(Sumber : www.nursyamcentre.com)

Tata Keagamaan dan Masalah Islam Moderat di Indonesia

Riset Agama

Artikel berjudul “Saints, Scholars, and Diplomats: Religious Statecraft and the Problem of Moderate Islam in Indonesia” merupakan karya James B. Hoesterey. Tulisan ini tertuang di dalam buku berjudul “Religious Pluralisme in Indonesia: Threats and Opportunities for Democracy” tahun 2021. Bab tersebut berusaha mengkaji upaya diplomasi Indonesia yang mengaitkan global positioning di luar negeri dengan tata agama dalam negeri. Selama dua tahun terakhir, presiden, para diplomat, dan para pemimpin agama di Indonesia mencoba memberikan gelar Indonesia sebagai contoh kompatibilitas Islam, demokrasi dan rumah bagi Islam moderat. Hal ini mendapatkan respon yang baik dari para pemimpin negara, seperti Mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Madeline Albright (1997-2001) memuji transisi Indonesia menuju demokrasi dan kerukunan antaragama. Selain itu, Mantan Menteri Luar Negeri AS yang lain, Hillary Clinton (2009-2013) juga menyatakan bahwa jika ingin tahu apakah Islam, demokrasi, modernitas dan hak asasi manusia dapat hidup berdampingan, maka pergilah ke Indonesia. Terdapat lima sub bab dalam resume ini. Pertama, pendahuluan. Kedua, diplomasi, soft power, dan perubahan Islam dalam politik luar negeri Indonesia. Ketiga, KTT Internasional Pemimpin Islam Moderat (International Summit of Moderate Islamic Leaders/ISOMIL). Keempat, Islam Nusantara: solusi global atau masalah teologis? Kelima, Diplomasi Twitter: Kritik Saudi Terhadap NU dan Islam Nusantara. 

  

Pendahuluan

  

Indonesia sedang berada dalam permainan geopolitik di mana para diplomat dan pemimpin agama mempromosikan istilah Islam moderat versi Indonesia. Istilah Islam moderat dianggap selaras dengan ketakutan dan keinginan Barat, meskipun terkadang dianggap bertentangan dengan Islam yang berkembang di Timur Tengah, terutama Arab Saudi. Indonesia telah mengalami apa yang disebut dengan “perubahan Islam/Islamic Turn” dalam agenda kebijakan luar negerinya selama beberapa dekade terakhir. Menurut Mandaville dan Hamid dalam tulisannya berjudul “Islam and Satatecraft: How Governments use Religion in Foreign Policy” menjelaskan bahwa proyeksi transnasional agama negara mayoritas muslim seperti Yordania, Maroko, dan Mesir, jauh mewakili ekspresi kebijakan luar negeri yang monolitik. Begitu pula di Indonesia, Islam “otentik” menjadi landasan kebijakan luar negerinya walaupun bukan tanpa kontestasi dalam negeri. 

  

Diplomasi, Soft Power, dan Perubahan Islam dalam Politik Luar Negeri Indonesia

  

Belakangan ini, Islam moderat dianggap sebagai salah satu aset Indonesia di kancah global. Sebelumnya, ketika Presiden Soekarno menjabat, popularitasnya adalah keangkuhan anti-imperialisnya, tidak setia kepada Islam sebagai ideologi politik, terutama komunitas muslim global sebagai komunitas politik. Selama Orde Baru, Soeharto terkenal mahir mengkooptasi bentuk-bentuk budaya Islam serta mencegah ekspresi Islam politik. Pasca jatuhnya rezim Soeharto, kebijakan luar negeri Indonesia bertujuan untuk memproyeksikan narasi nasional alternatif yang melampaui perhatian Barat dengan kemungkinan “Balkanisasi” Indonesia setelah pemerintahan otoriter. 

  

Hassa Wirajuda, Menteri Luar Negeri Indonesia di bawah pemerintahan Megawati Soekarno Putri dan Susilo Bambang Yudhoyono (2001-2009), membentuk direktorat informasi dan diplomasi publik untuk menyusun dan menerapkan strategi soft power baru yang ia sebut dengan “diplomasi total”. Di dalam negeri, ia mulai menyusun diplomasi agama dengan menjalin hubungan dengan para pemimpin agama terutama dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, aktivis LSM dan para jurnalis. Ia mempromosikan “Soft Islam” sebagai salah satu komponen kunci kebijakan luar negeri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Rezim SBY berusaha menampilkan profil baru Indonesia sebagai negara demokrasi mayoritas muslim melalui inovasi diplomasi, misalnya Bali Democracy Forum (BDF). 

  

Pada masa pemerintahan Joko Widodo, ia dianggap “kurang antusias” ketika BDF diadakan. Ia condong terlihat lebih serius pasca adanya ledakan bom di Jakarta Pusat awal tahun 2016. Tema “Religion, Democracy and Pluralism” ketika BDF berlangsung, menjadi wadah lain untuk menampilkan bentuk Islam moderat di Indonesia. 

  

KTT Internasional Pemimpin Islam Moderat (International Summit of Moderate Islamic Leaders/ISOMIL)


Baca Juga : Menghadapi Tujuh Bulan di Titik Terendah

  

Pada Mei 2016, para pemimpin ormas NU mengadakan pertemuan internasional dengan mengundang cendekiawan muslim yang berasal dari 30 negara guna menunjukkan “Islam Indonesia”. Pada acara tersebut, ketua PBNU KH Said Aqil Siraj menyampaikan beberapa pidato yang berisi lima hal. Pertama, ia menceritakan sejarah penyebaran Islam yang damai di nusantara, sekaligus pengaruh KH Hasyim Asy’ari di dalam prosesnya. Selain itu, kisah hidup dan peran kiai asal Jombang tersebut dalam pendirian NU serta peran pentingnya dalam membangun pemahaman teologis untuk memungkinkan ruang bagi negara di antara sekular dan religius. Kedua, menceritakan akar “perubahan konservatif” di Indonesia yang menurutnya terorisme dan konflik intra-agama dimulai ketika wacana Wahabi “transnasional” memasuki kehidupan keagamaan dan politik Indonesia. Ketiga, ulasan mengenai prinsip Pancasila. Keempat, ia menceritakan tentang pertemuan Abdurrahman Wahid dengan delegasi Saudi yang dipimpin oleh Abdullah bin Abdul Aziz bin Baz. Pada pertemuan tersebut, presiden nomor empat Indonesia tersebut ditanya mengenai Pancasila dan penerimaan umat Islam. Ia menjelaskan bahwa NU dengan senang hati menerima filosofi tersebut, sebab berakar pada pemahaman komprehensif mengenai kemaslahatan. Kelima, Siraj menjelaskan landasan teologis Islam Nusantara yang merujuk pada pengaruh tasawuf di Indonesia. Baginya, tasawuf dianggap sebagai landasan toleransi dan moderasi. 

  

Berdasarkan apa yang terjadi di atas menunjukkan bahwa upaya NU untuk mempromosikan Islam moderat dilakukan sejak awal tahun 2000-an melalui diplomasi. Selama beberapa tahun terakhir, Presiden Joko Widodo telah mengubah kebijakan luar negerinya sebagian dari keberanian nasionalis populis. Hal ini ditandai dengan promosi Indonesia sebagai model Islam moderat, terutama gagasan mengenai eksepsionalisme Indonesia yang muncul seperti dalam konsep Islam Nusantara. 

  

Islam Nusantara: Solusi Global atau Masalah Teologis?

  

Terlepas dari antusiasme pendukung NU, Islam Nusantara tidak sepenuhnya dianut secara universal di kalangan muslim Indonesia. Terutama, setelah menjadi slogan resmi untuk kongres NU tahun 2015. Di media sosial, meme provokatif mulai bermunculan menyebar mencoreng Islam Nusantara yang dibingkai dengan akronim jin dan dimaksudkan untuk memanggil jin, makhluk dan roh dari alam lain. Selain itu, ada pula salah satu pendakwah TV dari Cirebon dengan latar belakang NU justru menggambarkan Islam Nusantara seperti daging babi yang disamarkan sebagai daging kambing. Artinya, apa yang seolah nampak halal sebenarnya adalah haram. 

  

Beberapa ulama konservatif di Jawa Timur kemudian membuat komunitas dan menamai diri mereka dengan NU Garis Lurus yang menentang dasar teologis Islam Nusantara. Sebagai tanggapan, muncul aktivis online yang condong liberal dengan nama NU Garis Lucu yang cenderung membuat meme “pintar” guna merespon suatu isu. Ormas Muhammadiyah juga tidak “manandatangani” konsep Islam Nusantara, melainkan memperjuangkan slogan mereka yang aspiratif dan tidak terlalu kontroversial yakni Islam Berkemajuan/Islam Progresif. Selama ini, Islam Nusantara telah memperoleh modal politik dengan dipromosikan sebagai hadiah Indonesia. 

  

Islam moderat sebagai bagian dari Islam Nusantara selalu dianggap khas karena kelenturan politik dan teologisnya. Pasca wafatnya KH Hasyim Muzadi tahun 2017 selaku Dewan Pertimbangan Presiden, posisi tersebut digantikan oleh Yahya Staquf yakni Sekretaris Jenderal NU yang memiliki peran besar dalam mempromosikan Islam Nusantara di kancah dunia melalui diplomasi atas nama NU. Pada tahun 2017, Yahya Staquf memunculkan konsep baru bernama “Islam Kemanusiaan/ al-Islam li al-Insaniyah”. Konsep ini diharapkan dapat menerima dan mengikuti, terutama tokoh reformis Muhammadiyah. 

  

Diplomasi Twitter: Kritik Saudi Terhadap NU dan Islam Nusantara

  

Selama beberapa dekade terakhir, pemerintah Arab Saudi menawarkan beasiswa bagi pelajar Indonesia. Selain itu, diplomat Arab Saudi mencoba memanfaatkan budaya popular di Indonesia, termasuk haji gratis. Meskipun Arab Saudi mengkritik tasawuf dan pemahaman tradisionalis praktik Islam di Indonesia, pemerintahnya masih berusaha mempertahankan hubungan baik dengan NU. Terbukti pada tahun 2017, Raja Salman berkunjung ke Indonesia sebagai upaya membantu memperkuat Islam Moderat. Meskipun, gagasan moderasi Arab Saudi kemungkinan besar tidak sesuai dengan gagasan NU, namun diplomasi berjalan lancar. 

  

Pada akhir 2018, Ansor membakar bendara yang diyakini milik Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang saat ini dilarang. Duta Besar Arab Saudi untuk Indonesia, Alshuaibi dengan cepat mengkritik karena anggapan pembakaran bendera tauhid. Awalnya, Alshuaibi menuliskan di Twitter bahwa ia menyayangkan tindakan tersebut yang dilakukan oleh “organisasi sesat”. Meskipun setelah itu cuitan tersebut di revisi, namun tulisan aslinya sudah viral di kalangan NU. Alhasil, muncul banyak tuntutan Duta Besar Arab Saudi untuk di deportasi bahkan dipulangkan. PBNU kemudian merespon dengan konferensi pers bahwa hubungan baik Indonesia dengan Arab Saudi telah ternoda dengan pernyataan Alshuaibi yang menyebarkan berita palsu mengenai kelompok menyimpang. Sebagai isyarat perdamaian, Alshuaibi sudah menelepon Yeni Wahid untuk mengungkapkan penyesalan dan rasa hormatnya terhadap NU. 

  

Kesimpulan

  

Pada akhirnya, tugas terpenting Indonesia harus memastikan Islam yang penuh kasih dan welas asih dalam negeri, bukan hanya Islam moderat di luar negeri.  Citra Indonesia yang telah diubah menjadi Islam moderat terlihat jauh lebih baik dengan pemerintah negara Barat, ketimbang negara Timur Tengah. Terlepas tawaran dari Arab Saudi untuk membantu menyebarkan Islam Moderat di seluruh nusantara, sebenarnya pemerintah dan para ulama sudah bergerak maju dengan program sosialisasi dan deradikalisasi mereka sendiri. Dunia Arab seolah menunjukkan kurang berminat terhadap sosial-budaya Islam di Asia Tenggara. Bahkan, seakan belum jelas seberapa menarik Islam Indonesia bagi mitra seagamanya di dunia Arab. Kemampuan Indonesia untuk mempromosikan dirinya sebagai rumah bagi Islam moderat lebih bergantung pada “rekornya” sendiri dibandingkan aksi diplomatik. Hal yang perlu digarisbawahi adalah keberhasilan strategi soft power Indonesia di masa depan akan bertumpu pada kebernaran klaim bahwa Indonesia memang rumah bagi “Islam Moderat”.