Prasangka dan Keimanan
Riset AgamaArtikel berjudul “Evaluation of the Claim that Islam Frightens People with Eternal Pain” merupakan karya Müfit Selim Saruhan. Tulisan ini terbit di Millah: Journal of Religious Studies tahun 2024. Tujuan utama artikel tersebut adalah mengklarifikasi pertanyaan yang sering diajukan tentang keyakinan Islam mengenai kehidupan setelah kematian. Menurut sebagian orang, pertanyaan ini akhir-akhir ini telah menyebabkan kaum muda menjauh dari iman. Sejauh mana kita dapat memeluk agama yang meramalkan siksaan kekal? Studi tersebut menyoroti prasangka-prasangka itu dan mendorong para pembaca untuk menyelidiki kedalaman intelektual Islam yang berbasis pada pengetahuan. Terdapat tiga sub bab dalam resume ini. Pertama, pendahuluan. Kedua, keabadian dan konsep yang terkait. Ketiga, Allah dan kasih sayang.
Pendahuluan
Nasib yang dialami oleh semua makhluk hidup dan manusia menyangkut kematian dan kehidupan setelah kematian merupakan topik umum dalam filsafat dan agama. Filsafat dan agama menafsirkan kehidupan, kematian, dan kehidupan setelah kematian dalam ranah pengetahuan mereka sendiri sebagai dua sistem yang muncul sebagai misteri. Manusia adalah makhluk paling istimewa, sebab mampu bergerak, berpikir, tertawa, bahkan menangis. Namun setelah kematian, seseorang tidak mampu lagi melakukan berbagai hal di atas.
Keabadian dan Konsep yang Terkait
Berdasarkan referensi Barat, konsep ketidakterbatasan disebut sebagai “abadi.” Pada istilah filosofis absolut, konsep keberlangsungan atau ketidakterbatasan disebut dengan kata “eternal.” Ketika berbicara tentang keabadian manusia, jelaslah bahwa manusia bersifat fana. Tidak ada jalan keluar dari kematian bagi makhluk hidup mana pun. Namun ketika berbicara tentang keabadian, apakah manusia dapat mencapai jenis kehidupan setelah kematian yang lebih bebas dan lebih kuat tanpa rasa sakit atau perpisahan.
Ada berbagai prasangka di masyarakat mengenai Islam. Prasangka-prasangka ini mudah dihilangkan ketika dihadapkan dengan pengetahuan sejati dan sumber-sumber agama yang mendasar. Syarat utama manusia adalah percaya, di mana dengan menemukannya akan memberikan kedamaian besar dalam hidup. Pada konteks sistem kepercayaan, kehidupan duniawi memiliki nilai moral. Kehidupan duniawi adalah ladang nilai di mana manusia mencapai keabadian. Al-Qur’an menarik mengajak manusia “mempertimbangkan” sumber dan nilai pengetahuan.
Allah dan Kasih Sayang
Mari coba renungkan mengenai klaim bahwa “Islam menakuti manusia dengan siksaan yang abadi.” Apakah Islam benar-benar mengancam manusia dengan hukuman? Apakah muslim memilih Islam sebagai agama karena hanya merasa takut? Berdasarkan Islam, perintah dan larangan adalah jaminan dasar bagi kesehatan fisik dan mental manusia. Meskipun tidak diragukan lagi bahwa Allah adalah pemilik kasih karunia, kemurahan hati, dan pengampunan, kesimpulan dasar dalam semua kitab suci adalah bahwa balasan untuk kebaikan dan kejahatan merupakan persyaratan keadilan dan kebijaksanaan ilahi.
Akan tetapi, perlu diingat bahwa dalam sejarah tafsir dan teologi, ada banyak pendapat yang mendukung dan menentang tentang apakah hukuman itu kekal. Ingat bahwa nama-nama Allah yang Maha Pengampun, Maha Pemaaf, Maha Penyayang, dan Maha Penyayang termasuk nama-nama Allah yang indah. Tidak ada nama-nama Allah yang menyiksa, Allah yang pemarah, maka hal itu harus diterima sebagai dalil bahwa siksaan itu tidak kekal. Kasih sayang merupakan sifat yang sudah ada sejak lama dan tidak dapat dipisahkan dari hakikat Allah.
Hukuman adalah \"kejahatan,\" maka hukuman itu tidak dapat dikaitkan dengan Allah SWT. Zat dan sifat Allah memiliki ciri kesempurnaan mutlak, dan tindakan-tindakan-Nya hanyalah kebaikan. Sebab, murka Allah yang menjadi dasar siksaan, bukanlah sifat hakiki yang tidak dapat dipisahkan dari Allah, maka siksaan tidak harus terus-menerus. Sementara, siksaan atau hukuman bersifat sementara, sedangkan rahmat bersifat kekal karena merupakan sifat hakiki Tuhan. Siksaan kekal bertentangan dengan keadilan Tuhan. Hukuman atas dosa yang dilakukan dalam hidup yang singkat juga harus terbatas.
Al-Qur’an sering menekankan bahwa kematian bukanlah akhir, melainkan awal atau titik transisi. Pada masa jahiliyah, manusia hanya peduli dengan kematian tapi tidak dengan apa yang terjadi setelahnya. Menurut pemahaman ini, kematian tidak lebih dari sekadar jiwa yang pergi atau tubuh yang membusuk menjadi debu dan tanah liat. Kemudian, Islam datang untuk menuntun pada kebahagiaan. Namun, muncul klaim bahwa Tuhan mengancam manusia dengan siksaan yang kekal. Padahal, jelas dalam Al-Qur’an bahwa Allah SWT menampilkan dirinya dengan keadilan dan kemurnian.
Surga bukanlah tahap akhir bagi manusia yang baik, dan neraka bukan akhir bagi para pendosa. Sebagaimana sinar mata hari di pagi hari dan bulan purnama di malam hari, setiap manusia akan bergerak maju menuju tuhan, dan akhirnya membayar dosa yang diperbuat. Nabi Muhammad SAW bersabda “Allah telah membagi rahmat-Nya menjadi seratus bagian. Sembilan puluh sembilan bagian disimpan-Nya di sisi-Nya dan mengirim satu di antaranya ke bumi. Makhluk-makhluk saling mengasihani satu sama lain karena rahmat yang kecil ini. Hewan bahkan mengangkat kaki mereka karena takut bayi mereka akan menginjak mereka” (Sahih Al-Bukhÿrÿ No. 600). Kemarahan dan cinta Tuhan adalah ekspresi metaforis dari Al-Quran. Allah mengajak manusia ke jalan kebaikan, keindahan, dan kebenaran melalui ekspresi yang menyemangati.
Kesimpulan
Manusia memiliki potensi yang besar. Namun, seseorang dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat dengan mengungkapkan potensi yang diberikan kepadanya sejak lahir melalui pilihan dan perilakunya. Seseorang dapat mengungkapkan bakat yang ada dalam dirinya dengan cara terbaik dan paling akurat dengan merenungkan makna nama nama Tuhannya. Prasangka mengenai pemahaman agama Islam tentang akhirat telah mengemuka. Berbagai pandangan mengenai hukuman abadi telah sirna dengan nama-nama indah Allah (Asmaul Husna). Artinya, hukuman tidaklah kekal, sedangkan kasih sayang tidak bisa dipisahkan dari hakikat Allah SWT.