Penafsiran Ulang Keadilan Berdasarkan Gender
Riset AgamaArtikel berjudul “Reinterpretation of Justice in Islamic Inheritance Rights Based on Gender” merupakan karya Hani Sholihah, Nani Widiawati, Mohd Khairul Nazif bin Hj. Awang Damit. Tulisan tersebut terbit di Al-‘Adalah Journal tahun 2024. Tujuan dari tulisan tersebut adalah mengonstruksi makna baru mengenai keadilan gender dalam pewarisan. Tema tersebut dikaji menggunakan penelitian kualitatif, desain studi pustaka yang kemudian dianalisis dengan teori keadilan dan kesetaraan. Terdapat empat sub bab dalam resume ini. Pertama, pendahuluan. Kedua, perbedaan pembagian waris laki-laki dan perempuan dalam hukum Islam. Ketiga, kesetaraan dan keadilan gender dalam hukum waris Islam. Keempat, penafsiran ulang keadilan gender dalam hukum waris Islam.
Pendahuluan
Secara metodologis, terdapat dua pendekatan yang berbeda dalam menafsirkan teks-teks keagamaan, yaitu pendekatan tekstual dan pendekatan kontekstual. Di sisi lain, terdapat pula dua kelompok madzhab dalam ranah hukum Islam, yaitu mazhab tekstual (ahli hadis) yang menganut idealisme teks-teks suci, dan madzhab rasional (ahli ra\'yu ) yang cenderung menggunakan logika dalam menafsirkan ketentuan-ketentuan dalam suatu teks. Kedua model penafsiran dan madzhab tersebut terkadang memunculkan polemik ketika menafsirkan persoalan-persoalan keagamaan. Model pertama dianggap terlalu kaku, skematis, dan mengabaikan dinamika yang berkembang dalam masyarakat. Sementara itu, model kedua dianggap lebih mengutamakan akal sehingga sering mengabaikan nilai-nilai fundamental dalam teks-teks suci.
Hakikat hukum itu sendiri dapat dilihat dari dua sudut pandang. Pandangan klasik menyatakan bahwa hukum bersifat netral dan karenanya tidak terkait dengan aspek-aspek di luar ranah hukum. Sementara pandangan modern menyatakan sebaliknya, bahwa hukum tidak bersifat netral karena terkait dengan dinamika realitas sosial, sehingga hukum Islam berfungsi sebagai kontrol dan nilai bagi perubahan sosial. Oleh karena itu, hukum dipahami sebagai produk sejarah yang membenarkan tuntutan perubahan dalam masyarakat yang mengalami dinamika sebagai ciri inheren peradaban.
Sementara itu, konsep keadilan gender yang dibahas dalam literatur antara lain sering mempertanyakan hak perempuan dalam masalah waris yang selama ini dianggap lebih mengakomodasi hak laki-laki karena perannya yang dominan sepanjang sejarah. Di era modern saat ini, kesenjangan peran dan fungsi antara laki-laki dan perempuan semakin menyempit, kesetaraan gender semakin meningkat, dan status karier perempuan semakin meningkat. Oleh karena itu, proporsi pembagian hak waris 2:1 di antara mereka dianggap tidak relevan. Oleh karena itu, ijtihâd diperlukan untuk menyelaraskan nilai-nilai dasar Islam dengan dinamika kontemporer.
Perbedaan Pembagian Waris Laki-laki dan Perempuan dalam Hukum Islam
Hukum waris dalam Islam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hukum keluarga Islam yang mengatur hak dan kewajiban keluarga serta individu. Al-Qur\'an sebagai sumber utama hukum Islam menguraikan hukum waris secara lebih rinci, tidak seperti hukum-hukum lain yang dijelaskan secara lebih umum dalam teks suci. Hal ini menunjukkan bahwa masalah-masalah mengenai pembagian harta warisan rentan terhadap perselisihan, bahkan konflik dalam keluarga. Oleh karena itu, perincian setiap bagian telah ditetapkan secara langsung oleh Allah dalam Al-Qur\'an, karena manusia tidak mengetahui secara pasti cara terbaik untuk membaginya.
Pembagian harta warisan dalam perspektif hukum Islam memperlihatkan adanya perbedaan antara bagian laki-laki dan perempuan, di mana laki-laki mendapat bagian ganda sedangkan perempuan mendapat bagian tunggal (2:1). Hal ini dikarenakan ketika seorang laki-laki menikah, harta warisan yang diterimanya dari kedua orang tuanya digunakan untuk membayar mahar dan memberikan nafkah kepada istri dan anak-anaknya. Sebaliknya ketika anak perempuan menikah, harta warisan yang diterimanya tidak dimanfaatkan karena ia menerima nafkah dan mahar dari suaminya.
Baca Juga : Ulama Perempuan dalam Melawan Radikalisme Agama
Hak waris yang lebih besar bagi laki-laki dibandingkan dengan perempuan adalah sebanding dengan kewajibannya untuk memberikan mahar kepada istrinya dan untuk memberikan nafkah kepada istri, anak-anaknya, bahkan kepada orang tua atau saudara kandungnya apabila dibutuhkan. Oleh karena itu, sebagian pendapat menyatakan bahwa sistem waris yang dirumuskan oleh Islam merupakan bentuk administrasi yang paling berorientasi solusi dalam menilai dan melaksanakan kesejahteraan. Hukum Islam menetapkan aturan-aturan waris secara sangat teratur dan sistematis serta menentukan porsinya secara adil.
Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Hukum Waris Islam
Jumlah bagian warisan bagi setiap ahli waris telah diatur secara jelas dalam hukum waris Islam. Berdasarkan surat An-Nisa (4): 11, perbandingan bagian warisan yang diterima anak laki-laki dan anak perempuan ditetapkan dua berbanding satu. Namun, seiring berjalannya waktu, peran perempuan semakin mendekati kesetaraan dengan laki-laki. Banyak pekerjaan yang sebelumnya dianggap eksklusif untuk laki-laki, kini dapat juga ditekuni oleh perempuan. Bahkan, sebagian perempuan telah menjadi tulang punggung keluarga. Perubahan peran tersebut telah menimbulkan masalah gender dalam masyarakat.
Gender merupakan persepsi yang digunakan untuk menunjukkan perbedaan perilaku, peran, pola pikir, dan karakteristik emosional yang sering dikaitkan antara laki-laki dan perempuan. Persepsi ini dipengaruhi oleh faktor sosial, psikologis, historis, dan budaya. Gender lebih mengacu pada atribut maskulin dan feminin dan tidak semata-mata terkait dengan perbedaan biologis dalam jenis kelamin. Sementara itu, kesetaraan gender merupakan kondisi sosial di mana laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang setara, harmonis, dan seimbang. Kondisi ini dapat dicapai melalui perlakuan sosial yang adil di antara mereka. Penting untuk disadari bahwa mencapai keadilan dan kesetaraan gender haru mempertimbangkan situasi dan konteks tertentu dan tidak hanya mengandalkan kalkulasi matematis. Artinya, konsep kesetaraan gender bukan tentang kuantitas tetapi kualitas dalam hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan.
Di Indonesia, hubungan gender dengan budaya Indonesia dalam konteks Islam menciptakan beberapa kategori. Pertama, tahmil (penghargaan). Islam melestarikan budaya yang sejalan dengan prinsip-prinsip Islam, termasuk sikap positif terhadap wanita. Misalnya, Islam menghormati wanita yang berkontribusi pada kepentingan keluarga. Kedua adalah tahrîm (penghancuran). Islam menolak unsur-unsur budaya Arab yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip Islam dan diskriminatif terhadap perempuan, seperti praktik perbudakan yang mengeksploitasi perempuan. Ketiga, tahqîq (rekonstruktif). Hukum gender di Indonesia muncul dari keprihatinan para aktivis perempuan tentang berbagai masalah yang timbul dalam perkawinan.
Mengenai aturan ketat pembagian warisan dan keinginan pihak tertentu untuk metode alternatif dalam situasi tertentu, tidak ada prinsip panduan untuk pengecualian. Namun, tuntutan keadilan dan kesepakatan pihak yang terlibat dapat menyelesaikan masalah tersebut. Ada dua cara penyelesaian: pertama, setelah warisan dibagikan, dan kedua, sebelum pembagian dilakukan. Metode pertama melibatkan penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan kemudian menyatukan kembali warisan untuk dibagikan sesuai kesepakatan bersama. Metode kedua melibatkan penyesuaian sebelum pembagian warisan, dengan semua ahli waris setuju untuk menggunakan metode alternatif di luar hukum Islam. Kesepakatan ini dapat berarti satu atau lebih ahli waris memilih untuk tidak ikut serta dalam pembagian dengan imbalan kompensasi dari warisan, atau ahli waris mengambil satu bentuk warisan. Metode ini dikenal sebagai takharuj atau tashaluh.
Penafsiran Ulang Keadilan Gender dalam Hukum Waris Islam
Keadilan adalah memberikan hak yang sepantasnya kepada setiap orang tanpa merampas hak orang lain. Keadilan adalah sikap yang menentang perilaku tidak adil seperti mencuri atau memaksa. Sementara itu, kesetaraan berarti tanpa diskriminasi dan kesamaan atau perlakuan yang sama. Dengan demikian, asas keadilan memperkuat asas-asas yang terkait dengan kesetaraan. Hal ini karena keadilan memperkuat hasil yang sama dengan mempertimbangkan perbedaan kedudukan dan kapasitas seseorang. Istilah kesetaraan dan keadilan sering disamakan karena, sekilas, keduanya tampak memiliki makna yang sama. Keduanya terkait dengan bagaimana seseorang atau sekelompok orang diperlakukan, dan kedua istilah tersebut sering digunakan dalam hukum, pemerintahan, ekonomi, dan sebagainya. Kesetaraan dapat didefinisikan sebagai memperlakukan setiap individu dengan cara yang sama tanpa memandang kebutuhan dan persyaratan mereka. Sementara itu, keadilan dapat diartikan sebagai memperlakukan individu secara adil berdasarkan kebutuhan dan persyaratan mereka.
Ketentuan mengenai pembagian harta waris dengan perbandingan 2:1 pada hakikatnya sejalan dengan asas keadilan dan pemerataan. Guna menjelaskan hal tersebut, perlu diperhatikan beberapa faktor, yaitu: 1) Dibandingkan dengan situasi sosial sebelumnya, perempuan pada saat itu sering tidak memiliki hak waris dan dianggap sebagai objek yang dapat diwariskan. Oleh karena itu, pemberian hak waris kepada perempuan oleh Islam dapat dipandang sebagai tindakan yang adil. Memberikan hak waris kepada perempuan, Islam secara efektif menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang sama dalam menerima warisan; 2) Untuk menjawab pertanyaan tentang perbedaan kuantitas pembagian harta waris antara laki-laki dan perempuan, perlu diperhatikan konteks sosial pada saat itu, di mana laki-laki secara tradisional memiliki tanggung jawab penuh untuk menyediakan nafkah bagi keluarga.
Prinsip keadilan dalam hukum Islam berlandaskan pada keadilan yang ditetapkan oleh Allah SWT, karena manusia sulit memahami konsep keadilan secara utuh. Dalam hukum Islam, keimanan kepada Allah mendahului pemahaman, karena diakui bahwa segala sesuatu yang ditetapkan oleh Allah itu pasti adil. Oleh karena itu, keadilan dalam masalah waris adalah memenuhi perintah Allah tentang waris dengan cara membagikannya sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah. Pembagian waris dengan perbandingan 2:1 merupakan ketentuan yang terdapat dalam Al-Quran, dan hal ini diterapkan karena laki-laki memiliki tanggung jawab yang lebih besar daripada perempuan, sehingga menurut syariat, besarnya pembagian waris ditentukan. Hukum Islam tetap berkomitmen untuk memberikan kesetaraan dan keadilan gender, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan. Pandangan ulama dari Mazhab Syafi\'i adalah bahwa dalil-dalil yang sering dikemukakan oleh para pembela feminis merupakan konsep keadilan yang tidak relevan karena mereka tidak memahami hukum waris sebelum Islam. Sebagai agama yang sempurna, Islam tetap menjadi landasan hukum yang relevan di seluruh dunia, karena setiap hukum yang diturunkan Allah merupakan bentuk keadilan bagi hamba-hamba-Nya.
Pada konteks hukum waris, keadilan dalam Islam bersumber dari tanggung jawab masing-masing individu sesuai dengan hak yang diterimanya dari pembagian harta warisan. Tidak adanya kesetaraan dalam pembagian harta antara laki-laki dan perempuan dalam Islam bukan berarti Islam berlaku tidak adil atau mengurangi hak perempuan. Sebaliknya, Islam sangat menekankan asas keadilan karena Allah Maha Mengetahui siapa yang lebih banyak mendapatkan keuntungan. Oleh karena itu, pembagian harta warisan didasarkan pada peran dan tanggung jawab masing-masing individu.
Kesimpulan
Penafsiran ulang tentang keadilan gender dalam pembagian warisan sebagaimana yang termuat dalam ayat-ayat Al-Qur\'an tersirat di dalamnya. Pembagian warisan dalam Islam yang menetapkan perbandingan 2:1 antara ahli waris laki-laki dan perempuan, oleh para ulama fiqih, baik klasik maupun modern, dipandang sebagai hukum Islam yang qath\'iy dan final. Sebagian pendapat, khususnya dari kalangan feminis, memandang putusan ini bias gender dan tidak adil karena tidak adanya kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan. Akan tetapi, hasil penelitian menunjukkan bahwa keadilan tidak sama dengan kesetaraan. Pada pembagian warisan Islam, pembagian yang tidak merata antara laki-laki dan perempuan dengan perbandingan 2:1 dianggap adil karena sesuai dengan tanggung jawab yang dipikul laki-laki terhadap keluarganya.