(Sumber : Nalar Politik)

Transformasi Gerakan Salafi di Indonesia

Riset Agama

Artikel berjudul “From Radical Labels to Moderate Islam: The Transformation of the Salafism Movement in Indonesia\" merupakan karya Roni Tabroni dan Idham. Tulisan ini terbit di Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies tahun 2023. Penelitian ini mencoba menjelaskan peran Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) dan Lembaga Pengkajian Islam dan Bahasa Arab (LIPIA) dalam dinamika gerakan Salafi serta menelusuri dan mendeskripsikan dinamika gerakan moderasi beragama di negara-negara dengan penduduk mayoritas Islam, khususnya di Jakarta, Indonesia. Motode penelitian yang digunakan adalah kajian historis dengan pendekatan studi kasus. Terdapat tiga sub bab dalam resume ini. Pertama, pendahuluan. Kedua, peran DDII dan LIPIA. Ketiga, dinamika dan gerakan moderasi beragama kelompok Salafi di Jakarta. 

  

Pendahuluan

  

 Salah satu faktor yang mempengaruhi dinamika gerakan Islam di Indonesia menjadi tempat masuknya berbagai gerakan dari Timur Tengah. Gerakan tersebut didominasi mereka yang mengusung kebangkitan Islam yang kemudian sering disebut gerakan Islam Puritan. Artinya, gerakan yang memiliki keyakinan tanpa kompromi terhadap absolutisme. Pada kaitannya dengan beberapa hal, otoritasnya condong murni dan tidak toleran dalam bersaing memperebutkan sudut pandang yang berbeda ketika memandang realitas plural sebagai bentuk “kontaminasi” terhadap kebenaran. Cikal bakal gerakan ini mengacu pada revivalisme pra-modernis yang diwakili oleh gerakan Wahabi dan neo-revivalisme yang terkait dengan komunitas Salafi. Dua gerakan tersebut kemudian dianggap membentuk teologi Islam Puritan saat ini.

  

Istilah Salafi pertama kali digunakan oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho ketika hendak membangun gerakan pembaharuan di Mesir. Istilah ini kemudian disebut sebagai model pemahaman penganut Islam paling awal, yakni nabi dan para sahabat. Pada tahun 1980-an, istilah Salafi kembali dipopulerkan oleh Nashirudin Albani di Madinah. Komunitas Salafi sendiri dikenal dengan al-Jama’ah al-Salafiyya al-Muhtasib. 

  

Gerakan Salafi kontemporer di Indonesia bermula dari keinginan M. ‘Abd Al-‘Aziz Ibnu Baz yakni seorang murid Muhammad bin Ibrahim, seorang ulama terkemuka di Saudi. Kepada para muridnya di komunitas al-Jama’ah al-Salafiyyah al-Muhtasib untuk memperluas pengaruhnya keluar Arab Saudi, salah satunya Indonesia. Keinginan tersebut kemudian diwujudkan melalui kerja sama dengan Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) melalui “Rabithah ‘Alam Islami” dan pembangunan Lembaga Pengajaran Bahasa Arab (LPBA) di Jakarta. LPBA merupakan lembaga yang menjadi cikal bakal Lembaga Pengkajian Islam dan Bahasa Arab (LIPIA). Gerakan ini mencapai puncaknya pada masa reformasi. Pada perkembangannya, gerakan ini identik dengan permasalahan radikalisme, ekstremisme dan terorisme. 

  

Peran DDII dan LIPIA

  

Jika membahas mengenai perkembangan gerakan Salafi kontemporer di Indonesia, ada dua organisasi yang berperan penting di dalamnya yakni Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) dan Lembaga Pengkajian Islam dan Arab (LIPIA). DDII didirikan oleh Muhammad Natsir pada tahun 1967 dengan tujuan mengorganisir dakwah Islam sebagai lawan Kristenisasi dan sekularisasi. Natsir dikenal sebagai salah satu tokoh penggerak kemerdekaan Indonesia, mantan perdana menteri dan mantan pimpinan Partai Masyumi. Selain itu, ia juga dikenal sebagai wakil presiden Kongres Muslim Dunia yang berbasis di Karachi pada tahun 1967 dan anggota Liga Muslim Dunia (Rabhithah al-Alam al-Islami) yang berbasis di Jeddah pada 167 dan 1969. Melalui Natsir DDII kemudian menjalin kerja sama dengan Rabhithah al-Alam al-Islami, sebuah organisasi yang menerima dana dari pemerintah Arab Saudi. 

  

Peran penting DDII dalam pengembangan Salafi terlihat pada gerakan penerjemahan dan pendistribusian karya-karya pemikir Salafi, serta kegiatan dakwahnya. Sasaran dakwah Natsir dan DII adalah pesantren, masjid, dan universitas. DDII memulai kegiatan dakwah berbasis kampus pada tahun 1974 dengan nama “Bina Masjid Kampus.” Produk penting kegiatan ini adalah Pelatihan Pejuang Dakwah Islam yang dipusatkan di Masjid Salman, Institut Teknologi Bandung (ITB).


Baca Juga : Salafisme Perdesaan: Perjuangan Islam Indonesia Pasca Orde Baru

  

Selain DDII, LIPIA juga memiliki peran penting dalam perkembangan dakwah Salafi. LIPIA merupakan lembaga pendidikan di Indonesia yang disponsori langsung oleh Arab Saudi. Selain itu, LIPIA adalah cabang dari Universitas Al-Imam Muhammad bin Saud di Riyadh. Lembaga ini didirikan pada tahun 1980 di Jakarta dengan nama Lembaga Pengajaran Bahasa Arab (LPBA) dengan pengajar utamanya adalah Syaikh Abdul Aziz Abdullah Al- Ammar, yakni murid ulama Salafi terkenal Syaikh Abdulah bin Baz. Lembaga ini memiliki dua program utaa yakni penyiapan Bahasa Arab dan pendidikan tinggi. Seluruh perkuliahan dilaksanakan dalam Bahasa Arab dengan mayoritas pengajar berasal dari Timur Tengah. 

  

Relasi LIPIA dengan Salafi kontemporer di Indonesia terlihat dari kurikulum yang digunakan, yakni standar Saudi. Tepatnya gabungan antara kurikulum Salafi dan orientasi khusus staf pengajarnya, sebab banyak dari mereka di datangkan dari Arab Saudi. Peran LIPIA dalam menyemaikan gerakan Salafi di Indonesia terlihat dari para alumninya yang menjadi tokoh penting dan berpengaruh. Berawal dari Ja’far Umar Thalib, pendiri Ahlusunnah Wal Jama’ah Forum dan Laskar Jihad; Abdul Hakim Abdat seorang ulama hadis dari Jakarta; Abdul Qadir Jawwaz, pendiri Minhaj as-Sunnah; Farid Okbah al-Irsyad, Ainur Harits, Nida’ul Islam Surabaya; Abubakar M. Altway, Yayasan As-Sofwan Jakarta; Yusuf Utsman Baisa, pemimpin Al-Irshad Tengaran. Mereka mendakwahkan ideologi Salafi melalui berbagai cara baik konvensional maupun tren teknologi informasi. Mereka juga memilih profesi yang beragam mulai dari pendakah, guru, politisi, pendiri penerbit buku, penerjemah dan pengasuh pesantren. 

  

Dinamika dan Gerakan Moderasi Beragama Kelompok Salafi di Jakarta

  

Peran DDII dan LIPIA khususnya di Jakarta menyebabkan munculnya organisasi atau yayasan berwawasan Salafi yang menjadi muara aliran dana bantuan. Hibah tersebut berasal dari Rabitah al-Alam al-Islami (Liga Muslim Dunia) dan saudara organisasinya, Haitaul Ighatsah (Organisasi Bantuan Islam Internasional (IIRO), yang berbasis di Jeddah. Di antara organisasi dan yayasan yang menerima bantuan keuangan adalah Yayasan al-Sofwah. 

  

Yayasan al-Sofwah didikan oleh beberapa orang Indonesia, salah satunya adalah Muhammad Yusuf Harun pada 25 November 1992. Yayasan ini didukung oleh orang Saudi bernama Muhammad Khalaf dari Unaizah, Al-Qasim. Ia adalah teman dekat salah satu guru Salafi tersohor di Arab Saudi, Syaikh Utsaimin. Keberadaan Khalaf di Indonesia juga tidak luput dari peran DDII. Yayasan ini berkomitmen pada ilmu pengetahuan serta dakwah berdasarkan akidah Ahlu Sunnah Wal Jamaa’ah dan manhaj As-Salaf As-Salih. Tujuannya adalah mewujudkan Pembangunan dan pertolongan dalam keutamaan dan ketakwaan demi tercapainya kehidupan lahir batin yang layak, khususnya dalam masyarakat Islam guna mencapai keberkahan Allah SWT. Implementasinya adalah sikap benci terhadap fanatisme yang menganiaya As-Salaf As-Salih, sehingga umat Islam terpecah menjadi beberapa kelompok. 

  

Terdapat tiga program utama Yayasan Al-Sofwah pada awal berdirinya yakni dakwah, pendidikan dan penyelesaian masalah sosial. Aktivitas yayasan ini dapat dikategorikan sebagai gerakan Salafi murni. Misalnya, kegiatan dakwah yang mereka lakukan. Ideologi Salafisme ini kemudian mengalami transformasi. Relasi dan kerja sama dengan yayasan Islam mulai terjalin, terutama yayasan yang berdiri di atas akidah Salafatul Ummah Ahlusunnah Wal Jama’ah. 

  

Selain itu, yayasan juga memilih fokus pada kegiatan sosial kemasyarakatan seperti tanggap bencana, pelayanan ambulans, penyedia air bersih serta fasilitas umum. Sikap ini menunjukkan adanya perubahan dan transformasi ideologi dan gerakan. Salafisme tidak hanya menjadi satu azas saja, melainkan diiringi dengan sikap akomodatif terhadap yayasan Islam lain, bahkan terhadap pemerintah, seperti yang terjadi pada NU dan Muhammadiyah. 

  


Baca Juga : Masalah Perhajian di Indonesia

Sikap akomodatif tersebut dibarengi dengan munculnya sikap moderat yang diusung oleh yayasan Al-Sofwah. Munculnya sikap moderat sebenarnya bukan hal baru bagi mereka. Sikap ini muncul dari pemahaman terhadap perbedaan dan keberagaman. Sikap moderat ini kemudian memunculkan gerakan moderasi beragama. salah satunya terlihat dari respons mereka terhadap radikalisme dan ekstremisme. Meski kerap bersinggungan dengan tokoh jihad Salafi, namun tidak menjadikan landasan tersebut sebagai kegiatan Jihad Salafi. Hal ini terlihat dari respon Al-Sofwah terhadap peristiwa ekstremis di Jakarta, salah satunya Bom Cimanggis pada bulan Maret 2004. Rumah tersebut digunakan sebagai tempat belajar oleh Aman Abdurrahman. 

  

Kaitannya Aman Abdurrahman dengan yayasan Al-Sofwah terlihat ketika ia menjadi Imam pendirian masjid di yayasan pada bulan Juni tahun 2000. Eksistensinya yang berhaluan radikal, membuat yayasan Al-Sofwah memintanya mengundurkan diri pada tahun 2003. Hal ini menyebabkan puluhan mahasiswa yayasan mengikuti jejak Aman. Penolakan yayasan terhadap ide kekerasan yang dibawa Aman dikuatkan oleh Abu Bakr Muhammad Al-Altwy. 

  

Selain penolakan terhadap paham radikal dan kekerasan, yayasan Al-Sofwah juga menyebarkan gagasan moderasi melalui penerbitan buku. Ada dua buku terbitan yayasan ini mengenai moderasi, yakni Islam Bukan Agama Kekerasan: Menolak Tuduhan Terorisme Terhadap Islam yang terbit tahun 2011, serta buku berjudul Terorisme dalam Perspektif Islam yang terbit di tahun 2011 pula. Isinya menguat fatwa-fatwa ulama di antaranya Abdul Aziz bin Baz dan Muhammad Utsamain, dua tokoh Salafi. Di dalamnya ada pula contoh toleransi yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabat. Selain itu, dijelaskan pula bahwa jihad yang paling besar adalah jihad terhadap diri sendiri. 

  

Keterkaitan DDII dengan organisasi Salafi juga terlihat dari kedekatannya dengan Wahdah Islamiyah. Wahdah Islamiyah merupakan gerakan Islam yang diprakarsai oelah ulama Muhammadiyah Sulawesi Selatan, Fathul Muin Daeng Magading (Muin). Ia dikenal sebagai pengkritik kebijakan otoritarianisme Pemerintahan Soeharto terhadap umat Islam. Ia juga diketahui menolak keputusan Muhammadiyah yang menerima Pancasila sebagai dasar negara. Bahkan, ia mengancam akan meninggalkan Indonesia jika Muhammadiyah menerima Pancasila sebagai dasar negara. puritanisme dan pemahaman Islamnya muncul dari relasinya dengan Kahar Muzakar, seorang ketua DI/TII di Sulawesi Selatan yang membawanya pada prinsip bahwa umat Islam akan dijadikan instrumen kekuasaan elit jika tidak menjalankan keyakinan Islam. Prinsip ini kemudian berkembang menjadi visi mengintegrasikan Islam ke seluruh aspek kehidupan.

   

Integrasi Islam oleh Wahdah Islamiyah ini diidentifikasi sebagai gerakan yang mengadopsi gerakan transnasional seperti Ikhwanul Muslimin dan Salafisme dalam metode strategi dakwah dan pendidikannya. Ketika Mohammad Zaitun Rasmin menjadi pemimpin, ideologi ini kemudian berkembang tidak hanya berorientasi pada Salafi namun berpadu secara eklektik dengan aktivisme sosial, kemanusiaan dan pendidikan yang terinspirasi oleh Muhammadiyah dan NU. Perubahan ini secara garis besar tidak mengubah tujuan awal mereka untuk mengintegrasikan Islam dalam seluruh tatanan aspek kehidupan melalui tegaknya tauhid, hidup sesuai sunnah, dan membangun solidaritas Islam guna mencapai masyarakat yang baik. Hal ini terlihat dari sikap Wahdah Islamiyah pimpinan Zaitun Rasmin yang menerima Pancasila dan demokrasi, namun dalam kerangka syariat Islam. 

  

Program Wahdah Islamiyah yang mencerminkan moderasi beragama terlihat dari keterlibatannya dalam mengusung konsep Islam Wasathiyah, sebuah terminologi moderasi Islam yang digunakan oleh MUI, Muhammadiyah dan NU. Hal ini terlihat dari tema Kongres Wahdah Islamiyah ketiga tahun 2016 yakni Mewujudkan Indonesia Damai dan Beradab dengan Islam Wasathiyah. Tema Islam Wasathiyah juga masih digunakan pada kongres ke empat tahun 2021 yakni Mewujudkan Indonesia Jaya dengan Pendidikan Paripurna Islam Wasathiyah. 

  

Kesimpulan

  

Secara garis besar penelitian ini menghasilkan bahwa transformasi ideologi dan gerakan Yayasan Al-Sofwah dan Wadah Islamiyah menunjukkan bahwa manhaj Salafi, baik dalam pandangan keagamaan maupun praktik sehari-hari tidak akan selalu monolitik. Selain menunjukkan perkembangan suatu gerakan, juga mencerminkan adaptasi berbagai gerakan atau kelompok yang diidentikkan dengan Salafi. Adaptasi diperlukan dalam kaitannya dengan keberlangsungan organisasi atau gerakan. Meskipun gagasan-gagasan Salafi telah berkembang dan bercampur dengan ideologi-ideologi lain, namun gagasan-gagasan pokoknya tidak serta merta ditinggalkan.