Islam Transformatif: Konsep Teologi Pembebasan Bagi Masyarakat Muslim Indonesia
Riset AgamaArtikel berjudul “Islam Transformatif: Conceptualizing Liberation Theology for Indonesian Muslim Society” merupakan karya Wahyudi Akmaliah dari Universitas Nasional, Singapura. Penelitian tersebut terbit di Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam tahun 2024. Tulisan tersebut mengkaji konsep Islam Transformatif sebagaimana dianut oleh Moeslim Abdurrahman, yang berada dalam konteks sosial politik rezim Suharto. Periode ini menyaksikan pertumbuhan ekonomi yang membayangi kemiskinan sistemik di kalangan Muslim Indonesia. Cara untuk membangun kerangka keadilan sosial yang mengadvokasi kelas bawah, Abdurrahman menafsirkan ulang perspektif Marxis melalui lensa Islam, yang menghasilkan teologi Islam transformatif. Terdapat empat sub bab dalam resume ini. Pertama, pendahuluan. Kedua, munculnya Islam Transformatif. Ketiga, Islam Transformatif sebagai teologi pembebasan Islam Indonesia. Keempat, Islam Transformatif sebagai metode.
Pendahuluan
Sumber-sumber Islam dapat digunakan sebagai referensi teori konseptual dalam ilmu sosial dan sebagai alternatif teologi pembebasan untuk mengidentifikasi bentuk-bentuk penindasan pada masyarakat Muslim. Pendekatan untuk menegakkan keadilan dalam masyarakat ini membentuk pengetahuan umum di seluruh dunia. Kembalinya ke prinsip dan ajaran inti agama ini dipandang sebagai respons terhadap kolonialisme dan pemerintahan otoriter, tetapi juga respons para pemikir Muslim yang dididik dalam lingkungan sekular.
Teologi pembebasan yang berkembang di Amerika Latin pada akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an tampaknya telah mengilhami gagasan ini di dunia Muslim. Teologi pembebasan muncul sebagai konsep penting di dunia Muslim, khususnya di antara para sarjana dan intelektual Muslim yang ingin mengatasi masalah masyarakat mereka. Guna mengontekstualisasikan tantangan hidup di dunia global, para pemikir Muslim mencoba mengonseptualisasikan teologi pembebasan Islam sebagai cara alternatif untuk menantang struktur dan ketidaksetaraan global. Secara khusus, mereka mengkritik kapitalisme neo-global yang telah berdampak pada sebagian besar negara Muslim, menawarkan wacana alternatif bagi gerakan reformasi Islam tradisional.
Teologi pembebasan Islam di dunia Melayu, khususnya di Indonesia, telah dibahas oleh para pemikir Muslim seperti Abdurrahman Wahid (1940-2009), Kuntowijoyo (1943-2005), Mansur Fakih (1953-2004), dan Moeslim Abdurrahman (1948-2012). Gagasan yang mereka ajukan tidak diterima secara luas di Indonesia, dan hanya sedikit penelitian yang meneliti dampaknya di tingkat internasional. Masuk akal jika jangkauan para cendekiawan tersebut terbatas karena terbatasnya jangkauan publikasi dalam bahasa Indonesia dan fakta bahwa Indonesia terletak di pinggiran jantung Muslim tradisional di Timur Tengah. Lebih jauh, keilmuan Indonesia kurang terwakili dan tidak diberi perhatian internasional yang layak, mengingat negara ini adalah rumah bagi populasi Muslim terbesar di dunia. Selain itu, ilmu sosial sebagian besar didominasi oleh keilmuan Amerika dan Eropa, yang tercermin dalam kurikulum universitas di Indonesia. Saat ini, para cendekiawan Indonesia akrab dengan ilmu sosial Barat. Mereka lulus dari universitas-universitas Barat dan mengajarkan gagasan yang sama di universitas-universitas negeri di Indonesia.
Munculnya Islam Transformatif
Pada masa pemerintahan Soeharto, tidak ada wacana yang sah tentang masyarakat kelas dan perjuangan kelas. Guna memahami rezim Orde Baru melalui lensa ilmu sosial, para kritikusnya mempelajari teori ketergantungan dan neo-Marxisme, diskusi mereka berpuncak pada pembentukan Forum Transformatif Ilmu Sosial (1980-1990). Meskipun para intelektual terkemuka gagal menghasilkan banyak literatur, mereka berhasil memulai sebuah proyek yang membahas peran kelas menengah Indonesia dalam membentuk opini publik dan menghasut perubahan sosial. Pada konteks ini, Moeslim Abdurrahman mengembangkan konsep Islam Transformatif dengan menyoroti kegagalan sistem Orde Baru dalam mewujudkan pembangunan seluruh rakyat Indonesia termasuk kaum miskin yang terpinggirkan. Ia menawarkan pendekatan alternatif dengan menggabungkan prinsip kiri dengan prinsip Islam, sehingga mengakui tradisi pengetahuan Barat dan tradisi pengetahuan Islam dalam pemikiran Indonesia modern sejak masa kepresidenan Sukarno, dengan penekanannya pada pembangunan nasional. Pada konteks ini, peran transforma tif dimainkan oleh lembaga Islam yang diatur oleh Kementerian Agama.
Abdurrahman secara eksplisit mengidentifikasi tiga isu utama terkai dengan kemiskinan massal yang disebabkan oleh kebijakan pembangunan nasional. Pertama, teks-teks sumber keagamaan tidak digunakan untuk mengidentifikasi akar penyebab kemiskinan yang meluas dan distribusi sumber daya yang tidak merata. Baginya, Islam harus menjadi inspirasi bagi umat Islam yang harus merasa terdorong secara moral untuk membela hak-hak kelompok yang tertindas dan terpinggirkan dalam masyarakat. Kedua, lembaga-lembaga keagamaan harus secara aktif mendekati kelompok-kelompok tersebut, menawarkan mereka pelajaran agama (majelis taklim) yang relevan dengan situasi mereka dan mengatasi masalah mereka. Ketiga, lembaga-lembaga keagamaan tidak menawarkan dukungan ekonomi dan sosial kepada mereka yang membutuhkan. Ia mengamati bahwa orang-orang miskin sama sekali tidak dibimbing, didukung, atau diberdayakan untuk memperbaiki kondisi mereka dan memperoleh akses mobilitas “ke atas.”
Baca Juga : Rekonstruksi Studi Sufisme Sosial
Islam Transformatif sebagai Teologi Pembebasan Islam Indonesia
Kebijakan pembangunan yang dilaksanakan oleh rezim otoriter Suharto memberikan latar belakang langsung bagi Islam Transformatif. Selama periode ini, menjadi jelas bahwa ada sebagian besar masyarakat, masyarakat miskin Indonesia, yang tersisihkan dari wacana Islam dan yang kepentingannya tidak terwakili oleh organisasi-organisasi Islam. Organisasi-organisasi Muslim terkemuka seperti Muhammadiyah dan NU telah mendirikan lembaga pendidikan Islam (pesantren) dan mengambil peran utama dalam perjuangan budaya. Hal ini merupakan realitas objektif untuk menciptakan ruang yang kondusif bagi panggilan keagamaan yang radikal. Oleh karena itu, Abdurrahman memutuskan untuk memperkenalkan Islam Transformatif untuk menuntun masyarakat Muslim menjauh dari konservatisme dan kepasifan agama dan menuju aktivisme sosial, menantang status quo. Menafsirkan sumber-sumber Islam dari perspektif ilmu sosial Barat menjadi tujuan utamanya, ini membentuk pendekatan baru terhadap aktivisme sosial.
Cara untuk melaksanakan teologi Islam Transformatif dengan tujuan untuk mengubah masyarakat melalui Islam, tiga langkah awal yang harus diambil untuk mengembangkan agensi. Pertama, lingkaran kelompok kecil harus diorganisasikan di setiap komunitas, yang dihadiri oleh penduduk setempat dari semua latar belakang untuk membahas masalah mereka. Abdurrahman menyarankan agar kelompok-kelompok kecil ini kemudian dapat melanjutkan untuk menyelenggarakan lembaga-lembaga Islam informal.
Kedua, komunitas ekonomi baru harus dibangun sebagai sumber daya bagi anggota organisasi. Fungsi komunitas baru ini adalah untuk membangkitkan kesadaran baru dan menjadi agen penggerak transformasi sosial. Tidak diragukan lagi, kekuatan kolaborasi harus ditingkatkan dengan bantuan para intelektual dan cendekiawan Indonesia yang menguasai tradisi ilmu sosial dan tradisi Islam.
Ketiga, komunitas baru tersebut harus mencakup kelas buruh tani dan buruh industri, sehingga mereka dapat memperjuangkan kepentingan mereka sendiri, bukan diwakili oleh aktivis LSM dan dimanfaatkan untuk proyek-proyek sosial mereka. Melakukan ketiga fungsi di atas, Islam Transformatif dapat diimplementasikan di tingkat akar rumput, yang pada akhirnya mencapai keadilan sosial.
Islam Transformatif Sebagai Metode
Islam Transformatif juga dapat diposisikan sebagai metode untuk menawarkan kritik yang kuat terhadap masyarakat Muslim di Indonesia. Sekaligus, berfungsi sebagai perspektif yang dapat digunakan dengan berfokus pada tiga aspek utama. Pertama, ada masalah ekstremisme dan terorisme Islam. Organisasi-organisasi Islam besar seperti Muhammadiyah dan NU berpendapat bahwa salah tafsir terhadap Islam disebabkan oleh faktor-faktor budaya seperti identitas politik, jaringan sosial, dan pemahaman agama sebagai penyebab utama kekerasan bermotif agama. Teks-teks sumber Islam dapat ditafsirkan secara selektif untuk mendukung ideologi Islamis. Motif-motif yang mendasarinya dapat ditemukan dalam masyarakat. Namun, wacana arus utama Islam hampir tidak membahas kemiskinan dan kurangnya pendidikan sebagai akar penyebab ekstremisme dan kekerasan agama. Baik Muhammadiyah maupun NU tidak membahas masalah ketimpangan ekonomi yang tertanam dalam struktur tersebut. Ribuan pengikut dari latar belakang terpinggirkan dengan mudah menjawab panggilan para pemimpin Islam populis dan dapat dimobilisasi untuk protes massa yang mengancam perdamaian publik.
Kedua, gerakan Hijrah merupakan tren terkini di kalangan pemuda Muslim Indonesia saat ini, yang berfokus pada transformasi moral dan spiritual. Gerakan sosial ini berbeda dengan organisasi arus utama konservatif Muhammadiyah dan NU karena merupakan gerakan akar rumput tanpa struktur hierarki yang jelas. Gerakan ini didominasi oleh pemuda Muslim yang tidak lagi dapat mengidentifikasi diri dengan struktur kekuasaan tradisional, dan lebih memilih organisasi yang longgar. Hijrah telah menjadi simbol kekuatan dan agensi individu untuk mencari pembebasan dan keselamatan spiritual daripada bergantung pada lembaga dan otoritas agama. Individu seperti Hanan Attaki telah berhasil menciptakan citra baru \' ustadz keren\' yang mewakili jenis otoritas keagamaan informal baru bagi pemuda Indonesia.
Ketiga, munculnya struktur oligarki dan politik predatoris harus menjadi perhatian masyarakat Muslim. Jika mengadopsi Islam Transformatif, organisasi arus utama seperti Muhammadiyah dan NU harus memberi lebih banyak ruang kepada aktivis sosial, dengan demikian menekankan peran asli Islam sebagai kekuatan revolusioner untuk membawa perubahan radikal dalam masyarakat daripada melegitimasi status quo. Meskipun Muhammadiyah dan NU memiliki potensi untuk bertindak sebagai agen utama perubahan masyarakat, mereka juga menghadapi kritik atas hubungan dekat mereka dengan kekuatan politik yang dominan dalam pemerintahan Indonesia selama bertahun-tahun.
Kesimpulan
Secara garis besar, artikel tersebut mengkaji teologi pembebasan Islam Moeslim Abdurrahman untuk mengkritik ketimpangan ekonomi Indonesia sebagai akibat dari kebijakan pembangunan nasional Soeharto. Kelas bawah menderita kemiskinan dan pengangguran yang meningkat selama dan setelah rezim otoriter, hingga era Reformasi. Konsepnya menjawab kritik Anuqrah terhadap studi masyarakat Muslim Indonesia, yang jarang menggunakan perspektif ekonomi politik karena praktik pembungkaman dalam wacana ilmu sosial. Meskipun Islam mengambil posisi sebagai kekuatan dominan di ruang publik, banyak ilmuwan sosial terkemuka Indonesia mempelajari masyarakat Muslim tanpa memperhitungkan kontribusi ulama Islam di bidangnya. Moeslim Abdurrahman membahas struktur politik dan ekonomi di Asia Tenggara dari perspektif ilmu sosial, dengan mengacu pada sumber-sumber Islam yang ditafsirkannya untuk mendukung kelas bawah. Ia berhasil mempersoalkan isu-isu dan tantangan dalam masyarakat Indonesia dan mengembangkan konsep Islam Transformatif sejalan dengan teori Marxis yang diperluas tentang cara produksi.