(Sumber : Iqra.id)

Tasawuf dan Pertentangan Nilai di Ruang Publik

Riset Agama

Artikel berjudul “Sifism and the Contention of Value in the Public Space” merupakan karya Abdul Kadir Riyadi, Ika Yunia Fauzia, Khoirul Umami dan Andi Suwarko. Tulisan ini terbit di Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam: Teosofi tahun 2022. Penelitian ini membahas masalah perebutan nilai di ruang publik, khususnya dengan memperhatikan bagaimana nilai tasawuf dapat terlibat di dalamnya. Di satu sisi muncul anggapan bahwa ruang publik hanya dapat muncul karena adanya settingan dari Barat dengan nilai rasional dan kritisnya. Di sisi lain, adanya anggapan bahwa ruang publik Islam yang dapat menjadi medan perang di mana nilai agama menjadi korban. Selain itu, penelitian ini didasarkan pada empat premis yakni 1) ruang publik adalah tempat nilai dan bukan sekadar wacana persaiangan satu sama lain; 2) Islam dihadirkan dalam rua cara dalam ruang publik yakni bersifat integrative dan disintegrasi; 3) tasawuf dihadapkan pada dilemma antara menjauhkan diri dari ruang publik untuk mempertahankan ontologisnya, atau terlibat namun beresiko “kalah dalam pertempuran”; 4) tasawuf memiliki pilihan ketiga yakni terlibat secara parsial di ruang publik dengan cara berafiliasi dengan pihak lain seperti pemerintah atau organisasi sosial. Terdapat empat sub bab dalam penelitian ini. Pertama, pendahuluan. Kedua, ruang publik dan pertentangan nilai. Ketiga, dua wajah Islam di ruang publik. Keempat, tasawuf: nilai keheningan di ruang publik. 

  

Pendahuluan

  

Secara terbuka, perselisihan soal nilai telah menjadi ciri masyarakat modern. Fakta bahwa sebagian besar masyarakat modern adalah demokratis, egaliter, dan mendukung media bebas termasuk sosial adalah alasan mengapa masyarakat rentan terhadap pertentangan nilai. Perselisihan sangat umum terjadi di ruang publik karena menjadi titik konvergensi yang nyaman bagi individu. 

  

Ruang publik adalah tempat terjadinya pertikaian nilai dan bukan hanya wacana. Setiap orang bebas mengekspresikan pandangannya, di mana setiap orang memiliki akses informasi yang sama. Terdapat tiga bentuk ruang publik yang mudah diamati yakni budaya, politik dan agama. Agama diasumsikan sebagai komoditas atau bahkan objek perdebatan. Sementara itu, umat beragama adalah subjek yang menggunakan ruang publik baik untuk mengekspresikan religiusitasnya maupun mencela bentuk ekspresi keagamaan lainnya. 

  

Ruang Publik dan Pertentangan Nilai

  

Ruang publik diartikan sebagai ruang kehidupan sosial di mana seseorang bebas bertemu, berinteraksi dan berbagi gagasan bahkkan perasaan dalam proses yang mengarah pada perebutan nulai. Setiap orang memiliki akses yang sama terhadap informasi dan pengetahuan, sebagaimana setiap orang memiliki oroeitas sama untuk mengungkapkan pandangannya. Percakapan bebas adalah salah satu cirinya. Standar moral tidak dapat ditetapkan dengan baik. Satu-satunya “e-tiket” yang dapat ditemukan adalah rasa pengendalian diri. 

  

Islam telah menciptakan bentuk ruang publik yang unik dan menekankan pada nilai sebagai basis interaksi sosial berdasarkan standar dan kualifikasinya sendiri. Islam bukan agama pribadi. Pada ranah politik, Islam menampilkan diri sebagai bentuk pemerintahan alternatif, sedangkan dalam ranah ekonomi membawa standar moral dalam menangani kekayaan, kesejahteraan, bahkan keadilan. 

  

Paula G Pinto dalam tulisannya “The Limits of the Public: Sufism and the Religious Debate in Syria” yang berbicara mengenai “Islam sebagai agama publik” menunjukkan bahwa agama ini tidak bersidat privat dan eksklusif. Kekuatan Islam terletak pada kemampuannya menananmkan rasa identitas tidak hanya secara individu tetapi juga kolektif. Pendapat ini didukung oleh John Esposito dalam karyanya “Introduction: Modernizing Islam and Re-Islamization in Global Perspective” yang menyatakan bahwa Islam memiliki kapasitas membentuk dan mereformasi masyarakat. Ia tertarik pada cara muslim “mengIslamkan masyarakat” melalui media sosial. Artinya, gagasan tentang agama yang dikecewakan tidak selalu benar. Kebenarannya justru sebaliknya, agama tidak hanya mampu tetap utuh dalam modernitas tapi juga dilengkapi dengan baik. Atas dasar itu, kajian akademik agama tidak boleh mempersoalkan apakah masyarakat membutuhkan agama atau tidak, apakah agama dapat bertahan atau tidak. Seharusnya, lebih fokus pada bagaimana agama berfungsi secara sosial.


Baca Juga : Meneliti Moderasi Beragama: Farida Memperoleh Gelar Magister

  

Dua Wajah Islam di Ruang Publik

  

Terdapat dua wajah Islam yang ditampilkan di runang publik. Pertama, perselisihan nilai. Perselisihan dalam berbagai bentuknya dapat terjadi setiap kali ada aksi yang memancing reaksi. Suatu tindakan yang memancing reaksi biasanya kontroversial atau melanggar atura yang menekankan dan menindas orang lain. perselisihan dapat didefinisikan sebagai tindakan bersaing guna memenangkan sesuatu atau mencapai posisi tertentu. terdapat tiga jenis perselisihan yang coba dijelaskan oleh para akademisi. 

  

Pertama, konflik politik. Perselisihan dan ketegangan politik terjadi karena persaingan untuk memenangkan suara rakyat. Hal ini dapat terjadi karena kesalahpahaman mengenai agenda dan ideologi politik tertentu. Nilai-nilai yang berlawanan dalam masyarakat tradisional dan nilai pelengkap otoritarianisme dalam patriarki dapat memicu konflik. Perbedaan nilai modern dan tradisional ini, sebenarnya adalah alasan utama masyarakat Barat dan Islam saling “berbenturan.” Menurut Geliner dalam “Condiitions of Liberty: Civil Society and Its Rival,” masyarakat muslim tidak mengakui kebebasan dan menghargai perbedaan. Ruang publik muslim tidak pernah bebas, rasional dan kritis. Islam menolak konsep dasar masyarakat karena Islam bersifat teokratis yang ajarannya berasal dari Tuhan bukan masyarakat. 

  

Kedua, konflik berbasis media. Ruang publik dipahami berkaitan dengan kemunculan media komunikasi. Media menawarkan sarana komunikasi yang lebih cepat. Nilai agama disebarluaskan dengan cara yang lebih cepat. Individu menjadi agen bebas untuk menciptakan ruang mereka sendiri dan terlibat di dalamnya. 

  

Ketiga, perselisihan yang dapat ditemukan penjelasannya dalam teori filsafat publik. Di dalam teori ini terdapat beberapa premis, di antaranya adalah 1) premis pluralis yang menyiratkan bahwa perbedaan ontologis dalam masyarakat secara alamiah menghasilkan keragaman ruang publik. Keragaman ini mengakibatkan adanya wacara, narasi dan seperangkat sistem nilai yang khas. 2) Kosmopolitanisme budaya yang menyiratkan bahwa tindakan individu dan masyarakat ditentukan oleh norma dan nilai yang berlaku. Setiap masyarakat mengikuti norma dan nilai yang berarti masyarakat bergantung pada keduanya, bukan sebaliknya. 3)  premis normativitas yang menekankan gagasan bahwa norma dan nilai merupakan struktur di ana makna dibangun melalui tindakan manusia.

   

Kedua, sisi lain fungsi agama. Nilai sosial agama tidak selalu konstruktif, sebab jika dipahami secara salah dapat merusak. Di sini dua wajah agama dalam masyarakat terjadi. Nilai agama tidak hanya berkonotasi pada solidaritas, kerukunan, melainkan jika tidak diinterpretasikan secara benar akan menyebabkan disintegrasi, konflik dan perselisihan. Agama itu sendiri tidak ada hubungannya dengan konflik, nemun beberapa faktor menyeretnya seolah menjadi bagian bahkan sumber perselisihan. Misalnya, perselisihan cara memahami pesan agama, fanatisme buta dan penggunaan agama untuk kepentingan politik. 

  

Islam bersifat konfliktual atau dinamis di ruang publik. Meskipun ada nilai universal di dalamnya sepeti nilai Keesaan Tuhan, namun ada nilai komplemenyer yang disepakati atau tidak oleh umat Islam. Setidaknya ada tiga bentuk perselisihan Islam dalam ruang publik yakni 1) perselisihan di antara umat Islam mengenai nilai, misalnya antara muslim sekular dan religius; 2) perselisihan dalam satu kelompok muslim; 3) perselisihan antara muslim dan non-muslim. 

  

Tasawuf: Nilai Keheningan di Ruang Publik

  

Sebagai bagian dari agama, tugas tasawuf adalah memproduksi nilai. Doktrinnya tidak hanya teoretis tapi juga praktis. Misalnya, konsep asketisme/zuhud tidak hanya mengarahkan seseorang untuk memiliki kesadaran spiritual, melainkan juga membimbing seseorang untuk memiliki Pratik ritual keagamaan. Pada studi tasawuf modern, pendekatan semacam ini tidak umum. Sebuah studi oleh Abdul Hamid el-Zein dalam tulisannya berjudul “A Search for the Anthropology of Islam” menggunakan pendekatan antroposentris dan menganggap bahwa Islam, termasuk tasawuf, tidak memiliki nilai pada dirinya sendiri. Nilai dari agama berasal dari luar. Ia menambahkan bahwa nilai agama adalah suatu bentuk artikulasi mengenai hubungan struktural dalam umat beragama dan merupakan produk dari proses relasional dalam masyarakat. Oleh sebab itu, dapat dipahami bahwa nilai tidak melekat dalam agama, melainkan tergantung pada proses sosial yang berlangsung.

  

Nilai selanjutnya dilihat sebagai sesuatu yang saling terkait dan saling bergantung. Tidak ada nilai yang dapat berdiri sendiri tanpa dipengaruhi dan dibentuk oleh nilai yang lain. Secara konkret, pendekatan antroposentris memandang semua nilai adalah sama, terlepas dari sumbernya. Oleh sebab itu, nilai-nilai agama dianggap sama dengan nilai sekular. 

  

Pada konteks modern para sufi mengadopsi strategi yang sama dengan resiko tertentu. Pada konteks perkotaan, mereka berafiliasi dengan organisasi “futuwwa” guna menjangkau para kaum muda. Keterlibatan mereka masih terbatas pada bidang pendidikan dan dakwah. Mereka tidak aktif dalam debat publik mengenai isu yang berkaitan dengan kepentingan publik. Namun, ada juga para sufi yang memutuskan untuk terlibat secara sosial di ruang publik secara langsung dan penuh totalitas. 

  

Terdapat tiga strategi keterlibatan sufi di ruang publik yang dapat dilihat. Pertama, strategi menjauhkan diri dari ruang publik yang mengimplikasikan bahwa para sufi akan mampu mempertahankan perannya dalam menghasilkan nilai, setidaknya untuk afiliasi kelompok mereka. Namun, pilihan ini mengartikan bahwa para sufi “gagal” berinteraksi secara sosial di ruang publik. Kedua, para sufi mampu mempertahankan “keamanan” ontologis internal mereka sampai batas tertentu. hal tersebut menyiratkan bahwa tasawuf mengalami apa yang disebut sebagai “proses pembudayaan” di mana tasawuf berubah dari tarekat menjadi ta’ifa yakni struktur di mana nilai dihasilkan dan menjadi prinsip pedoman bagi anggota dalam kelompok, sedangkan ta’ifa adalah pengelompokan di mana sesorang bertemu dan berkumpul untuk kepentingan duniawi. Ketiga, adanya proses pembudayaan yang lebih dahsyat apabila tasawuf berpartisipasi total dalam ruang publik, terutama di mana sekularisme dan liberalisme mendominasi. 

   

Kesimpulan

  

Perselisihan di era modern terbuka dan mengakibatkan masyarakat terpecah belah. Tasawuf dalam konteks keseluruhan memilih menjauhi ruang publik demi menjaga “keamanan” ontologisnya dan menjaga fungsi spiritualnya sebagai struktur penghasil nilai. Namun, ketika tasawuf memilih untuk terlibat di ruang publik, hal itu akan menyebabkan resiko kehilangan sebagian unsurnya, terutama ketika melawan sekualrisme dan liberalisme. Secara internal, tasawuf dalam banyak hal mampu membangun masyarakat berbasis nilai. Sifat ruang publik yang kompleks telah mengajarkan para sufi bahwa terlibat dalam masyarakat dan ruang publik mensyaratkan prinsip paling dasar tasawuf untuk ditegakkan. Apa yang dapat dilakukan para sufi untuk berkontribusi pada masyarakat bukanlah berpartisipasi dalam perselisihan nilai secara langsung, melainkan konsolidasi internal, menjaga keutuhan tasawuf sebagai kekuatan produksi makna dan wacana yang mampu mempengaruhi pembentukan ruang publik.