(Sumber : Kanal Sembilan )

Menelusuri Pemikiran Kontroversial Tentang Jihad

Riset Agama

Artikel berjudul “Retracting Jihad: A Comparative Study Between Said Nursi and Sayyed Hossein Nasr” merupakan karya Ahmad Syauqi. Tulisan ini terbit di International Journal of Islamic Thought tahun 2022. Studi tersebut mencoba mengulas pemikiran Nursi dan Nasr mengenai isu jihad yang kontroversial. Kedua tokoh ini dipilih karena pengaruh pemikiran mereka yang sangat besar terhadap wacana intelektual dan gerakan sosial muslim di hampir seluruh dunia. Terdapat lima sub bab dalam resume ini. Pertama, pendahuluan. Kedua, menelusuri asal muasal jihad. Ketiga, jihad ofensif dan defensive. Keempat, literalis dan teks suci. Kelima, objek jihad: perspektif Nursi dan Nasr. 

  

Pendahuluan

  

Kembalinya Taliban pada tambuk kekuasaan telah membuka kembali perbincangan lama terkait jihad. Isu yang mencuat deras pasca 9/11 menimbulkan sejumlah permasalahan serius dalam interaksi sosial dan mengkristal dalam epifenomena konflik sosial-keagamaan: Barat vis a vis Muslim. jihad telah menjadi topik umum yang terus dibicarakan, bukan hanya dalam wacana akademik, tapi juga percakapan publik. Ironisnya, kesempatan ini dimanfaatkan secara lihai oleh para propagandis yang berperan memperbesar isu ini, termasuk sejumlah pragmatis yang menjadikannya sebagai alat kampanye politik mereka. 

  

Lambat laun, ‘jihadis’ dikaitkan dengan terorisme dan kelompok ekstremis. Bahkan, Indonesia sebagai negara dengan jumlah umat Islam terbesar di dunia masih memiliki pandangan yang mengaitkan terorisme dengan Islam hingga kini. Muslim dan Islam atas nama terorisme dalam minoritas yang menodai kesucian Islam atas nama jihad menjadikan fenomena ini sebagai bom waktu dengan efek destruktif yang sangat besar. Tentu, hal ini membahayakan kerukunan antar umat beragama dengan potensi munculnya konflik lebih lanjut. Distorsi dan penyimpangan ini telah membawa isu Jihad ke dalam ruang gelap sekaligus mendekralisasi jihad itu sendiri, serta scenario terburuknya adalah kemunculan ekstremis muslim. 

  

Badiuzzaman Said Nursi dan Seyyed Hossein Nasr adalah dua pemikir muslim kontemporer terkemuka yang memiliki kepedulian terhadap persoalan konsekuensial tersebut. Keduanya melihat bahwa ada miskonsepsi sebagian umat Islam terkait dengan jihad dan bahaya besar yang ditimbulkan jika pemahaman ini tidak ditelusuri kembali serta dikaji dengan baik. Alhasil, mengetahui lebih lanjut pemikiran kedua tokoh ini menjadi hal penting yang perlu dipertimbangkan.

  

Menelusuri Asal Muasal Jihad

  

Jika membahas mengenai jihad, memang banyak pemikiran yang berbeda-beda dalam mendefinisikannya. Beberapa mungkin menyatakan bahwa jihad merupakan usaha untuk lepas dari belenggu kehidupan duniawi. Ada pula yang beranggapan bahwa jihad adalah perjuangan untuk keadilan, serta beberapa mengartikan jihad adalah perang suci. Akibat multi-tafsir jihad yang terus menerus terjadi serta pengaruh sebab eksternal, konsekuensi logisnya adalah ketidakjelasan hakikat dan esensi jihad itu sendiri. 

  

Di dalam al-Qur’an, istilah jihad dan turunannya diulang sebanyak 41 kali. Ayat-ayat jihad ini terdapat dengan surah Makkiyah dan Madaniyyah. Jika jihad diartikan sebagai perang, tentu saja secara epistemologi bertentangan dengan ‘kenyataan’. Hal ini disebabkan ketika Nabi berada di Mekkah tidak terjadi perang, sebaliknya masa Mekkah merupakan masa yang berat bagi umat Islam sebagai minoritas. Maka, ayat jihad ini menunjukkan perjuangan dan keikhlasan baik dalam arti hubungan dengan Allah SWT maupun perjuangan untuk bertahan dari aniaya kaum Quraisy. 


Baca Juga : Reaktualisasi Resolusi Jihad Bagi Genzi Menyongsong Indonesia Emas 2045

  

Berdasarkan sudut pandang etimologis, jihad memiliki makna yang luas dan mencakup perjuangan ke dalam dan keluar, serta perjuangan individu dan kelompok, atau bahkan pemahaman lebih dalam, hidup itu sendiri adalah jihad. Mempersempit makna jihad yang asli dan esensial hanya pada tindakan fisik dan mengaitkan istilah jihad dengan tindakan terorisme merupakan kesimpulan yang bias dan rapuh. Bagi Seyyed Hossein Nasr pandangan semacam itu cacat sehingga distorsi dan penyempitan makna jihad merupakan upaya yang sengaja dimanfaatkan untuk keuntungan pribadi oleh orang-orang pragmatis. 

  

Jihad Ofensif dan Defensif

  

Jika membicarakan Bediuzzaman Said Nursi, dikenal dengan istilah ‘Said Lama’ dan ‘Said Baru’. ‘Said Lama’ adalah masa awal kehidupan Nursi yang penuh ambisi dan semangat. Pada era ini, Nursi tampak dekat dengan konfrontasi baik secara intelektual maupun fisik. Bahkan, Nursi pernah berencana membunuh seorang pemimpin suku yang terkenal zalim. Nursi terinspirasi dalam mimpinya bahwa ia diperintahkan untuk menasihati penguasa itu untuk bertobat dan jika ia menolak, maka boleh untuk dieksekusi. Meski pada akhirnya rencana tersebut dibatalkan, namun dakwah dan jihad dengan pendekatan ofensif pernah menjadi bagian dari masa ‘Said Lama’. 

  

Masa ‘Said Baru’ adalah kebalikan dari ‘Said Lama’. Nursi seolah menghindari segala hal yang berkaitan dengan konfrontasi fisik. Era ini Nursi percaya bahwa hakikat ajaran Islam adalah cinta. Ia menjelaskan bahwa cinta adalah esensi tertinggi dalam Islam. Segala bentuk kekerasan atas nama agama adalah sebuah kekeliruan. Perlawanan dengan senjata adalah penyebab rusaknya peradaban. 

  

Sementara itu, bagi Seyyed Hossein Nasr ayat al-Qur’an yang menegaskan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama. Islam tidak hanya melarang pemaksaan agama kepada non muslim, tapi menjadi dasar untuk menghilangkan pemaksaan dan kekerasan dakwah atas dasar agama. Nasr mengkritis keras propagandis barat yang menyebarkan distorsi bahwa Islam adalah agama pedang yang disebarkan melalui jihad dengan kekerasan. 

  

Menurut Nasr, miskonsepsi tentang barat mengenai jihad dan Islam tidak hanya disebabkan oleh propagandis yang berniat buruk terhadap Islam, tetapi juga dipasok perilaku ekstremis dengan mengatasnamakan Islam guna melegalkan aksi kekerasan. Dua alasan ini yang menjadi akar distorsi dan fitnah terhadap jihad dan Islam. Baik Nursi maupun Nasr menilai aksi ofensif tidak bisa begitu saja dikaitkan dengan jihad. Namun, keduanya tidak memungkinkan bahwa dalam kondisi tertentu, jihad fisik mendapatkan tempat tersendiri dalam perspektif hukum Islam. Jihad dibenarkan oleh syariat sebagai mekanisme pertahanan, bukan sebaliknya. 

  

Literalis dan Teks Suci

  


Baca Juga : Babak Baru Undang-Undang Cipta Kerja

Salah satu faktor pendukung yang memotivasi umat Islam untuk berjihad adalah kenyataan bahwa kitab suci secara literal membicarakan masalah ini. Jihad fisik dipandang sebagai sesuatu yang transenden sesuai tradisi Islam, pahala untuk jenis jihad ini adalah tingkat surga tertinggi dan mereka yang meninggal karena alasan ini dianggap sebagai syahid. Bagi sebagian umat Islam, apa yang tertulis dalam teks suci adalah sesuatu yang mutlak dan berdiri sendiri dan tidak perlu dibaca sekaligus dipahami lagi. Sementara sebagian yang lain, untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif mengenai teks suci, penjabaran konteks sangat diperlukan. Menghilangkan konteks dari teks berpotensi membahayakan dan menyebabkan kesalahan dalam memahami teks. 

  

Said Nursi secara umum membedakan dua jenis penafsiran al-Qur’an yakni tafsir literal dan ma’nawi. Secara terang-terangan, ia mengatakan bahwa metode yang dipilih untuk digunakan adalah tafsir ma’nawi yang identik dengan pendekatan “mana’i harfi”. Sementara itu, Nasr berpendapat bahwa al-Qur’an memiliki dua aspek yang saling terkait yakni aspek luar dan aspek batin. Aspek batin al-Qur’an disebut Nasr sebagai kebenaran batin memiliki arti penting untuk memahami ketertarian antara filsafat Islam dan wahyu Islam. Hanya dengan memahami sisi dalam al-Qur’an, kebenaran batin dari teks suci akan dikenali. Nursi dan Nasr melihat al-Qur’an tidak hanya sebagai rantai kata, keduanya melihat kebenaran batin yang tersembunyi di balik teks literal. 

  

Objek Jihad: Perspektif Nursi dan Nasr

  

Inti dari metodologi Nursi dalam memahami realitas ketuhanan adalah apa yang disebut sebagai diri. Baginya, jihad difokuskan pada perjuangan mencari ilmu dan implementasinya dalam kehidupan nyata. Dedikasi besar Nursi adalah bukti nyata jihadnya dengan menjaga kesucian ilmu dengan tujuan melindungi tauhid dan al-Qur’an dari serbuan ideologi asing yang diyakininya bertentangan dengan intelektual dan spiritual umat Islam. 

  

Bagi Nasr, jihad dilakukan sebagai upaya membuka dan menciptakan keseimbangan antara lahir dan batin. Keseimbangan dan kedamaian yang dirasakan dalam diri individu juga harus dirasakan secara kolektif sebagai barang sosial, dan cara mendapatkannya adalah dengan jihad. Seseorang tidak akan menemukan kemuliaan dan ketenangan hidup jika tidak menemukan keseimbangan, dan baginya hanya dapat diperoleh melalui jihad dalam setiap aspek kehidupan. Semua bentuk ibadah dalam Islam membutuhkan jihad. 

  

Terkait jihad fisik, Nasr mengecam keras distorsi beberapa kelompok terutama barat yang sengaja menghilangkan makna jihad paling hakiki dengan hanya menggambarkan jihad sebagai aksi kekerasan. Ia juga tidak naif, dan mengakui bahwa dalam kondisi tertentu jihad fisik tidak biasa dihindari. Namun, ia meyakini bahwa menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan tertentu atau menyalahgunakan jihad untuk menghancurkan kelompok tertentu adalah sebuah kesalahan, dan tidak semua perang dapat dikategorikan sebagai jihad. 

  

Kesimpulan

  

Distorsi jihad terus muncul karena dua faktor yang secara tidak langsung berkaitan. Pertama, disebabkan oleh propagandis yang menghilangkan makna jihad yang paling hakiki dengan sengaja menggambarkan jihad hanya sebagai aksi fisik atau perang. Kedua, sebagai akibat dari ekstremis muslim yang menyalahgunakan jihad sebagai legitimasi aksi kekerasan mereka. Secara gamblang hasil penelitian menunjukkan bahwa pemikiran Nursi dan Nasr memiliki keyakinan yang sama bahwa jihad memiliki esensi yang luar biasa dan tidak dapat direduksi menjadi aktivitas fisik/militer saja. Mereka menolak semua kekerasan dan tindakan pemaksaan atas nama agama. Berdasarkan penelitian tersebut, rasanya ada beberapa kebingungan yang dihadapi umat Islam saat ini. Apakah jihad fisik merupakan hal yang tak terelakkan dalam dakwah, mengingat tantangan eksistensial Islam saat ini bukan disebabkan oleh perang fisik melainkan perang ideologis? Apakah pernyataan “menyerang adalah bentuk pertahanan terbaik” masih masuk akal mengingat keadaan dan waktu yang berubah? Serta, bagaimana memaknai jihad di era modern di mana perang ideologi lebih intens dan masif dibandingkan perang fisik?