Mengapa Intelektualitas Terkadang Melemahkan dan Menumbuhkan Keimanan?
Riset AgamaTulisan berjudul “Why Does Intellectuality Weaken Faith and Sometimes Foster It?” merupakan karya Mustafa Emre. Artikel ini terbit di Humanities and Social Science Communications Journal tahun 2020. Hubungan antara intelektualitas dan religiositas dianggap sebagai konsep yang kontroversial. Bahkan, beberapa penelitian menunjukkan bahwa religiositas secara positif berkaitan dengan faktor intelektual dan condong responsif. Data penelitian ini didapatkan melalui wawancara mendalam dengan 53 subjek. Sejumlah 21 orang adalah akademisi Hitit University dan Erciyes University di Turki, 29 narasumber lainnya adalah adalah insinyur, pegawai negeri, dokter, pengusaha dan mahasiswa. Narasumber laki-laki berjumalh 46 orang dan tujuh orang perempuan. Terdapat tiga sub bab dalam review ini. Pertama, Disclaimer. Kedua, intelektualitas dan religiusitas. Ketiga, jawaban persoalan.
Disclaimer
Pada tahap awal, peneliti memberikan penjelasan tiga disclaimer yang perlu untuk dijelaskan terlebih dahulu. Hal ini berfungsi sebagai jembatan bagi para pembaca untuk memahami penelitian secara keseluruhan. Pertama, konsep keyakinan yakni sinonim dari iman yang menunjukkan pengakuan terhadap pencipta atau orientasi kognitif terhadap spiritualitas transendental. “Kepercayaan” dan “Ketidakpercayaan” merupakan paradigma sosio-struktural di mana individu memilih berada pada titik tersebut. Kekuatan keyakinan dapat ditentukan oleh tingkat kepercayaan atau penghormatan individu terhadap aturan agama (dogma), sebab dogma adalah salah satu unsur keimanan. Menurut Hill and Hood dalam penelitiannya berjudul “Measures of Religiosity” menunjukkan bahwa kepercayaan atau keimanan adalah ‘inisiator’ penurunan atau peningkatan dalam religiositas.
Kedua, posisi intelektualitas dan religiositas. Intelektualitas merupakan konsep yang sulit untuk dijelaskan seperti gagasan umum lainnya. Secara umum, para akademisi sering kali menghubungkan religiositas dan intelektualitas di bawa dua sub topik, yakni (1) relasi tingkat pendidikan dan religiositas, dan (2) penekanan kapasitas mental yang tinggi dengan menelusuri para ilmuwan sukses dan hasil tes IQ. Oleh sebab itu, narasumber dalam penelitian ini meliputi akademisi, para pakar dan partisipan yang memiliki tingkat pendidikan tinggi.
Ketiga, penelitian tersebut membuat perbedaan antara penghormatan terhadap aturan agama dan partisipasi dalam ritual keagamaan. Hal ini disebabkan beberapa narasumber sangat percaya bahwa aturan agama tidak ada salahnya, meskipun mereka secara signifikan mengurangi partisipasi mereka dalam ritual keagamaan. Hal ini disebabkan perubahan kehidupan sosial yang terjadi sebagai penyebab menurunnya partisipasi keagamaan mereka.
Intelektualitas dan Religiositas
Berdasarkan beberapa penelitian yang dijelaskan oleh Mustafa Emre dalam artikel tersebut, menunjukkan bahwa pada umumnya intelektualitas berbanding terbalik dengan religiositas. Di permukaan, terhadap banyak penyebab yang kompleks mengenai sikap seseorang terhadap aturan agama. Penelitian tersebut mengungkapkan ada dua disposisi kognitif permanen. Sebagian orang beriman bersikap seolah mereka memiliki pemahaman meta-kognitif mengenai esensi dari aturan agama (dogma). Ketika dogma “terancam” mereka akan mengubah sikapnya, sehingga dogma sekan tidak “kehilangan kekuasaan” dalam fungsinya sebagai aturan dalam kehidupan manusia. Namun, sebagian orang beriman lain meyakini validitas dogma tidak dapat ditunjukkan secara intuitif maupun metafisik. Perbedaan mendasar ini semakin bergaung seiring dengan perkembangan intelektual yang memunculkan peta dogmatis, sehingga kehilangan integritas sekaligus direkonstruksi dengan cara yang berbeda.
Jawaban Persoalan
Secara garis besar, artikel tersebut menunjukkan hasil penelitian dalam dua level. Pertama, pada tingkat makro. Artikel tersebut telah mengonstruksi model inklusif antara ‘keimanan’ dan ‘kekafiran’, sekaligus memisahkan keimanan individu menjadi dua bentuk kognitif melalui konsep meta kognitif yakni ‘wawasan’, serta membahas bagaimana cara individu dapat kembali “mengevaluasi” dogmanya melalui pengetahuan yang diperoleh.
Kedua, pada tingkat mikro artikel ini mengklaim bahwa mereka mampu menemukan jawaban atas pertanyaan “mengapa seseorang menjadi kurang atau lebih religius tergantung pada intelektualitas mereka?” Mustafa Emre mengajukan beberapa jawaban, yakni (1) sebenarnya prestasi tidak mengubah kekuatan keimanan seorang mukmin. Mereka yang memiliki pengetahuan, akan memanfaatkan wawasan mereka. Ketika seseorang mendapati bahwa ada hal yang mengancam integritas peta dogmatis, maka mereka akan condong melakukan dua hal untuk menyesuaikannya dengan dogma yang ada. Mereka akan mengabaikan ketidaksesuaian yang ada, sebab keimanan mereka yang kuat, atau justru merekonstruksi dogma dengan menyelaraskannya. (2) terkadang, peninjauan kembali dogma justru menyebabkan konflik batin. Hal ini disebabkan adanya kesalahan dalam pemahaman, justru dapat membuat seseorang keluar dari agamanya. Ketika seseorang menemukan adanya perbedaan antara suatu hal dengan dogma yang ada, ia akan condong meragukan dogma yang mereka yakini.
Kesimpulan
Artikel tersebut merupakan hasil penelitian yang sangat menarik, sebab berusaha mencari jawaban atas persoalan yang masih menjadi perdebatan, yakni terkait dengan intelektualitas dan keimanan. Mustafa Emre menuliskan hasil penelitiannya dengan sangat detail, bahkan pada hal metode penelitian yang ia terapkan. Selain itu, di dalam tulisannya, ia menjelaskan jawaban di setiap persoalan dengan runtut, singkat, dan jelas. Meskipun dalam tulisan tersebut tidak ada kesimpulan, dengan penulisan penelitian semacam itu tidak akan membuat pembaca bingung untuk mengambil inti atau hasil penelitian tersebut. Hal yang menarik adalah, Mustafa Emre menjabarkan pula dengan singkat atas kelemahan penelitiannya dalam sub bab limitations di akhir artikel.