Peran MUI dalam Sertifikasi Halal dan Jaminan Produk
Riset AgamaArtikel berjudul “Role of Indonesian Council of Ulama in Halal Certification and Product Guarantee” merupakan karya Abdul Rachman dan Ashar Johnson Kokhar. Tulisan ini terbit di Journal of Islamic Thought and Civilization (JITC) tahun 2023. Penelitian tersebut menganalisis peran Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam sertifikasi halal pasca berlakunya UU No.33 Tahun 2014. MUI adalah lembaga ulama tertinggi di Indonesia yang memiliki kewenangan menatapkan fatwa halal dan haram suatu produk. Hal ini sangat penting dalam mambantu pemerintah menjamin sertifikasi halal suatu produk sebelum di konsumsi. Metode yang digunakan adalah kepustakaan guna mengambil data sekunder sertifikasi makanan dan minuman halal yang sesuai dengan UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Terdapat empat sub bab dalam resume ini. Pertama, pendahuluan. Kedua, konsep makanan halal dalam Islam. Ketiga, penetapan fatwa halal MUI. Keempat, peraturan sertifikasi halal di Indonesia.
Pendahuluan
Pembentukan Majelis Ulama Indonesia (MUI) memiliki peran besar bagi bangsa dan negara, terutama dalam pengaturan halal dan haram suatu produk. Selain itu, MUI adalah wadah ulama berkumpul dan bekerja sama dalam rangka melaksanakan tanggung jawabnya sebagai wadah penerbitan fatwa. Terdapat empat peran MUI; pertama, sebagai forum yang memberikan fatwa dan nasehat kepada pemerintah dan umat Islam mengenai berbagai masalah keagaaan dan sosial. Kedua, mendorong solidaritas umat Islam guna membentuk kepemimpinan efektif yang mencerminkan kepemimpinan umat Islam di Indonesia yang multikultural. Ketiga, bertindak sebagai mediator antara pemerintah dan Masyarakat. Keempat, menjadi representasi umat Islam dalam musyawarah antar kelompok agama.
Konsep Makanan Halal dalam Islam
Secara etimologis, makan adalah tindakan yang mengacu pada tindakan menelan sesuatu melalui mulut, sedangkan makanan mengacu pada segala sesuatu yang dikonsumsi manusia. Berdasarkan Ensiklopedi Hukum Islam, pangan diartikan sebagai sesuatu yang boleh dikonsumsi manusia untuk menghilangkan rasa lapar. Secara etimologis, minum memicu pada tindakan memasukkan cairan dengan menggunakan mulut, sedangkan minuman mengacu pada apa pun yang dapat ditelan.
Berdasarkan kajian fikih, halal dan haram masuk dalam aspek hukum taklifi. Kata halal digambarkan dengan membebaskan, melepaskan, menyelesaikan dan mengixinkan. Halal memiliki dua arti dalam hukum syariah. Pertama, halal merujuk pada kebolehan memanfaatkan apa pun guna memebuhi kebutuham. Kedua, kemampuan seseorang dalam memanfaatkan dan melakukan perbuatan tertentu yang semuanya ditentukan dalam al-Qur’an. Sebaliknya, haram dalam istilah etimologis mengacu pada sesuatu yang dilarang. Haram memiliki dua aspek dalam hukum Islam, yakni dari segi substansi dan keterbatasannya, serta dari segi bentuk dan sifatnya.
Semua halal dikonsumsi dalam Islam, kecuali disebutkan jelas haram dalam al-Qur’an, hadis, ijma’ atau qiyas. Halal harus bersih, murni, dan diolah sesuai dengan prinsip Islam yang juga melarang babi dan turunannya, darah dan turunannya, hewan yang disembelih tanpa menyebut nama Allah, bangkai, hewan liar, dan khamr. Sertifikasi halal mengacu pada relevansi esensi non-materi dan spiritual dalam memperoleh dan mengkonsusmsi makanan. Artinya, berkaitan dengan lebih banyak aspek substansi atau materinya.
Penetapan Fatwa Halal Majelis Ulama Indonesia
Baca Juga : Dari Sosok Gus Sholah Temui Wajah Indonesia
Ketika menentukan status suatu produk, diperlukan fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Fatwa adalah solusi atau penjelasan para ulama mengenai topik keagamaan yang berlaku bagi Masyarakat umum. Penetapan fatwa MUI mengenai produk halal didasarkan pada pedoman dan tatacara penetapan fatwa MUI tanggal 16 Desember 2003. Terdapat beberapa tahapan dalam menetapkan fatwa halal suatu produk: 1) fatwa halal dikeluarkan audit dengan laporal hasil halal pemeriksaan auditor tergantung pada hasil rapat auditor Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan dan Kosmetika (LPPOM MUI); 2) Direktur LPPOM MUI menerima hasil audit produk halal setelah diangkat dalam rapat paripurna koisi; 3) auditor halal diddampingi oleh komisi fatwa dalam memerisa dan menganalisis topik yang relevan dengan fikih, seperti proses penyembelihan dan bersuci; 4) setelah seluruh prosedur selesai, komisi fatwa MUI menerbitkan sertifikat halal yang menunjukkan status suatu produk.
Peraturan Sertifikasi Halal di Indonesia
Sertifikasi halal di Indonesia telah mengalami beberapa perubahan baik aspek operasional, kebijakan, prosedur, bahkan regulasi. Lembaga pertama yang melaksanakan sertifikasi halal di Indonesia adalah Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan dan Kosmetika (LPPOM MUI) yang bekerja sama dengan beberapa lembaga pemerintah dan perguruan tinggi seperti Kementerian Agama, BPPOM, Kementerian Perdagangan, dan lain sebagainya.
Jaminan sertifikasi produk halal dilakukan oleh pemerintah dengan menerbitkan peraturan. Pada 17 Oktober 2014 pemerintah mengesahkan RUU Jaminan Peoduk Halal dan berujung diberlakukannya UU Nomor 33 Tahun 2014. Guna melaksanakannya, Indonesia menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 31 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 33 tahun 2014. Kemudian, pada 12 November 2019 diterbitkan Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 982 Tahun 2019 dala rangka implementasi UU Nomor 33 Tahun 2014.
Badan Penyelenggaran Jaminan Produk Halal (BPJPH) merupakan regulator sertifikasi halal di Indonesia. Sedangkan MUI berhak mengeluarkan fatwa halal untuk sertifikasi halal sesuai audit LPPOM MUI. LPPOM MUI menjadi lembaga pemeriksa halal yang melakukan pemmeriksaan kelengkapan dokumen, pelaksanaan audit dan penyampaian hasil audit pada rapat Komisi Fatwa MUI.
Kesimpulan
Secara garis besar penelitian ini menjelaskan bagaimana peran dan keterlibatan MUI dalam mewujudkan kepastian hukum halal dan haram suatu produk. Hal ini didasarkan pada Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 mengenai Jaminan Produk Halal (JPH). Intinya, meskipun prosedur sertifikasi halal ditangani oleh BPJPH, namun MUI turut berperan dalam sertifikasi halal dengan mengeluarkan fatwanya. Hal ini juga membantu mengakreditasi Lembaga Inspeksi Halal dan mensertifikasi auditor halal. Terdapat sekitar 85% produk makanan, minuman dan kosmetik dengan sertifikasi halal yang belum teridentifikasi beredar di Indonesia. Selain itu, masih ada makanan dan minuman yang mencantumkan label halal secara illegal tanpa adanya uji kehalalan pada produknya. Ini adalah permasalahan yang jelas menimbulkan kekhawatiran bagi Masyarakat Indonesi ayng mayoritas beragama Islam.