(Sumber : Kumparan )

Kritik Tekstual dalam Memahami Hadis

Riset Agama

Artikel berjudul “A Critical Approach to Prophetic Traditions: Contextual Criticism in Understanding Hadith” merupakan karya Wasman, Mesraini, dan Suwendi. Tulisan ini terbit di Journal of Islamic Studies “Al-Jami’ah” tahun 2023. Studi ini mengkaji wacana kritik hadis, memberikan gambaran analitis dan pendekatan kritis mengenai bagaimana keabsahan sebuah hadis dapat ditentukan. Selain itu, studi ini mengkaji bagaimana pentingnya makna hadis dalam kajian hadis. Terdapat lima sub bab dalam resume ini. Pertama, pendahuluan. Kedua, kritik hadis: kritik historis dan eidetik. Ketiga, kritik makna hadis. Keempat, signifikansi pemahaman hadis. Kelima, pemahaman hadis ke kritik praktis. 

  

Pendahuluan

  

Di antara warisan berharga dari generasi terdahulu dalam upaya menjaga otensitas hadis ialah metode penelitian rantai periwayat dan teks hadis. Kemudian, dikenal dengan nama ‘kritik hadis’ yang tercermin pada beberapa ‘mata pelajaran’ tradisional. Hakikat kritik hadis (naqd al-hadith) yakni mengkaji sanad dan matan hadis, sehingga dapat dipastikan orisinalitasnya. Meskipun upaya ini sudah ada sejak zaman nabi, namun istilah naqd muncul pada abad kedua Hijriah. Al-Qur’an sendiri tidak menggunakan istilah tersebut untuk menunjukkan arti kritik, melainkan “yamiz”, sebagaimana tertuang dalam Q.S Ali Imran (3): 79. 

  

Pendekatan tradisional terhadap kritik hadis terbatas pada pemeriksaan validitas rangkaian ‘sanad’ dan teksnya (matn) dengan penekanan pada yang pertama. Saat ini, ilmu kritik hadis telah berkembang secara signifikan. Selain genre kritik hadis dengan mengikuti pendekatan tradisional, keilmuan hadis kontemporer dicirikan juga dengan minat yang tumbuh dalam mengembangkan pendekatan baru terhadap kritik hadis. Terlepas dari perbedaan metodologi, keilmuan hadis kontemporer tampaknya setuju dengan pemahaman yang benar dalam menerima keabsahan hadis. 

  

Terdapat dua pendekatan yang jelas di kalangan akademisi berkenaan dengan pemahaman atau penafsiran sumber-sumber Islam, yakni lebih mengutamakan penafsiran tekstual dan yang lain mendukung penafsiran kontekstual. Secara teoretis, proses memahami dan menafsirkan sebuah teks dengan mengasumsikan ada tiga subjek yang terlibat yakni konteks penulis, teks dan pembaca. Alhasil, secara inheren dapat digambarkan struktur triadik seni tafsir yakni 1) tanda atau pesan atau teks, 2) perantara atau penafsir, 3) khalayak. Secara implisit, struktur triadik tersebut mengandung permasalahan dalam menilai sebuah hadis yakni hakikat teks, metode yang digunakan untuk memahami teks, dan bagaimana pemahaman dan interpretasi ditentukan oleh anggapan khalayak. 

  

Kritik Hadis: Kritik Historis dan Eidetik 

  

Secara etimologi, istilah kritik hadis (naqd al-hadits) terdiri dari dua kata. Naqd berarti memilah, meneliti dan mengkritik seperti dalam ungkapan “naqada al-darāhima wa ghairahā” yang berarti memilah dan mengkritisinya sehingga diketahui hadis mana yang benar dan sebaliknya. Hal ini menunjukkan bahwa kritik hadis memiliki dua sasaran. Pertama, kritik sanad yang lebih dikenal “al-naqd al-khārijī” yakni kritik eksternal berarti kritik terhadap sederet perawi hadis dengan kriteria tertentu agar diketahui sumber riwayat suatu hadis. Tujuannya adalah menyelidiki tingkat keabsahan sanad. Kedua, kritik internal yang dikenal “al-naqd al-dākhilī” berarti kritik terhadap teks. Tujuannya untuk menentukan keabsahan teks. 

  

Menurut Hassan Hanafi dalam tulisannya berjudul “Dirāsāt Islāmiyyah”, kritik sanad adalah kritik sejarah, sedangkan kritik matan yang berkaitan dengan makna hadis disebut dengan kritik eidetik. Ia juga menawarkan kritik tahap akhir yang disebut kritik praktis yakni penerapan makna yang diperoleh dari keritik eidetik ke dalam konteks kekinian. Kritik sanad beranggapan bahwa pemahaman tidak mungkin sahih jika tidak ada kepastian mengenai apa yang dipahami akurat secara historis. Autentisitas teks agama harus diuji atas dasar kritik sejarah bukan atas dasar keyakinan, kritik teologis, filosofis, mistis atau spiritual. Kajian sejarah hadis menunjukkan bahwa sebuah hadis telah mengalami proses ‘pemeriksaan’ sejarah yang panjang, kemudian menjadi wacana tekstual sebagaimana tertuang dalam kitab hadis.


Baca Juga : Kontribusi Nilai-Nilai Islam dalam Mencapai Sustainable Environment

  

Jika kritik sanad biasa dikenal dengan kritik eksternal, maka kritik matan menyangkut aspek internal hadis. Istilah ini dikaitkan dengan orientasi kritis terhadap matan itu sendiri, yang menitikberatkan pada teks hadis sebagai inti sari dari apa yang disabdakan Nabi dan ditransmisikan kepada generasi berikutnya baik secara verbal maupun substantif. Secara garis besar, ulama hadis mengembangkan metodologi kritik matan dengan dua kerangka dasar. Pertama, memeriksa validitas dan integritas teks. Kedua, menguji keabsahan isi ajaran Islam yang disajikan secara lisan oleh para perawi hadis dalam bentuk ungkapan konseptual teks. 

  

Istilah kritik matan dipahami sebagai pemeriksaan keabsahan matan suatu hadis yang dilakukan untuk memisahkan hadis yang sahih dan tidak. Artinya, kritik matan tidak dimaksudkan untuk mendekonstruksi atau menggoyahkan dasar ajaran Islam dengan mencari kelemahan dalam sabda Nabi, melainkan lebih diarahkan pada analisis redaksional sekaligus pemaknaan guna menetapkan keabsahan sebuah hadis. Alhasil, kritik terhadap matan merupakan upaya positif dalam rangka menjaga keutuhan hadis, sekaligus pemahaman habis Nabi secara lebih akurat.

  

Kritik Makna Hadis

  

Kritik terhadap makna hadis berkaitan dengan substansi atau konsep ajaran yang dibawa oleh matan. Diterima atau ditolaknya sebuah hadis bergantung pada bagaimana hadis tersebut dipahami. Makna hadis adalah pemeriksaan terhadap substansi yang dapat dipahami seseorang dari teks hadis dengan mengaktifkan potensi intelektualnya. Memahami makna hadis telah lama menjadi bagian dari disiplin ilmu hadis. 

  

Rumusan makna hadis sangat menonjol di kalangan ulama hadis dan data dokumenternya tersebar pada kitab-kitab tafsir hadis. Kecenderungan tafsir dipengaruhi oleh latar belakang budaya, peminatan keilmuan, aliran, orientasi metodologi kajian dan lain sebagainya. Tafsir hadis menggambarkan rangkaian penjelasan kosa kata, mengkaji lafal ‘gharib’, menjelaskan makna struktur kalimat, menaksir kedalaman makna, dan menarik kesimpulan mengenai esensi ajarannya. Upaya merumuskan konsep tema ajaran Islam secara utuh tidak dapat dipisahkan dari perspektif hadis sebagai sumber ajaran dalam Islam. Guna dapat diterima sebagai bagian dari ajaran tersebut, substansi yang terkandung dalam hadis harus terlebih dahulu melewati serangkaian uji reliabilitas. Berdasarkan segi pemahaman hadis, sebuah hadis tidak dapat diakui dan diterima jika substansinya bertentangan dengan dalil lain yang lebih kuat, serta diakui oleh syariat. 

  

Secara umum, para ulama hadis kontemporer menyepakati beberapa tolak ukur atau kriteria kritik hadis. Tolak ukur ini pada dasarnya merupakan hasil perumusan kembali kriteria-kriteria yang telah dikemukakan oleh banyak ulama sebelumnya. Di antaranya adalah 1) tidak melanggar petunjuk eksplisit al-Qur’an, 2) tidak melanggar hadis yang telah diakui kebenarannya dan tidak melanggar fakta ‘sirah nabawiyyah’, 3) tidak melanggar pandangan akal sehat, data empiris, dan fakta sejarah, 4) layak sebagai ekspresi otoritas kenabian. 

  

Signifikansi Pemahaman Hadis

  


Baca Juga : Islam dan Pasifisme

Menilik keabsahan teks hadis, diterima atau tidak, diperlukan pemahaman tertentu terhadap teks hadis itu sendiri. Suatu pemahaman dapat berimplikasi pada penolakan terhadap teks. Namun, ketika ditafsirkan secara berbeda, hal tersebut dapat membuatnya dapat diterima. Di dalam bahasa Arab, kata memahami diwakili dengan kata ‘fiqh’. Secara linguistik, fikih berarti memahami sesuatu dan memahaminya. 

  

Secara umum, terdapat dua pendekatan dalam memahami hadis. Pertama, pendekatan tekstual yang bertumpu pada makna lahiriah dan teks hadis. Pendekatan tekstual dalam menafsirkan hadis menuntut ketaatan pada teks secara kaku dan bertumpu pada aspek keabsahan ‘lahiriyah-harfiyah’ dari sebuah teks. Memahami teks hadis dari aspek tersebut pada dasarnya merupakan langkah awal dalam proses pemahaman. Namun, dalam pendekatan tekstual pemahaman bahasa merupakan akhir dari proses. Bagi para tekstualis, makna hadis dibakukan dan penerapannya bersifat universal. Keyakinan akan objektivitas makna didasarkan pada dua asumsi. Pertama, teks hadis menggunakan bahasa Arab, sehingga jika seseorang dapat mengetahui penggunaan bahasa dalam hadis dengan merujuk pada dalil linguistik, maka dapat dipastikan maknanya. Kedua, objektivitas dapat dicapai jika mengacu pada sejarah seperti pandangan para sahabat. Keyakinan akan objektivitas makna, tekstualis condong kaku dalam memahami. Pendekatan tekstual berpedoman pada prinsip bahwa sebuah teks dapat ditafsirkan dari bentuk umum lafalnya dan bukan konteks khusus yang menyebabkan lahirnya. 

  

Kedua, pendekatan kontekstual lebih fokus pada pengungkapan konteks seputar asal-usul suatu peristiwa. Asumsi yang mendasari pendekatan ini adalah sebagai sebuah teks, hadis dapat menghadapi masalah layaknya teks lain yakni tidak dapat menyajikan gagasan utuh dan latar situasional yang melingkupinya. Ketika segala sesuatu berkaitan dengan Nabi dituliskan dalam rumusan hadis, maka penyempitan atau pelebaran makna dan nuansa tidak bisa dihindari. 

  

Pemahaman Hadis ke Kritik Praktis

  

Setelah upaya memahami teks hadis dari sudut linguistik, konteks sosio-historis dan makna moral universalnya, langkah selanjutnya dalam memahami hadis berkaitan dengan bagaimana hasil pemahaman tersebut diwujudkan dalam konteks kekinian. Berdasarkan nomenklatur Hassan Hanafi langkah ini disebut kritik praktis yakni upaya memperkenalkan makna teks agama ke dalam kehidupan manusia saat ini. Pada tahap kritik praktis pemahaman hadis, konstruksi rasional universal atau tujuan moral-sosial universal yang diperoleh dari proses generalisasi pada tahap kritik eidetik diproyeksikan pada realitas kehidupan kontemporer, sehingga memiliki makna praktis untuk dipecahkan.

  

Melakukan kajian yang cermat terhadap situasi saat ini dan analisis berbagai realitas, sehingga dapat menilai situasi saat ini, dan mengubah kondisinya sesuai kebutuhan, serta menentukan prioritas baru untuk dapat mengimplementasi nilai-nilai hadis baru degan baik adalah suatu keharusan. Pada tahap analisis realitas masa kini dan sejarah, jelas dibutuhkan peran interdisipliner. Artinya, diperlukan konfirmasi dari pakar sosial, politik, ekonomi dan lainnya sangat penting. 

  

Kesimpulan

  

Secara garis besar, studi tersebut berpendapat bahwa penerimaan dan validitas hadis sangat ditentukan oleh bagaimana hadis dipahami dan ditafsirkan. Alhasil, pemahaman hadis merupakan komponen penting dari kritik hadis. Artikel tersebut juga menyarankan secara tersirat bahwa pemahaman kontekstual adalah pendekatan yang paling dapat diandalkan untuk memahami hadis. Selain itu, penelitian ini membuktikan pentingnya pemahaman dalam kritik hadis dan bagaimana hal itu diperlukan dalam menentukan keabsahan hadis. Hal ini merupakan metode tambahan guna penerapan metodologi kritik hadis.