasi, demokratisasi kembali menyoroti isu lama tentang bentuk sekularisme Indonesia, yakni mendefinisikan tempat dan ruang lingkup Islam dalam bernegara dan bermasyarakat, daripada menetapkan pemisahan jelas antara agama dan negara. Artinya, perdebatan yang terjadi berpusat pada bagimana kombinasi agama dan negara dinegosiasikan, yakni bagaimana menetapkan batas-batas masuknya agama dalam ranah politik Indonesia. Seiring dengan tuntutan demokrasi yang lebih besar, ancaman radikalisme dan terorisme, umat Islam Indonesia telah mengalami ‘pergantian moral Islam’, di mana Islam menjadi lebih signifikan bagi kehidupan muslim di Indonesia. Sekaligus, proliferasi simbol Islam yang telah muncul di ruang publik.

  

Greg Berton menyebut fenomena meningkatnya kesadaran Islam di kalangan muslim Indonesia disebut dengan santrifikasi yang mengacu pada peningkatan kesalehan dan kepatuhan yang lebih terhadap praktik Islam. Seiring dengan gelombang santrifikasi pasca reformasi, terjadi peningkatan jumlah serangan terhadap non-muslim dan minoritas muslim seperti Ahmadiyah. Menurut Bruinessen dalam tulisannya berjudul “Contemporary Developments in Indonesian Islam: Explaining “Conservative Turn” menyatakan bahwa beberapa tahun setelah reformasi, masyarakat Indonesia menyaksikan “conservative turn” yang kontras dengan “smiling face of Indonesian Islam” yang telah lama dikagumi. Hal ini menegaskan “kematian Islam moderat\", yang menjadikan rezim Pasca Orde Baru memiliki tantangan besar atas perkembangan Islam konservatif. 

  

Berdasarkan sudut pandang negara, gelombang konservatif Islam dipandang sebagai ancaman politik bagi negara dan kerukunan umat beragama di Indonesia. Kemudian, sebagai bentuk perlawanan terhadap Islam konservatif, negara secara resmi meluncurkan proyek moderasi beragama. Moderasi Beragama merupakan kelanjutan dari proyek kolonial maupun pascakolonial untuk mengatur Islam menjadi subjek politik pemerintahan afektif melalui interpretasi Islam yang tepat untuk mendfinisikan dan membangun subjektivitas politik dan agama. Agenda moderasi beragama bertujuan untuk memperkuat ideologi negara, yakni Pancasila. Alih-alih melihat Islam vis a vis Pancasila, moderasi beragama justru kembali menekankan kesesuaian Pancasila dan Islam. Menurut manifesto moderasi beragama, bentuk nasionalisme Indonesia secara eksklusif bersifat religius dan menggemakan apa yang disebut dengan “nasionalisme yang saleh”. 

  

Kesimpulan

  

Penelitian di atas lebih banyak mengulas terkait dengan praktik pemerintahan di Indonesia dari tinjauan sejarah. Artikel tersebut berusaha menawarkan wawasan baru mengenai bagaimana rezim politik yang menjalankan praktik pemerintahan di Indonesia melakukan seni dalam mengatur Islam dan mengendalikan aspirasi para muslim. Segala bentuk praktik pemerintahan yang dipilih bisa dianggap sebagai bagian dari stretegi kunci guna mendamaikan Islam pada masa kolonial dan pasca kolonial Indonesia. Di dalam sejarah politik Indonesia, praktik pemerintahan tersebut layaknya anggur lama dalam botol baru, yakni teknik yang dilakukan pemerintah Belanda sekaligus rezim setelah kemerdekaan Indonesia guna mengendalikan segala aspirasi muslim. Selain itu, artikel tersebut juga berpendapat bahwa Islamophobia di Indonesia berkembang karena negosiasi terus menerus di antara persaingan ideologi, aspirasi Islam, kebutuhan untuk melindungi stabilitas politik, memperdalam loyalitas kenegaraan, dan pada saat yang sama sentralitas Islam dalam pembuatan negara untuk memastikan dan membenarkan pemerintahan umat Islam. Di dalam politik Indonesia, meskipun Pancasila adalah jembatan ideologis antara sekular dan Islam, namun jalan tengah tersebut tampak mengabaikan kemunculan ‘Islamophobia Beraturan’. Islamophobia Beraturan berasal dari rezim politik yang mencoba mengumpulkan dukungan politik dari muslim untuk mengendalikan tujuan mereka dan mencegah interpretasi yang tidak diinginkan tentang Islam dan aspirasi muslim.