(Sumber : www.nursyamcentre.com)

Membangun Harmonisasi Agama Melalui Diplomasi

Riset Agama

Tulisan berjudul “Islam, Local “Strongmen”, And Multi-Track Diplomacies In Building Religious Harmony in Papua” merupakan karya Idrus Al Hamid. Karya ini terbit di Journal of Indonesian Islam tahun 2020. Idrus Al Hamid menjelaskan tiga hal penting dalam tulisannya. Pertama, studi sosio-antropologis mengenai bagaimana dinamika Islam dan kelompok muslim terkait dengan transformasi masyarakat. Kedua, analisa peran pemuka agama Islam dalam membangun kerukunan umat beragama melalui perspektif “orang kuat” lokal. Ketiga, pembingkaian ulang dalam upaya mewujudkan kerukunan berbangsa, beragama dan kehidupan sosial melalui pendekatan diplomasi multitrack. Penelitian Idrus Al Hamid menggunakan pendekatan etnografi yang seccara garis besar fokus terhadap dinamika sosial budaya khususnya di Kota Jayapura. 

  

Islam dan Dinamika Kelompok Muslim di Jayapura

  

Di dalam menjelaskan mengenai dinamika kelompok muslim di Jayapura, Idrus Al Hamid menuliskan fenomena sekaligus konsepnya. Sehingga, hasil penelitian yang ia temukan secara langsung dipadukan dengan konsep. Penulisan semacam ini sangat membantu pembaca sebab hasil “analisa” yang dituliskan tidak menjadi “jebakan” dalam perdebatan panjang. 

  

Hasil penelitian Idrus Al Hamid perihal dinamika Islam menunjukkan bahwa terdapat beberapa kelompok Islam yang memiliki peran penting dalam membangun, mengembangkan, dan mendorong masyarakat di Jayapura untuk memahami perbedaan di antara mereka. Idrus Al Hamid menambahkan bahwa, perlu dipahami jika entitas muslim di Jayapura juga memiliki atribusi individu dan kelompok dalam istilah sosiologis dan politik di antara komunitas Islam itu sendiri.  Ia menambahkan konsep yang diajukan oleh Cahyo Pamungkas yang mengungkapkan bahwa kontestasi antara muslim-imigran dan muslim-pribumi atau orang Papua “menyalip” dominasi di lembaga dan organisasi Islam di Jayapura. 

   

Terdapat empat relasi sosial antara kelompok Islam di Papua. Pertama, ormas Islam yang memiliki hubungan sosial-politik adalah organisasi yang diakui oleh pemerintah pusat atau daerah, sekaligus mendapatkan akses perdananya. Misalnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Yayasan Pendidikan Islam (YAPIS), Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan Majelis Muslim Papua (MMP). Kedua, organisasi Islam yang mengatur gerakan “berskala” dan diterima secara simbolis oleh masyarakat Papua. Misalnya, Nahdlatul Ulama (NU) yang fokus pada nilai-nilai moderatisme Islam, Muhammadiyah yang fokus pada pendidikan. Ketiga, politik Islam organisasi di Papua. Misalnya, Assalam yang diwakili oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) yang terkait dengan partai Golongan Karya (Golkar). Keempat, organisasi Islam yang cenderung tidak diterima secara simbolis oleh msayarakat Papua. Misalnya, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Front Pembela Islam (FPI).

  

Idrus Al Hamid secara tegas menegaskan bahwa pola relasi tersebut menunjukkan, kecenderungan sikap muslim di Jayapura lebih moderat dan damai, serta lebih berorientasi dalam interaksi satu sama lain. Hal ini sejalan dengan dominasi organisasi masyarakat (ormas) Islam moderat yang pasti mempengaruhi sikap masyarakat Papua. Solidaritas serta kerukunan kuat ada dalam diri komunitas muslim dan terjalin dengan sangat baik. 

  

Konflik Agama 

  

Berdasarkan hasil penelitian Idrus Al Hamid, konflik identitas di Jayapura lebih sering “dibentuk” sebagai respon terhadap dinamika yang terjadi. Lebih lanjut, ia menegaskan “persetujuannya” dengan Abd. Mu’ti dan Najib Burhani bahwa secara antropologis masyarakat Papua punya rasa memiliki yang kuat terhadap nilai asli dari kehidupan sehari-hari mereka, termasuk Agama Kristen sebagai agama mayoritas. Selain itum konflik agama di Papua adalah antagonisme dari beberapa kelompok dari belahan “dunia lain”. Fakta ini ditambahkan oleh Idrus Al Hamid dengan tambahan asumsi “persetujuannya” dengan penelitian J. Budi Hermawan. Ia menyatakan bahwa setelah tragedy 9/11 di Amerika Serikat, reaksi eksremis di dalam gereja mulai muncul. Para ekstremis berhadap ada ketidakstabilan agama dalam kehidupan masyarakat Papua. Pluralitas agama di Papua sepertinya membentuk semacam kontestasi antaragama. Di sisi lain, umat Kristiani merasa bahwa agama mereka “diganggu” oleh adanya agama lain yang pengikutnya sedang menjalankan aktivitas ibadah di sekitar wilayah mereka. 

  

Lebih lanjut, Idrus Al Hamid menjelaskan bahwa dalam pengamatannya, berbagai fenomena yang terjadi “melahirkan” kegelisahan di antara masyarakat lokal dan muslim di Papua. Faktanya, berbagai kelompok agama yang ada saling menjaga, membangun dan membuat Jayapura “hebat”. Namun, hal tersebut telah “dipermalukan” oleh agama tertentu, perihal kegiatan sosial dan budaya yang dijalankan di luar papua. Idrus Al Hamid juga menambahkan bahwa, ia telah melakukan banyak penelitian mengenai tanggapan masyarakat Jayapura terhadap kondisi agama saat ini. Hasilnya, relasi yang dibangun oleh kelompok agama di masyarakat dan penyebab mengapa masyarakat Jayapura sering kali mengalami konflik adalah mudahnya diprovokasi oleh isu keagamaan yang diekspresikan di ruang publik. 

  

Hasil penelitian Idrus Al Hamid setelah melakukan wawancara dengan beberapa pemimpin agama menyimpulkan bahwa, ada empat faktor yang berkontribusi dalam memunculkan “reaksi keras” masyarakat Papua yang bisa menimbulkan konflik agama di antara masyarakat itu sendiri. Pertama, perbedaan nilai dan pandangan terhadap agama yang berbeda. Kedua, munculnya kelompok agama baru di tengah masyarakat sebagai akibat dari perluasan kebijakan yang dijalankan oleh organisasi tertentu di tingkat lokal maupun nasional. Ketiga, provokasi oleh tokoh adat maupun agama untuk melawan kelompok baru. Keempat, “ruang tertutup” dialog antara dua pihak yang berseberangan karena eksklusivitas yang dibentuk oleh kelompok yang dianggap “baru”. 

  

Implementasi Diplomasi Multitrack 

  

Menurut Idrus Al Hamid, konfllik agama di Jayapura dapat didekati dengan pendekatan diplomasi multitrack yang dapat diimplementasikan melalui empat tahap. Pertama, dimulai dengan kesamaan konsepsi masalah yang dihadapi masyarakat Papua dengan mengidentifikasi sumber konflik yang terkandung dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, agensi yang terlibat dalam struktur diplomasi, jika dalam kasus di Jayapura, pada jalur satu, maka pemimpin tingkat Provinsi Papua, Presiden Indonesia dan perwakilan global. Para pemimpin yang bergabung harus membawa isu strategis mengenai bagaimana menjaga kerukunan umat beragama di Jayapura. Jalur dua, pemimpin tengah seperti pemimpin adat, kecamatan, kepala daerah, bupati dan pejabat pemerintah lain yang harus membangun mufakat, melakukan sosialisasi, pemberdayaan dan dialog antar pemimpin guna mengurus strategi kemitraan dan budaya. Jalur ketiga, pemimpin akar rumput seperti pemimpin agama, media, LSM, organisasi keagamaan dan lain sebagainya guna meminimalisir konflik yang terjadi. Sebab, pada unsur kelompok ini “permainan” masalah dilakukan. Ketiga, reformulasi masalah dan aliansi strategis guna membangun kerukunan umat beragama di Jayapura. Keempat, membangun artefak budaya toleransi dan kerukunan antar umat Papua secara luas. 

  

Kesimpulan

  

Penelitian Idrus Al Hamid menjelaskan bahhwa setiap orang memiliki kontribusi yang “potensial” untuk realisasi kerukunan umat beragama di Jayapura. Terutama, dari tokoh lokal. Hasil penelitian ini dituliskan dengan sangat baik, sebab tidak memicu perdebatan pribadi dalam pemikiran pembaca. Idrus Al Hamid menulikan fakta yang kemudian di padukan dengan konsep maupun hasil temuan dari penelitian terdahulu. Sehingga, kesimpulan dari sub topik dapat didapatkan lebih jelas. Artikel tersebut akan lebih “sempurna” jika dituliskan bagaimana metode yang dilakukan dituliskan secara lengkap. Terlepas dari sedikit kekurangan tersebut, karya Idrus Al Hamid dapat dijadikan sebagai landasan dan penemuan baru, bahwa apa yang terlihat dalam ruang publik, tidak selamanya benar, layaknya apa yang ditemukan oleh Idrus Al Hamid.