Neo-Islamophobia
Riset AgamaArtikel berjudul “Neo-Islamophobia: A New Western Social Order” merupakan karya Muhammad Tariq dan Zafar Iqbal. Tulisan ini terbit di Journal of Islamic Thought and Civilization tahun 2023. Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari wacana Islamophobia di media barat tepatnya United Kingdom (UK) dan Amerika Serikat (AS). Data diperoleh dari 446 artikel dari The Independent dan The Washington Post untuk kemudian dianalisis dengan kerangka DHA. Terdapat empat sub bab dalam resume ini. Pertama, pendahuluan. Kedua, penyebab Islamophobia. Ketiga, konstruksi neo-Islamophobia. Keempat, Islamophobia di Inggris dan Amerika Serikat.
Pendahuluan
Secara tradisional, istilah Islamophobia mengacu pada prasangka, rasisme dan sekuritisasi yang tersirat bahwa fenomena ini berada pada tingkat kognitif, budaya, maupun struktural. Jika ditinjau dari sejarah, kekhawatiran mengenai Islamophobia berkembang pesat pasca peristiwa 9/11 tahun 2001. Terorisme dan ekstremisme dianggap sebagai ancaman utama perdamaian dan keamanan internasional. Selain itu, keduanya dianggap sebagai turunan dari Islam radikal. Ketakutan yang dirasakan terhadap Islam meningkat ke titik di mana seorang muslim dipandang sebagai ancaman bagi masyarakat barat secara keseluruhan. Dalih ini membuat umat muslim dan situs keagamaan Islam menjadi sasaran serangan rasial dan kriminal di dunia barat.
Penyebab Islamophobia
Islamophobia adalah cabang modern dari orientalisme yang digambarkan sebagai “wacana utama pembingkai Islam sebagai “antithesis peradaban barat.” John Tolan dalam tulisannya berjudul “Saracens: Islam in the Medieval European Imagination” menghubungkannya dengan reaksi defensif orang-orang Kristen Timur yang mengingatkan keadaan selama awal abad 7. Tepatnya, ketika Islam muncul dari Arab, dan mengguncang dominasi Eropa. John dari Damaskus dalam karyanya berjudul “Bidah Ismael” menyatakan bahwa kelahiran Islam telah melahirkan ‘masalah bagi dunia Kristen. Ia mulai memperdebatkan mengenai Islam sebagai agama palsu, dan menyebutnya sebagai hukuman atas dosa yang tidak bermoral dari agama lain dan pengikutnya. Argumennya didasari atas tiga poin utama, yakni 1) klaimnya bahwa Nabi Muhammad SAW memproklamirkan diri sebagai Tuhan di bumi, baginya segala aspek kehidupan dan karakter sang nabi seluruhnya negatif; 2) al-Qur’an adalah ciptaan manusia bukan wahyu Ilahi; 3) Islam adalah ciri kumpulan ajaran sesat.
Salah satu manifestasi dari prasangka Islamophia adalah kebanggaan orang Eropa untuk mengekspresikan diri sendiri lebih baik dan menghina orang lain. Gereja adalah satu-satunya pendukung diskriminasi pada abad pertengahan yang paling menonjol terhadap muslim, yang disebut sebagai ‘etnosentrisme budaya.’ Ketika abad pertengahan, permusuhan Islam dan Kristen tidak hanya berasal dari kemenangan militer dan politik muslim yang sedang berlangsung, tapi juga perasaan inferioritas agama atau budaya.
Pada abad 11, konsep Islam “yang lain/other” dirasionalisasi dan digunakan sebagai blok dalam propaganda perang salib. Hal ini membuat muslim dilabeli dengan ciri musuh yang tidak dapat didamaikan, pendukung agama yang dirancang untuk menghancurkan Kristen, dan tidak memungkinkan rekonsiliasi. Hal yang perlu dicatat bahwa sebagian besar propaganda Perang Salib dan propaganda intelektual ditulis oleh para ulama. Propaganda intelektual dilakukan oleh pendeta, misalnya Peter the Venerable of Cluny yang berpartisipasi secara verbal atas dukungannya terhadap Perang Salib melawan Islam yang menjadi jalan di mana Kristen menang atas Islam.
Konstruksi Neo-Islamophobia
Baca Juga : Stigma Minoritas Niqab di Area Kampus
Saat ini, istilah Islamophobia digunakan secara luas untuk mencirikan ketakutan dan kebencian terhadap Islam. Islamophobia juga didefinisikan sebagai permusuhan tidak berdasar atas Islam dengan gejala diskriminasi, pengecualian terhadap muslim, persepsi, prasangka dan rasisme. Rasisme ini berasal dari tiga proses yakni problematisasi, pengecualian dan rasialisasi.
Salah satu sifat yang menonjol dari Islamophobia adalah individual-sentris dan dimulai sebagai bias sikap/prasangka, kemudian berubah menjadi bias perilaku/diskriminasi, yang memanifestasikan dirinya dalam berbagai cara berbeda dalam masyarakat. prasangka dan diskriminasi bersama-sama membentuk dasar rasisme. Keterikatan kuat seseorang pada kelompok tertentu membuat seseorang memiliki prasangka terhadap kelompok lain. Kemudian diekspresikan dalam bentuk proses diskursif di mana kelompok dominan menstigmatisasi perbedaan dan menampilkannya sebagai negasi identitas yang sering disebut dengan rasisme. Artinya, rasisme adalah strategi yang disetujui secara budaya untuk mempertahankan kelebihan kekuasaan atau hak istimewa.
Ketika ekstrem kanan mendikte sebuah Negara, Islamophobia mengambil karakter kolektivis dan memobilisasi kebencian sebagai perilaku masyarakat secara keseluruhan. Fenomena ini melampaui definisi Islamophobia yang ada, sehingga untuk menunjukkan karakter barunya maka muncul istilah “neo.” Neo-Islamophobbia berfungsi sebagai strategi politik untuk mendisiplinkan umat Islam dengan mengacu pada dunia barat. Hal ini bekerja melalui proses sekuritisasi yang tertanam secara rasial. Selain itu, neo-Islamophobia melahirkan ketakutan dan kebencian terhadap Islam di semua institusi masyarakat, sehingga memunculkan tatanan Islamophobia.
Singkatnya, istilah Islamophobia mengacu pada ideologi yang berfungsi dalam dua cara. Ketika dilihat dari perspektif bottom-up, menghasilkan fenomena psikologis yang dimulai pada tingkat individu dan meluas pada tingkat institusional. Hal ini mendorong sikap kebencian terhadap Islam yang bermanifestasi sebagai diskriminasi dan eksklusi terhadap umat Islam. Jika ditinjau dari karakter top-down, menciptakan fenomena psikososial yang dimulai dari negara dan menyebar pada pemerintah, lembaga, hingga memobilisasi kebencian kolektif terhadap Islam. Terakhir, menjadikan kebencian di semua tingkatan termasuk masyarakat itu sendiri, sehingga mengubah tatanan sosial menjadi Islamophobia dengan kebencian terhadap Islam dengan cara baru. Artinya, Islamophobia telah mengubah karakternya dan menjadi simbol fenomena baru sekaligus tatanan sosial baru di masyarakat barat. Ini disebut dengan Neo-Islamophobia. Perlu diingat bahwa pada dasarnya Neo-Islamophobia bukan tatanan global, juga bukan tatanan barat secara keseluruhan, melainkan masyarakat tertentu yang mewakili barat, misalnya Amerika Serikat.
Islamophobia di Inggris dan Amerika Serikat
Pada konteks wacana Inggris, Islam dibangun melalui narasi kebencian dalam bentuk wacana diskriminatif yang ditujukan kepada orang-orang yang beragama. Islam dicirikan dalam paham ‘Wahabisme’ dan khasnya adalah ideologi yang berprasangka dan tidak toleran dengan mereka yang berbeda. Klaim bahwa Islam tidak toleran terhadap budaya and agama lain, ideologi misoginis, atau ideologi kekerasan yang menyebabkan terorisme condong menunjukkan ciri Islam sebagai agama ‘prasangka.’ Temuan ini didukung oleh Mandaville dan Hamid dalam tulisannya berjudul “Islam as Statecraft: How Governments Use Religion in Foreign Policy,” menggambarkan Wahabisme sebagai ‘merk’ agama Islam yang kaku dan meradikalisasi umat Islam dan mendorong mereka melakukan teror.
Pada konteks wacana Amerika Serikat, Islam dibangun melalui narasi keamanan yang menyampaikan citra Islam dengan sistem politik ketimbang agama. Sistem ini dicirikan sebagai totaliterisme dengan karakteristik yang menempatkan Islam bertentangan dengan institusi demokrasi dan nilai-nilai kemasyarakatan. Kemudian muncul klaim ‘Islam anti demokrasi,’ ‘Islam anti kebebasan,’ dan ‘Islam anti perempuan.’ Klaim ini menggambarkan Islam sebagai sistem politik.
Kesimpulan
Secara garis besar, kajian di atas menyimpulkan bahwa konstruksi diskursif Islamophobia diawali dengan problematisasi Islam yang kemudian menjadi landasan untuk mengotentikasi umat Islam. Islamophobia beroperasi secara siklus dan memanifestasikan dirinya pada tingkat kognitif, budaya, dan struktural dengan manifestasi diskursif dari otherisasi, rasialisasi dan sekuritisasi dengan melambangkan tiga fenomena berbeda dari prasangka, rasisme dan sekuritisasi. Namun, watak Islamophobia terbangun dalam wacana yang menjadikan Islam sebagai ‘masalah’ dan berubah seiring perubahan konteks wacana. Inti temuan ini adalah Islam dihadirkan dalam konteks wacana Inggris sebagai masalah agama dan menjadi ancaman terhadap identitas di Eropa. Di sisi Amerika Serikat, Islam disimbolkan sebagai masalah sistemik yang dianggap sebagai ancaman keamanan terhadap kelangsungan sosial politik dan budaya Amerika Serikat.