(Sumber : Oke Zone Muslim)

Non-Muslim dan Penerapan Hukum Islam di Indonesia

Riset Agama

Artikel berjudul “The Position of Non-Muslims in the Implementation of Islamic Law in Aceh, Indonesia" merupakan karya Mursyid Djawas, Andi Sugirman, Bukhari Ali, Muqni Affan dan Idham. Tulisan ini terbit di Ahkam: Jurnal Ilmu Syariah tahun 2023. Studi tersebut merupakan kajian hukum empiris yakni menelaah implementasi hukum Islam dalam masyarakat dengan menggunakan teori politik hukum. Data yang digunakan merupakan literatur dalam menelaah beberapa kajian putusan pengadilan syariah di Aceh, Banda Aceh, Sabang, Meulaboh, Kutacane, Takengon dan Singkil. Terdapat empat sub bab dalam resume ini. Pertama, pendahuluan. Kedua, non-muslim dalam konteks hukum Islam. Ketiga, kedudukan non-muslim dalam negara bangsa. Kelima, non-muslim, qanun jinayat dan politik hukum responsif. 

  

Pendahuluan

  

Aceh merupakan salah satu provinsi yang telah menerapkan syariat Islam sebagai aturan hukum. Pada hakikatnya, tujuan utama penerapan syariat Islam adalah mengantarkan manusia mencapai harkat dan martabat dengan bimbingan Allah SWT sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an, hadis, ijma\'; dan qiyas. Oleh sebab itu, demi menjaga harkat dan martabat manusia, maka tingkah laku manusia diatur menurut aturan huum, termasuk Qanun (peraturan) syariat Islam. Qanun kemudian ditransformasikan ke dalam bentuk hukum yang baku sesuai tatanan hukum di Indonesia. 

   

Status kewarganegaraan non-muslim telah lama menjadi perdebatan dalam politik Islam. Permasalahan ini muncul terutama setelah terjadi perubahan tatanan dunia baru di awal abad 20, di mana sistem kewarganegaraan tidak lagi berdasarkan agama. Pada politik Islam, status non-muslim dibagi menjadi empat kategori yakni 1) kafir dhimmi, merujuk pada non-muslim yang mendapat perlindungan; 2) kafir harbi adalah orang-orang kafir yang diperangi; 3) kafir mu’ahad, merujuk pada orang-orang kafir yang terikat perjanjian Damani dengan orang Islam; 4) kafir musta’man, merujuk pada orang kafir yang diberi suaka di negara Islam. Pembagian ini didasarkan pada konsep dua negara yakni dar al-Islam (negara Islam), dan dar al-kufr (negara kafir) atau yang sering disebut dar al-harb (zona perang).

  

Hubungan antara muslim dan non-muslim secara umum cukup baik di Indonesia. Khususnya Aceh, terjadi dinamika sejak penerapan syariat Islam formal. Namun, kehidupan non-muslim sebagai warga negara menunjukkan kondisi yang dapat memenuhi hak mereka yang lebih luas. Misalnya, warga keturunan Tionghoa juga berupaya ‘menjadi bagian’ masyarakat Aceh yang cukup menonjol secara budaya dan sosial untuk menjalin hubungan baik dengan masyarakat dan pemerintah. 

  

Kedudukan non-muslim dalam penerapan hukum Islam dapat dikaji dalam berbagai undang-undang dan qanun. Misalnya, Undang-Undang Pemerintahan Aceh Tahun 2006 menegaskan bahwa “setiap umat Islam di Aceh wajib menaati dan mengamalkan syariat Islam” (Ayat 1). Serta, “setiap orang yang bertempat tinggal atau berada di Aceh wajib menjunjung tinggi pelaksanaan syariat Islam” (Ayat 2). 

  

Non-Muslim dalam Konteks Hukum Islam 

  

Non-muslim dalam hukum Islam diberikan kebebasan beragama. Hukum Islam menegaskan kebebasan memilih agama. Batasan antara beriman kepada Allah SWT dan Rosul-Nya jelas; “siapa yang beriman harus beriman, dan siapa yang ingin menjadi kafir, itu pilihannya, karena jika Allah menghendaki, semua umat manusia dan bumi akan beriman.” Kedudukan non-muslim dalam hukum Islam berdasarkan al-Qur’an dan hadis nabi tidak semuanya bertentangan dan berperang dengan umat Islam. Satu-satunya kelompok non-muslim yang harus dilawan adalah ‘kafir harbi’ yakni kelompok yang memang memerangi umat Islam.


Baca Juga : Prabowo dan Framing Negatif Indonesia Sekarang

  

Hukum Islam memandang seluruh umat manusia dengan hormat dan bermartabat, termasuk non-muslim. Hal ini tidak hanya dalam konsep melainkan diamalkan oleh Nabi dan para sahabatnya. Tidak lebih dari dua tahun setelah kedatangan Nabi Muhammad SAW di Madinah, landasan kebebasan dalam menjalankan kehidupan beragama telah tertanam kuat, terbukti dengan ditandatanganinya perjanjian monumental yang dikenal dengan Piagam Madinah. Madinah merupakan daerah yang masyarakatnya majemuk karena dihuni oleh komunitas muslim dari Muhajirin dan Anshar serta komunitas Yahudi dan Kristen. Para ahli politik Islam berpendapat bahwa Piagam Madinah yang terdiri dari 47 pasal merupakan konstitusi negara Islam pertama di dunia. 

  

Selama Islam berkuasa di semenanjung Andalusia atau Spanyol dan Portugal, perdamaian dan keamanan terwujud dalam masyarakat Eropa. Alhasil, muncul kota-kota terkenal seperti Cordova, Granada, Seville, dan Toledo di mana kawasan tersebut menjadi pusat ilmu pengetahuan, peradaban, dan perekonomian. Pada saat yang sama, komunitas non-muslim memberikan suasana damai yang mereka butuhkan untuk kemajuan dan inspirasi guna kontribusi pada pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban dunia. 

  

Kedudukan Non-Muslim dalam Negara-Bangsa

  

Pada konteks negara-bangsa saat ini, semua Undang-Undang mengacu pada Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR) yang dikeluarkan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Pada Pasal 6 UDHR menyatakan bahwa “setiap orang berhak mendapatkan pengakuan di mana pun ia berada sebagai manusia di hadapan hukum.” Pasa 7 UDHR memperkuatnya dengan kalimat “semua orang sama di hadapan hukum dan berhak tanpa diskriminasi apa pun, atas perlindungan hukum yang sama.” Hal ini memunculkan semangat “kesetaraan di hadapan hukum.” Istilah ini bukan berarti hanya dimonopoli oleh sistem hukum internasional, melainkan berlaku secara universal termasuk dalam sistem hukum Islam. 

  

Jika dibandingkan antara konsep persamaan di depan hukum dengan hakikat hukum Islam sebagai rahmatan lil alamanin, maka konsep hukum Islam lebih bersifat universal. Al-Qur’an mengandung nilai-nilai universal yang harus sesuai dengan seluruh umat manusia tanpa memandag kebangsaan, warna kulit dan agama. Oleh sebab itu, berdasarkan hukum Islam, kedudukan non-muslim sangat dihormati dan diberikan perlindungan. Khususnya, dalam konteks negara-bangsa muncul konsep hak asasi manusia yang menekankan pada kesetaraan, keadilan dalam konteks hukum, dan perlindungan terhadap warga negara. Pada prinsipnya, harmonisasi filosofis antara hukum Islam dan hak asasi manusia sangat mungkin dilakukan melalui rekonstruksi tradisi Islam klasik, sehingga terjadi dialektika yang saling membangun dan melengkapi di masa depan. 

  

Indonesia sebagai negara bangsa yang mayoritas pemeluknya beragama Islam tidak ada bedanya dalam memperlakukan warga negara non-muslim. Bahkan, dalam hal tertentu, non-muslim tetap diberikan hak-hak hukum. Bahkan, sering kali non-muslim memberikan bantuan wakaf kepada umat Islam. Jadi, kehidupan antar agama di Indonesia berlangsung rukun dan damai. 

  

Non-Muslim, Qanun Jinayat dan Politik Hukum Responsif

  

Pemerintah Aceh menetapkan Qanun Jinayat di tengah suasana politik demokratis di Indonesia. perubahan politik dari otoriter menjadi demokratis memberikan ruang yang luas bagi Aceh untuk menerapkan hukum Islam dengan menyesuaikan hukum Indonesia dan tatanan hukum internasional. Terdapat beberapa kasus yang menunjukkan konfigurasi hukum yang demokratis pada era reformasi dengan mendorong perbaikan indeks hak asasi manusia, termasuk hak non-muslim di Indonesia pada umumnya, khususnya Aceh dalam konteks Qanun Jinayat.

  

Pertama, kasus Maysir atau perjudian. Berdasarkan Qanun Jinayat, maysir adalah suatu perbuatan yang mengandung unsur pertaruhan dan/atau unsur keberuntungan yang dilakukan di antara dua pihak atau lebih, disertai kesepakatan bahwa pemenang akan menerima pembayaran/keuntungan tertentu dari pihak yang kalah, baik langsung maupun tidak langsung (Qanun Jinayat, 6/2014). Pada 5 Juli 2020 terjadi kasus pidana perjudian yang melibatkan empat non-muslim dan satu muslim. Barang bukti yang diserahkan yakni uang sebesar Rp. 1. 165.000, tiga set kartu Joker merk Full Hoese, satu unit meja bundar, dan lima kursi. Berdasarkan alat bukti yang ditemukan sesuai ketentuan Pasal 180 dan Pasal Qanun Nomor 7 Tahun 2013. Terbukti secara sah dan meyakinkan bahwa terdakwa adalah dewasa dan dapat dibebani tanggung jawab hukum dan beragama Islam. Sebaliknya, dua warga budha dan Kristen sudah menyatakan tunduk pada hukum Jinayah di Aceh. Merujuk pada putusan Pengadilan Syariah, hukuman yang dijatuhkan kepada seluruh narapidana relatif ringan. Empat terdakwa dicambuk sebanyak tiga kali di depan umum dan diharuskan membayar biaya perkara Rp.5000. Satu terdakwa lain divonis lima kali cambuk karena melakukan tindak pidana yang sama sebanyak dua kali. 

  

Kedua, kasus khalwat dalam Qanun Aceh diartikan sebagai perbuatan berada di tempat tertutup di antara dua orang berbeda jenis kelamin dan bukan mahram, tanpa ikatan perkawinan dengan persetujuan kedua belah pihak dan berujung pada perbuatan zina. Pada 20 Desember 2020 di Perumahan RSUD Aceh Singkil terdapat pria berusia 50 tahun dan wanita berusia 44 tahun digerebek. Keduanya non-muslim. Putusan Pengadilan Singkil menyatakan mereka harus dihukum cambuk masing-masing delapan kali dan membayar biaya perkara sebesar Rp. 3000. 

  

Kesimpulan

  

Formalisasi hukum Islam membawa tatanan baru dalam konteks dialektis antara hukum Islam dan negara Indonesia. Secara garis besar penelitian tersebut membuktikan bahwa hukum Islam diterapkan secara formal di Aceh. Kehidupan non-muslim tidak berbeda. Mereka tetap dilindungi, hidup aman dan damai, serta leluasa beribadah. Non-muslim memilih tunduk pada Qanun Jinayat. Oleh karena itu, dalam konteks politik hukum, syariat Islam dan Qanun Jinayat yang lahir dari konfigurasi hukum yang demokratis melahirkan hukum yang adil dan setara tidak diskriminatif termasuk kepada non-Muslim. Non-Muslim pada sejumlah kasus memilih untuk menundukkan diri kepada syariat Islam secara sukarela.