Resistensi Moderatisasi di Indonesia
Riset AgamaArtikel berjudul “Moderating Resistances: The Reproduction of Muslim Religious Space in the Dutch East Indies” merupakan karya Fuad Faizi. Tulisan ini terbit di Al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies tahun 2023. Kajian tersebut berusaha menguraikan secara historis akar Islam moderat. Fokusnya adalah pada praktik produksi ruang keagamaan pada masa penjajahan Belanda di Indonesia. Analisis difokuskan pada perubahan strategi pemerintah kolonial Belanda dalam melakukan reproduksi ruang keagamaan selama periode Perang Aceh dan Sarekat Islam. Terdapat empat sub bab dalam resume ini. Pertama, pendahuluan. Kedua, produksi ruang: perputaran spasial dalam pembelajaran agama. Ketiga, reproduksi masjid Belanda pada perang Aceh. Keempat, perampasan tokoh dan narasi Islam moderat oleh Belanda di era Serikat Islam.
Pendahuluan
Sebagai bagian dari ruang sosial, ruang keagamaan sering kali direproduksi untuk melanggengkan hegemoni kelompok dominan secara politik. Kemenangan dalam mereproduksi ruang sosial-keagamaan mengartikan kemampuan untuk mengendalikan dan mendisiplinkan umat beragama. Pada kaitannya, produksi ruang tidak dapat dipisahkan dari kepentingan struktur dominan, yakni struktur yang berupaya memproduksi ruang untuk melanggengkan hegemoninya.
Produksi Ruang: Perputaran Spasial dalam Pembelajaran Agama
Arti dari “agama dalam ruang” adalah kelompok agama yang menempati ruang tertentu seperti masjid, gereja, pura dan ruang lain yang dianggap sakral. Oleh sebab itu, agama dan ruang tidak dapat dipisahkan karena perubahan yang terjadi dalam agama akan mempengaruhi penataan ruangnya. Jadi, ruang keagamaan berfungsi sebagai ruang sosial di mana masyarakat mempresentasikan dan mewujudkan orientasi, makna dan simbol sucinya dalam dunia profan.
Menurut Henri Lefebvre dalam tulisannya berjudul “La Production de I’espace” (1974) berargumen bahwa ruang bukanlah area kosong melainkan produk sosial, menantang gagasan absolut logika. Ia menambahkan bahwa produksi ruang terjadi dan diperebutkan secara sosial dengan kelompok borjuis. Mereka secara aktif memproduksi ‘ruang abstrak’ untuk mempertahankan dominasi mereka. Ruang abstrak adalah alat dominasi karena menyembunyikan kondisi sejarah dan kontradiksi internal. Ketika sejarah dan kontradiksi di balik ruang abstrak terungkap, muncul “counter space” untuk melawan dominasinya, atau sebaliknya. Ruang abstrak menjadi ruang absolut yang bersifat politis dan religius, sehingga opresif dan dogmatis, demi menjaga dominasinya dalam ruang sosial dari ancaman ritual.
Ruang bukan sekadar lokus pasif bagi relasi sosial dalam hegemoni kapitalis. Ruang memiliki peran aktif serupa dengan pengetahuan dan tindakan dalam cara produksi yang ada. Ia adalah realitas sosial yang dihasilkan komunitas, meliputi pemikiran, perasaan dan pengalaman. Hal ini bersifat relasional dan mendasar, sehingga memerlukan pemahaman dalam konteks tertentu.
Pada kaitannya, ruang sosial-politik dipahami melalui interaksi dialektis tiga dimensi dengan fokus pada penciptaan ruang, makna dan organisasi. Kata dan frasa terwujud dalam kode yang tidak dikenali yang dapat diterjemahkan dan dibaca melalui pemikiran dan refleksi berbasis kata. Artinya, mungkin terdapat ‘kode-kode’ tertentu yang ditetapkan pada periode sejarah tertentu dan dampaknya berbeda-beda. Mereka yang mampu menghasilkan ruang adalah yang mampu mendominasi dan mengapropriasi ruang sehingga menjelma menjadi ruang absolut. Kaum borjuis dianggap selalu berinisiatif dalam memperjuangkan atau memperebutkan ruang karena pengguna ruang bersifat pasif.
Baca Juga : In Memoriam H.M. Achjar: Contoh Pekerja Keras
Reproduksi Masjid Belanda Pada Perang Aceh
Perang Aceh terjadi pada tahun 1873-1942 yang menjadi penanda penting periode di Hindia Belanda. Belanda mengakui peran penting agama dalam perlawanan Aceh dengan berupaya mengubah strategi keagamaan agar sesuai dengan ruang keagamaan. Meski demikian, hal tersebut dapat memberikan gambaran bagaimana perampasan ruang keagamaan dilakukan guna melanggengkan dominasi kolonialisme Belanda di Hindia Timur. Ruang keagamaan bukan satu-satunya faktor yang memperkuat perlawanan anti-Belanda di Aceh, namun hal ini tidak boleh diabaikan begitu saja. Framing perang melawan Belanda sebagai perang suci memiliki dampak besar terhadap radikalisasi perlawanan Aceh karena propagandanya di salurkan melalui ruang keagamaan umat Islam. Jadi, meskipun berupaya menciptakan strategi “counter-framing,” Belanda mengambil alih dan mereproduksi ruang keagamaan umat islam di Aceh. Misalnya, Masjid Agung Kutaraja yang diduduki, dibakar dan direnovasi guna mendukung dominasi kolonial Belanda.
Masjid Agung sebagai ruang representasi diperebutkan oleh Belanda untuk mewakili dominasinya. Namun, patut dicatat bahwa di Aceh mayoritas penduduknya beragama Islam. Penguasaan Belanda atas Masjid Agung adalah sebuah penghinaan, sehingga masyarakat Aceh semakin agresif untuk merebut kembali masjid mereka. Masjid adalah tempat suci umat Islam untuk beribadah kepada Tuhannya. Pada komunitas muslim, ini merupakan praktik sosial yang umum. Jadi, dipilihnya masjid sebagai barak tentara sementara dan simbolis kemenangan sementara Belanda seolah menjadi kesalahan fatal yang membuat umat Islam di Aceh semakin radikal. Akibatnya, ekspedisi pertama Belanda berakhir dengan kekalahan.
Praktik tata ruang Belanda atau anti-Belanda pada Perang Aceh menunjukkan bahwa ruang sosial merupakan produk sosial. Tindakan pembakaran dan pembangunan kembali masjid menjadi praktik tata ruang yang tidak hanya bersifat instrumental, tapi juga operasional secara sosial dan politik dalam meredam perlawanan dominasi kolonial. Praktik tata ruang Belanda tampak realistis, mengaburkan kepentingan struktur dominan kolonialisme Belanda. Jadi, ruang keagamaan dalam perang Aceh tidak hampa, sebaliknya, ada aspek sosial politik yang tersembunyi atau terselubung di balik reproduksinya.
Perampasan Tokoh dan Narasi Islam Moderat oleh Belanda di Era Sarekat Islam
Pada 17 Februari 1926 reproduksi ruang muslim, seperti masjid guna kepentingan hegemoni kolonialisme Belanda mulai terjadi. Salah satu reporter Majalah API memberikan nada ironis mengenai adanya sumbangan pembangunan masjid ke Desa Banglarangan di Pekalongan yang dilakukan pengelola Pabrik Gula Belanda di Comal, bernama Mr. Blank. Ironisnya, pembangunan masjid hanya sekadar senjata merampas sawah warga desa setempat. Akibatnya, mereka punya masjid, namun terpaksa harus maka “trompos” yakni makanan babi.
Sarekat Islam (SI) adalah sebuah organisasi pribumi modern awal yang didirikan pada tahun 1911. Pada awalnya organisasi ini melindungi pedagang Batik Surakarta dari Pesaing Tiongkok. Kemudian seiring berjalannya waktu, organisasi ini berfokus pada pengumpulan umat Islam guna kemajuan di bawah kepemimpinan Tjokroaminoto. Ia mengharuskan anggotanya mempraktikkan syariat Islam. SI mengumpulkan kekuatan umat Islam guna memperjuangkan hak mereka di bawah pemerintah kolonial. Pada 1916, jurnalis Belanda WKS Van Haastert memperingatkan pemerintah kolonial untuk membubarkan SI. Namun, Tjokroaminoto lebih memilih politik etis Belanda dan dianggap sebagai gerakan anti-revoluosioner.
SI di bawah Tjokroaminoto bekerja sama dengan pemerintah kolonial untuk memajukan kesejahteraan bumiputera. Mereka diizinkan melakukan aktivitas tanpa melanggar ketentraman dan ketertiban pemerintahan Hindia-Belanda. Kebijakan etis ini bertujuan memberikan akses yang sebelumnya tidak tersedia, memoderasi perlawanan Hindia-Belanda dan menyalurkan desakan radikal bumiputera dalam ruang organisasi modern. Tjokroaminoto memainkan peran penting dalam SI, sehingga organisasi ini beroperasi dalam batas politik etis Belanda. Guna meyakinkan umat Islam terhadap pilihan moderat tersebut, Tjokroaminoto menegaskan bahwa reproduksi narasi Islam moderat telah menjadi cara nyata untuk melestarikan hegemoni kolonial. Posisi keagamaan moderat jelas mencerminkan dampak hegemoni kolonial dalam ruang sosial. Pengambilalihan pemimpin Islam menjadi stratei dominan untuk melanggengkan hegemoni kolonial Belanda dalam ruang sosial etika. Melalui mereka, narasi moderasi terhadap kolonialisme Belanda direproduksi.
Ruang sosio-religius SI yang dimoderasi semakin meluas dan mengambil alih ruang keagamaan lainnya. Sikap moderat Tjokroaminoto bukan tanpa kritik. Sejumlah aktivis anti-Belanda memberikan tanggapan keras terhadap upaya moderat yang dilakukan Tjokroaminnoto. Misalnya, Semaoen, salah satu anggota Sarekat Islam Semarang yang mengkritik logika Tjokroaminoto yang bersikap moderat terhadap kebijakan etis Belanda. Baginya, bumiputera tidak boleh berhadap untuk bergerak secara damai, karena gerakan itu sendiri berasal dari terganggunya ketertiban akibat struktur kolonialisme yang eksploitatif. Ia menambahkan bahwa pergerakan akan membawa kemajuan bagi bumiputera, sementara ketertiban akan menyebabkan stagnansi.
Kesimpulan
Akar Islam moderat dalam pemerintahan kolonial menunjukkan bahwa Islam memiliki peran penting dalam mempertahankan kekuasaan Belanda. Melalui reproduksi ruang keagamaan, Islam moderat dipolitisasi untuk mengamankan kekuasaan kolonial dengan menempati atau mengambil alih bangunan, tokoh, dan narasi keagamaan. Islam moderat dibenci karena dianggap berkontribusi pada pelestarian sifat eksploitatif kolonialisme. Belanda memainkan peran penting dalam reproduksi ruang keagamaan yang mengarah pada perkembangan Islam moderat. Ruang keagamaan terus menjadi objek kepentingan yang harus didominasi, diambil alih dan direproduksi untuk menyembunyikan kepentingan tersembunyi dari struktur dominan. Reproduksi spasial semacam ini akan terus menyasar bangunan, tokoh dan narasi keagamaan. Ruang keagamaan didominasi, diapropriasi dan direproduksi sedemikian rupa hingga sesuai dengan kepentingan status quo. Islam moderat memiliki hubungan yang erat dengan pemerintah yang berkuasa di mana Islam moderat ditampilkan sebagai alat melayani kepentingan partai yang berkuasa.