(Sumber : NU Online)

Khilafah dalam Perspektif Ulama Nahdalatul Ulama, Muhammadiyah dan Nahdlatul Wathan

Riset Agama

Tulisan berjudul “Khilafah the View of Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, and Nahdlatul Wathan (NW) Ulema in Lombok” adalah karya Musawar dan Gatot Suhirman. Artikel ini terbit di Journal of Islamic Studies “Al-Jami’ah” tahun 2021. Penelitian tersebut berusaha untuk mengeksplorasi konsep khilafah menurut ulama dari tiga organisasi massa Islam di Lombok, yakni Nahdlatul Ulama (NU), Muhammdiyah dan Nahdlatul Wathan (NW). Data dalam penelitian ini diperoleh melalui wawancara, observasi dan arsip terkait tiga ormas Islam tersebut. Terdapat empat sub bab dalam review ini. Pertama, sekilas penelitian. Kedua, khilafah menurut ulama Nahdlatul Ulama (NU) di Lombok. Ketiga, khilafah menurut ulama Muhammadiyah di Lombok. Keempat, khilafah menurut ulama Nahdlatul Wathan (NW) di Lombok. 

  

Sekilas Penelitian

  

Pada awal pendahuluan, Musawar dan Gatot Suhirman menuliskan beberapa hal yang dapat menggiring pemahaman, alur penelitian, sekaligus alasan mengapa penelitian ini berbeda dan layak. Pertama, penjelasan terkait dengan fakta Indonesia sebagai negara yang unik dengan berbagai keragamannya. Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri lebih dari 13.000 pulau dengan 81.000 km garis pantai dengan berbagai latar belakang suku, budaya, adat dan agama masyarakat. 

  

Kedua, kekhawatiran atas munculnya berbagai konflik karena munculnya beberapa golongan. Misalnya, kelompok garis keras seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang menyebarkan konsep kehilafahan Islam, sehingga mengancam persatuan bangsa. Lebih lanjut, peneliti mengungkapkan tiga alasan mengapa HTI dilarang di Indonesia, yakni (1) sebagai badan hukum, HTI tidak menjalankan peran positif dalam memajukan tujuan nasional; (2) agenda yang dilaksanakan bertentangan dengan tujuan, prinsip dan karakteristik lima prinsip dasar NKRI yakni Pancasila, UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang organisasi kemasyarakatan; (3) gerakan yang diusung HTI seringkali menimbulkan kerusuhan komunal yang berujung pada disharmoni sosial.

  

Ketiga, konsep-konsep yang digunakan dalam penelitian, yakni konsep khilafah dan konsep demokrasi. Konsep khilafah menurut Wahbah al-Zuhaily dalam tulisannya berjudul “al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh” menyatakan bahwa khilafah adalah kepemimpinan yang pada umumnya mengikuti nabi dengan mengatur urusan agama dan politik. Berdasarkan pengertian di atas, maka konsep khilafah didefinisikan sebagai pejabat pemerintah yang dipegang publik, serta mengacu pada manajemen pemerintahan yang dikelola oleh satu orang. Konsep demokrasi menurut Mochammad Parmudi dalam tulisannya berjudul “Islam dan Demokrasi di Indonesia: Perspektif Pengembangan Pemikiran Politik Islam” menyatakan bahwa rakyat memiliki kekuasaan dan kedaulatan yang diterapkan dalam bentuk pemerintahan berdasarkan nilai kebebasan, persamaan, persaudaraan dan keadilan, penghormatan terhadap HAM, perlindunngan, pluralisme, toleransi dan kemanusiaan. 

  

Khilafah Menurut Ulama Nahdlatul Ulama (NU) di Lombok   

  

Penelitian ini jelas menunjukkan bahwa para ulama NU di Lombok sepakat menentang khilafah sebagai sistem pemerintahan negara modern. Lebih lanjut, masyarakat menunjukkan tiga pandangan yang berbeda terkait dengan konsep khilafah. Pertama, kelompok garis keras yang sangat mendukung sistem tersebut dan menganggapnya sebagai pemahaman dan penerapan syariat Islam. Masyarakat dalam golongan pertama ini menganggap sesuatu yang berbeda dari hukum Islam adalah sebuah kesalahan/dikutuk keras. Kedua, kelompok demokratis yang menganggap bahwa terdapat tiga nilai utama demokratis yakni kebebasan, keadilan dan musyawarah. Kelompok ini diwakili oleh tokoh nasional terkemuka, sperti Abdurrahman Wahid dan Nurcholish. Ketiga, anggapan bahwa konsep khilafah yang mengacu pada partai moderat dengan penerimaan khilafah secara umum. Anggapan ini mengusung bahwa setiap orang dapat berperan sebagai khilafah, setidaknya untuk diri sendiri dan khalifah yang memimpin suatu negara. Keempat, golongan yang memandang bahwa khilafah sebagai suksesi pemimpin dalam bentuk apa pun, maka siapa pun yang menjadi pemimpin atau menggantikan pemimpin sebelumnya adalah khalifah dengan nama yang diganti-ganti. 

  

Berdasarkan empat golongan di atas, pemikiran para Ulama NU di Lombok condong pada golongan keempat bahwa khilafah merupakan masa suksesi pemimpin sebelumnya. Siapa pun yang menjadi pemimpin/penguasa dan menggantikan pemimpin sebelumnya disebut khilafah. Oleh sebab itu, makna khilafah terlepas dari karakteristik pemimpin selama mendapatkan kekuasaan secara demokratis atau terpaksa, ia tetap dianggap sebagai khilafah. Artinya, presiden terpilih Indonesia adalah khilafah tanpa mendirikan negara berbasis khilafah. 


Baca Juga : Ust. Abdul Somad, Islah Bahrawi dan Bom Bunuh Diri

  

Lebih lanjut Musawar dan Gatot Suhirman menjelaskan beberapa poin sebagai alasan mendasar atas ketegasan sikap NU terhadap konsep khilafah. Pertama, Al-Islÿm dn shÿmil kÿmil (Islam adalah agama yang sempurna). Kedua, Naÿb al-imÿm (memilih pemimpin adalah kewajiban dalam hukum). Ketiga, Islam tidak menentukan atau mewajibakan bentuk negara dan sistem pemerintahan tertentu bagi pemeluknya. Keempat, khilafah sebagai sistem pemerintahan merupakan fakta sejarah yang dipraktikkan al-Khulafÿ` al-Rÿshidÿn. Model ini cocok pada zamannya. Kelima, NKRI merupakan hasil kesepakatan kebangsaan yang luhur antara pendiri bangsa. Keenam, muslim tidak boleh terjebak dalam simbol formalitas nama yang tampak Islami, namun harus berkomitmen pada substansi segala sesuatu sesuai dengan “Al-‘Ibratu bi al-Jawāhir Lā al-Mazhhar” and “Al-‘Ibratu bi al-Musammā Lā bi al-‘Ism”.

  

Khilafah Menurut Ulama Muhammadiyah di Lombok

  

Di awal sub bab terkait pendapat para ulama Muhammadiyah terkait khilafah, Musawar dan Gatot Suhirman menjelaskan tulisan berbagai tokoh, seperti Ajat Sudrajat, Haikal, dan Din Syamsuddin. Selain itu, kedua peneliti tersebut juga sedikit mengulas terkait khilafah yang secara tekis sebagai lembaga pemerintahan dalam Islam berdasarkan al-Qur’an dan sunnah. Lebih lanjut, penjelasan singkat terkait dengan sejarah dan bentuk pemerintahan Islam.

  

Secara garis besar, pandangan khilafah menurut ulama Muhammadiyah di Lombok bisa dilihat dari hasil Kongres tahun 2015 yang menekankan Pancasila sebagai “Dār al-‘Ahdi wa al- Shahādah”. Konsep khilafah dalam perspektif ulama Muhammadiyah tidak berbeda dengan pandangan para pengurus NU. Hal ini dibuktikan ketika akhir tahun 2018 di mana NU dan Muhammdiyah memutuskan bahwa sistem khilafah tidak akan pernah bisa diterapkan di Indonesia karena berbagai alasan. Kesepakatan ini bertujuan untuk kemaslahatan bersama karena memiliki hikmah, baik bagi muslim maupun non muslim untuk hidup bersama dalam kerukunan. 

  

Khilafah Menurut Ulama Nahdlatul Wathan (NW) di Lombok

  

Berbeda dengan penjelasan sub bab terkait khilafah dalam perspektif ulama NU dan Muhammadiyah sebelumnya, terkait dengan Nahdlatul Wathan (NW), Musawar dan Gatot Suhirman menjelaskan profil singkatnya. Nahdlatul Wathan merupakan salah satu organisasi massa Islam lokal di pulau Lombok yang secara khusus membantu menjaga keragaman dan persatuan. Saat ini, konsep khilafah yang banyak digemborkan menjadi perhatian tersendiri, sebab dapat mengancam persatuan dan kerukunan. 

  

Tokoh NW menyatakan bahwa siapa pun yang terpikih menjadi imam Islam tertinggi di Indonesia, ia juga bisa dikategorikan sebagai khalifah dengan mengacu pada tujuan awal sistem khilafah, yakni satu khilafah memimpin seluruh dunia bukan satu negara. artinya, gelar khilafah hanya sebatas sebutan, sama halnya dengan gelar raja, presiden, maupun sultan. NKRI sudah final dan sejalan dengan konteks multikultural di mana setiap orang memiliki hak politik, sosial, dan pendidikan yang sama. 

  

Secara khusus, gagasan khilafah dapat disangkal karena bertentangan dengan kesepakatan negara-bangsa Republik Indonesia di mana hak publik untuk mengekspresikan kegiatan keagamaan dan sosial dilegalkan. Oleh sebab itu, Indonesia dapat dikategorikan sebagai khilafah dalam konteks pemilihan kepemimpinan karena sesuai dengan esensi khilafah yakni kepemimpinan untuk mengatur kebutuhan publik. Konsep khilafah yang diusung oleh HTI tidak ada artinya, sebab Indonesia telah dianggap sebagai khilafah dengan mengacu pada kepemimpinan jenis apa pun, sekaligus negara dikendalikan oleh pemimpin yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, konsep khilafah yang ditawarkan oleh HTI tidak sesuai dengan prinsip Indonesia yakni Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika sebagai dasar negara. 

  

Kesimpulan

  

Secara garis besar penelitian tersebut menunjukan tiga hal, yakni NU menolak khilafah karena condong mirip pada ekstremisme, Muhammadiyah menolak khilafah sebagai sistem, namun masih bisa menerima sebagai budaya, NW menolaknya karena kontradiksi dengan sistem republik. Selain itu, secara umum para ulama NU, Muhammadiyah dan NW di Lombok menyepakati sifat khilafah. Secara linguistik, ulama ketiga ormas Islam tersebut memiliki kesamaan definisi tentang kepemimpinan yang pada dasarnya memampukan setiap orang menjadi pemimpin baik diri sendiri atau suatu daerah. Selain itu, mereka menyepakati gagasan khilafah yang berarti kesejahteraan masyarakat dijamin di bawah naungan pemimpin tertentu yang mengelola dan mengatur negara. Penelitian ini sangat menarik dengan mencoba membandingkan perbedaan dan persamaan perspektif khilafah dari kalangan ulama tiga ormas Islam. Hasil penelitian tersebut dituliskan secara runtut di setiap sub babnya, sehingga dengan mudah pembaca memahami hasilnya.