(Sumber : www.nursyamcentre.com)

Re-Islamisasi Abangan Menjadi Santri Melalui Penanggalan Jimat

Riset Agama

Tulisan berjudul “Re-Islamisation: The Conversion of Subculture from Abangan into Santri in Surakarta” merupakan karya Haedar Nashir. Artikel ini terbit di Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies tahun 2018. Nashir membahas mengenai proses re-Islamisasi yang masi berlangsung. Re-Islamisasi merupakan proses seorang muslim menjadi lebih islami, baik dari aspek keyakinan, pengetahuan, maupun pengamalan dalam ajaran agama. Selain itu, Re-Islamisasi ditandai dengan menguatnya pengamalan ritual Islam dan ditegakkannya norma-norma Islam dalam berbagai aspek kehidupan. Penelitian ini dilakukan di Surakarta dengan fokus pada objek kajian yakni Majelis Tafsir Al-Qur’an (MTA). Data didapatkan melalui wawancara dan sejarah Islamisasi sebagai kerangka teoritis. Di Surakarta, terdapat fenomena komunitas abangan yang meninggalkan jimat sebagai proses konversi dari abangan menuju santri. Hal ini merupakan sesuatu yang baru. Di dalam resume ini akan dijelaskan kembali tulisan Nashir dalam lima sub bab. Pertama, pendahuluan. Kedua, konstruksi teoritis Islamisasi. Ketiga, Islamisasi di Indonesia. Keempat, definisi jimat. Kelima,  Museum Amulet: jalur koversi sub budaya abangan. 

  

Pendahuluan

  

Islam telah berhasil menyebar di Indonesia hampir secara sempurna. Hal ini terbukti dengan Islam yang menjadi agama dengan pengikut tertinggi. Keberhasilan Islamisasi ini menjadikan Islam sebagai kesatuan yang kokoh dalam budaya masyarakat Jawa. Proses Islamisasi masih berjalan hingga saat ini, sehingga bisa dikatakan sebagai proses yang tidak pernah berakhir. Ricklefs dalam bukunya berjudul “A History of Modern Indonesia Since c.1200” yang menyatakan bahwa perkembangan masyarakat Islam di Jawa adalah “masyarakat yang mengislamkan”. Sedangkan, Azkumardi dalam tulisannya berjudul “Islamisasi Jawa” mengemukakan istilah “santrinisasi”. Istilah ini digunakan untuk mendefinisikan fenomena muslim yang “bergerak” menuju kehidupan yang lebih Islami dengan mempraktikkan norma dan simbol sebagai acuan hidup sehari-hari. Hal lain yang lebih menarik adalah, santrinisasi meluas pada seluruh lapisan masyarakat baik tingkat atas, tengah, maupun akar rumput.

  

Konstruksi Teoritis Islamisasi

  

Terdapat empat teori yang membahas proses Islamisasi di banyak negara yang dihuni umat Islam. Pertama, teori agama pedang yang menyarankan Islamisasi secara paksa dibawa pada ranah radikal. Teori ini beranggapan bahwa, Islamisasi harus dilakukan dengan cara pertempuran untuk menaklukkan suatu daerah. Kedua, teori patronase politik yakni mengaitkan agama dengan politik kekuasaan. Teori ini berpendapat bahwa konversi dilakukan untuk mendapatkan keuntungan dari pihak yang berwenang, seperti posisi birokrasi, bebas pajak, dan keunggulan lainnya. Ketiga, teori pembebasan sosial yang mendalilkan Islamisasi sebagai konsekuensi dari sistem sosial keagamaan yang mengandung diskriminasi di antara lainnya. Penyebaran Islam di Jawa dan daerah lain bersifat umum terkait erat dengan pembebasan sosial ini. Para pendakwah selalu menekankan ukuran besarnya persaudaraan dalam agama bukannya menggarisbawahi perbedaan keturunan, kelas, dan suku. Keempat, teori akresi dan reformulasi. Teori ini memperdebatkan orang yang memeluk agama baru tidak secara langsung membuang keyakinan awalnya, melainkan menambahkan keyakinan dan simbol dari agama baru dalam hidup mereka. Konsep, doktrin dan kepercayaan dari agama lama masih diterapkan juga. 

  

Islamisasi di Indonesia

  

Sejarah Islamisasi di Indonesia dan tantangannya tidak berhenti bergulir seiring dengan dinamika dunia yang terjadi. Di dalam konteks masyarakat Jawa, sulit membayangkan bahwa penguatan pengaruh Islam bisa dihentikan. Sejarah Islamisasi di Jawa telah mencapai tahap yang signifikan yakni \"masyarakat yang mengislamkan\". Hasan Muarif Ambary dalam bukunya yang berjudul “Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan Historis Islam di Indonesia”’, menyatakan bahwa terdapat tiga tahap Islamisasi di Indonesia. Pertama, kehadiran pedagang muslim dari Arab ke berbagai wilayah Asia Tenggara pada abad ke tujuh. Kedua, pendirian kerajaan atau pemerintahan Islam pada abad tiga puluh. Ketiga, pelembagaan Islam melalui berbagai institusi sosial Islam.

   

Definisi Jimat


Baca Juga : Moderasi Beragama, Jalan Menuju Kesatuan Dan Keharmonian

  

Jimat atau azimat adalah benda yang diyakini sebagian orang memiliki kekuatan magis untuk melindungi pemegangnya dari penyakit atau hal lain. Kata \"jimat\" berasal dari bahasa latin amuletum yang berarti “sebuah benda yang dianggap dapat menjauhkan seseorang dari “masalah”. Selain itu juga dianggap sebagai sebuah benda yang alami maupun buatan manusia, dan diyakini melindungi seseorang dari bahaya. Orang yang percaya dan memiliki jimat biasanya menggunakannya untuk mencari keberanian, kesuksesan, daya tarik, kasih sayang, kekasih, kekuasaan, kecantikan, pelaris dagang, kekayaan dan lain sebagainya. 

  

Pencipta jimat, yang disebut wong pinter adalah aorang yang memiliki kecerdasan spiritual dan karunia supranatural. Istilah lain adalah wong tuo atau yang lebih tua, yang digunakan untuk merujuk kearifan yang dimiliki pencipta jimat. Wong pinter umumnya dianggap mengerti hal-hal gaib yang tidak dapat dipahami oleh orang awam dan untuk memiliki kemampuan berkomunikasi dengan makhluk gaib juga dianggap “dekat” dengan Allah SWT.

  

Museum Amulet: Jalur Konversi Sub Budaya Abangan 

 

Museum Amulet merupakan kumpulan dari berbagai jenis jimat yang ada dan disimpan di markas Majelis Tafsir Al-Quran. Hal ini bertujuan untuk “menegur” umat Islam yang menyimpan dan mempercayai benda-benda aneh dan memiliki kesaktian. Museum Amulet secara simbolis adalah pelepasan keyakinan utopis, mentalitas dalam hidup dan konversi ke gaya hidup baru yang lebih religius. Jika seseorang telah menyerahkan jimat yang mereka punya merupakan bukti konversi sub budaya abangan menjadi santri. Jimat yang dikirimkan dikumpulkan dalam lemari kaca yang ditempatkan di depan pintu masuk utama gedung. Hal itu dimaksudkan untuk disaksikan oleh anggota kelompok majelis untuk dijadikan pembelajaran.

  

Di dalam konteks ini, konversi diartikan sebagai transformasi sederhana dari tidak adanya komitmen pada iman, dari afiliasi agama pada satu sistem keyakinan ke sistem lain. Hal ini berarti ada transisi orientasi pribadi seseorang menuju kehidupan, dari takhayul ke penyembahan Tuhan, dari kepercayaan pada manusia dan ritual menuju kepercayaan pada Ketuhanan, dari kepercayaan pada keanehan yang mengancam, menghukum, dan menganggap orang lain simpati, suportif, dan sikap yang baik.

  

Kesimpulan

  

Islamisasi masyarakat Jawa bisa dikatakan sebagai budaya, namun mengalami proses berkelanjutan. Namun, Hinduisme telah mengakar dalam budaya Jawa sehingga orang-orang membentuknya sedemikian rupa untuk “berkompromi” dengan Islamisme. Islamisasi di Jawa memperoleh momentumnya sejak akhir kolonialisme. Kemajuan politik, agama, sosial dan budaya bertentangan dengan dinamika islamisasi dan juga santrinisasi masyarakat.  Di dalam keseluruhan proses yang berlarut-larut, terdapat hal yang bisa dipastikan, kelompok santri terus mendominasi sehingga menempatkan kelompok abangan dalam posisi kedua. Salah satu faktor paling mendasar di balik santrinisasi Jawa adalah kebangkitan organisasi modern di kalangan Muslim.