Mengulas Ulang Pemikiran Ahmad Syafi’i Ma’arif: Relasi Dialektika Etis Islam dan Indonesia
Riset AgamaArtikel berjudul “The Ethical-Dialectic Relationship of Islam and Indonesia: Reviewing Ahmad Syafi’i Maarif’s Thought” merupakan karya Syamsul Arifin, Moncef Ben Abdeljelil, Muhammad Arfan Mu’ammar dan Muhammad Yusuf. Tulisan ini terbit Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam tahun 2023. Penelitian ini menggunakan analisis tekstual yang mendalam terhadap pemikiran Ahmad Syafi’i Maarif yang akrab disapa Buya Syafi’i. Tujuan penelitian ini berupaya mengungkapkan warisan intelektual Maarif. Terdapat tiga sub dalam resume ini. Pertama, pendahuluan. Kedua, al-Qur’an: tampak menarik dan titik masuk. Ketiga, Islam: politik dan demokrasi Indonesia.
Pendahuluan
Islam di Indonesia selalu menarik bagi akademisi baik dalam dan luar negeri karena keunikan sekaligus dinamikanya. Jika ditinjau dari segi wilayah, Islam di Indonesia sering disebut sebagai fenomena Islam periferal karena faktor geografis. Dinamika Islam di Indonesia dapat dikaji dari berbagai sudut pandang. Banyaknya jumlah umat Islam di Indonesia telah mengukuhkan posisi Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar. Selain itu, dinamika Islam di Indonesia jika dilihat dari intelektualnya, maka akan banyak kajian yang fokus pada pemikiran Islam dan keilmuan pada ulama. Pemikiran Islam yang berkembang di Indonesia sebagian besar disebabkan oleh produktivitas para ulama lokal yang kemudian dikenal dengan Jaringan Ulama Nusantara di Timur Tengah pada abad 17 dan 18. Baru pada abad 20 muncul kelompok intelektual baru dalam pengertian modern yang membawa wacana Islam baru. Pada saat yang sama para ulama terus menghasilkan karya mereka sendiri dan mempertahankan status karena kemampuan mereka beradaptasi dengan cara hidup modern.
Setiap periode Sejarah menghasilkan individu-individu cakap yang aktif secara intelektual dan menghasilkan karya ilmiah bernilai bagi Masyarakat muslim, salah satunya adalah Ahmad Syafi’i Maarif. Ia dikenal sebagai seorang pemimpin intelektual dan moral Indonesia yang dihormati dan berpengaruh. Selain itu, ia juga dikenal dengan salah satu intelektual paling produktif di Indonesia. Pemikirannya yang terkenal adalah peran al-Qur’an dalam masyarakat Indonesia, jati diri bangsa dan kemanusiaan.
Al-Qur’an: Tampak Menarik dan Titik Masuk
Maarif mempelajari al-Qur’an di Madrasah Sumpur Kudus dan Lintau, Sumatera Barat dan Yogyakarta. Pasca menyelesaikan pendidikan sekolahnya, ia memilih studi Sejarah di Universitas Ohio Amerika Serikat. Pada tahun 1983, Maarif memperoleh gelar doctor dalam bidang pemikiran Islam dari Universitas Chicago. Disertasinya berjudul “Islam as the Basis of State: A Study of the Islamic Political Ideas as Reflected in the Constituent Assembly Debates in Indonesia” lebih fokus pada Sejarah politik bukan kajian al-Qur’an. Pada penutup disertasinya, ia secara tegas menyatakan bahwa tidaka da teori negara yang disebutkan dalam al-Qur’an atau yang ditetapkan pada awal Sejarah Islam.
Selain itu, Maarif dikenal sebagai aktivis yang produktif selama masa hidupnya. Karyanya yang berjudul “Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah” menunjukkan adanya ungkapan kegelisahan yang ia rasakan. Hal ini dipicu oleh realitas Masyarakat Islam yang masih jauh dari kata ideal seperti yang diharapkan. Indonesia yang dikenal dengan populasi muslim terbesar, namun Islam tampaknya tidak menginspirasi mereka menuju “kebesaran.” Oleh sebab itu, ia bersikeras bahwa umat Islam harus kembali pada pesan asli al-Qur’an dan menjauhi dogma sekaligus ritual kosong. Ia menulis karya berjudul “Studi Al-Qur’an yang Mendalam dan Sistematis” guma memperbaiki keadaan yang dianggapnya menyedihkan ini.
Karyanya yang lain berjudul “Islam: Kekuatan Doktrin dan Keagamaan Umat” serta “Pencarian Keaslian dalam Kebingungan: Mencari Autensitas dalam Kegalauan” juga menunjukkan kegelisahannya terhadap keadaan Islam dan Masyarakat muslim di Indonesia. Maarif heran mengapa peradaban Islam yang dulunya berada pada garda terdepan peradaban manusia, kini tertinggal dari Barat.
Baca Juga : Para Pengguna Artificial Intelligent
Ia terus menerus menunjukkan kesenjangan antara realitas Masyarakat muslim dan cita-cita al-Qur’an, serta tidak pernah bosan untuk kembali pada al-Qur’an. Pada pandangannya, al-Qur’an adalah sumber utama pengetahuan yang wajib dipelajari dan direnungkan kebenarannya. Maarif memang bukan ahli terkemuka dalam studi al-Qur’an, namun ia selalu menyampaikan bahwa al-Qur’an adalah sumber kebenaran. Al-Qur’an adalah kitab yang berisi prinsip sekaligus seruan agama, moral, dan bukan sebuah momen hukum. Ia juga menambahkan bahwa pesan-pesan dalam al-Qur’an adalah yang pertama dari semua bersan moral yang berfungsi penuh, mempunyai nilai praktis bagi kehidupan. Sayangnya, kesulitan yang dihadapi Masyarakat muslim telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Hal ini sebab umat Islam gagal memahami pedoman moral yang komprehensif dan sempurna dalam al-Qur’an.
Islam: Politik dan Demokrasi Indonesia
Umat Islam sebagai kelompok agama terbesar di Indonesia telah berkontribusi besar terhadap wacana demokrasi saat ini. Alhasil, muncul dua pertanyaan yakni, apakah Islam memberikan dukungan teologis terhadap demokrasi atau keduanya tidak sejalan? Serta bagaimana posisi dan peran umat Islam di dunia dalam proses demokratisasi?
Pertanyaan pertama muncul karena masih adanya pandangan dominan bahwa Islam politik tidak memiliki dasar demokrasi yang kuat. Maarif sadar akan adanya kelompok yang menolak demokrasi sebagai sistem pemerintahan. Namun, ia mengetahui bahwa sebagian besar umat Islam Indonesia telah menerima demokrasi yang membuat pandangan politik mereka lebih maju dibandingkan umat Islam Arab yang merasa silit menerima demokrasi dan modernitas. Islam di Indonesia telah menunjukkan sikap positif terhadap aspek-aspek demokrasi.
Penerimaan demokrasi di Masyarakat menjelaskan bahwa agama adalah penanda identitas utama yang tidak memerlukan privatisasi, asalkan agama ditafsirkan ulang sebagai landasan etis bagi otoritas politik dan hak asasi manusia yang sah. Dukungan terhadap demokrasi oleh sebagian besar umat Islam Indonesia tentu tidak lepas dari sudut pandang agama.
Maarif menuliskan bahwa Indonesia di masa depan harus secara sadar menyatakan bahwa sistem demokrasi adalah satu-satunya pilihan, Masyarakat tidak boleh beralih ke sistem lain. ia memberikan perhatian khusus pada prinsip kebebasan dalam demokrasi sehingga perwujudan doktrin monoteistik yang menekankan kebebasan. Namun, kebebasan dalam sistem pemerintahan demokratis tidak hanya terbatas pada politik elektoral saja, namun juga harus tercermin dalam seluruh aspek kehidupan publik yang ditandai dengan keberagaman dan perlindungan.
Kesimpulan
Secara garis besar penelitian tersebut berupaya mengungkap warisan intelektual Maarif. Hasilnya, Maarif adalah seorang intelektual muslim yang mengembangkan model negara religius dan demokrasi. Ia mendasarkan argumennya bahwa Islam tidak perlu ditempatkan pada posisi ‘biner’ terhadap realitas politik dan konsensus nasional yakni Pancasila sebagai entitas terakhir ternyata mengakomodir ajaran al-Qur’an. Ia juga menegaskan bahwa prinsip etika Pancasila sejalan dengan Islam harus diserap dalam kehidupan Masyarakat guna melahirkan bangsa dan negara yang benar. Baginya, Islam di Indonesia harus mewujudkan dirinya sebagai ‘entitas etnis’ untuk menjadi landasan bagi Indonesia modern. Ia juga mengajak umat Islam memahami pesan moral universal al-Qur’an yang memiliki jangkauan serbaguna dan tidak dapat diubah.