(Sumber : NU Online)

Wawasan Kebangsaan dan Fatwa Media Sosial Kelompok Salafi

Riset Agama

Artikel berjudul “Mapping the National Insight of the Salafi Group in Indonesia Based on their Fatwa on Social Media” merupakan karya Muhammad Ridha DS, Afridawati, Nuzul Iskandar, dan Mursal. Tulisan ini terbit di Al-‘Adalah tahun 2024. Penelitian tersebut memberikan gambaran tentang wawasan kebangsaan kelompok Salafi yang terefleksikan dari ceramah-ceramah para tokoh mereka di platform Youtube tentang hormat bendera. Tujuannya adalah unuk memperkaya wawasan terhadap kelompok Salafi di Indonesia yang seringkali dilihat hanya dari satu sudut pandang. Penelitian ini menggunakan data kualitatif dengan pendekatan analisis wacana dalam kerangka kajian ushûl fiqh. Analisis wacana digunakan untuk menelaah pernyataan-pernyataan penceramah secara semantik, kognisi sosial, dan konteks sosial, sedangkan analisis ushûl fiqh untuk melihat penalaran hukumnya. Data dikumpulkan dengan teknik dokumentasi dari video ceramah para penceramah Salafi di platform digital yang dapat dimanfaatkan sebagai ruang penting untuk memahami wawasan kebangsaan mereka. Terdapat tiga sub bab dalam resume ini. Pertama, pendahuluan. Kedua, dinamika hukum hormat bendera di YouTube. Ketiga, analisis wawasan nasional kelompok Salafi. 

  

Pendahuluan 

  

Media digital telah menjadi ruang penting bagi transformasi wacana dan gerakan keagamaan, salah satunya melalui kliktivisme Islam.  Kelompok Salafi yang awalnya apolitis3 saat pertama kali masuk ke Indonesia, seiring berjalannya waktu mulai menyusup ke ruang politik melalui ceramah-ceramah di platform media sosial, salah satunya YouTube. Ceramah-ceramah tersebut secara tidak langsung mencerminkan wawasan kebangsaan kelompok Salafi, yang dapat dijadikan pintu masuk untuk memahami hubungan ideologi mereka dengan nilai-nilai nasionalisme dan Islam di Indonesia.

  

Sejak kemunculannya pada tahun 1980-an, Salafi di Indonesia memang terus berkembang dan terbagi menjadi tiga varian, yaitu: Salafi Puris, Salafi Harass, dan Salafi Jihadis. Sebagian besar Salafi di Indonesia merupakan kelompok purist yang cenderung menerima Pancasila dan konstitusi. Akan tetapi, citra anti-Pancasila tetap melekat akibat aktivitas segelintir kelompok seperti Laskar Jihad. Sebagian kelompok Salafi mendukung paham nasionalisme namun dengan penafsiran yang masih mengedepankan syariat Islam sebagai unsur utamanya, seperti usulan mereka untuk kembali menggunakan teks Pancasila sebagaimana yang tertuang dalam Piagam Jakarta. 

  

Dinamika Hukum Hormat Bendera di YouTube 

   

Dinamika hormat bendera berkisar pada putusan hukum, siapa yang menyampaikan, dan bagaimana tanggapan masyarakat terhadap hal tersebut. Video pertama yang membahas tentang hukum hormat bendera di media sosial YouTube adalah ceramah Khalid Basalamah yang ditayangkan pada tanggal 1 Agustus 2016. Setelah itu, video-video lain dengan tema serupa terus bermunculan, baik yang berdurasi pendek maupun panjang. Menanggapi isi ceramah dan video tentang hukum hormat bendera tersebut, netizen menunjukkan sikapnya dengan memilih like dan dislike, serta komentarnya ada yang positif dan ada pula yang negatif.

  

Berdasarkan dua puluh penceramah Salafi, hanya dua orang yang menyatakan haram, selebihnya membolehkannya, meskipun dengan batasan tertentu. Berdasarkan jumlah penonton, ceramah yang menyatakan haramnya salam bendera mendapat rating rendah karena hanya ditonton kurang dari 1.000 kali, sedangkan video yang menyatakan bolehnya memberi hormat bendera ditonton banyak orang, ada yang mencapai ribuan, ada yang mencapai puluhan ribu, bahkan ada yang mencapai puluhan ribu.

  

Jumlah penceramah yang memperbolehkan penghormatan bendera jauh lebih banyak daripada yang melarangnya. Begitu pula dengan respons masyarakat yang ditunjukkan dengan mengklik tombol like dan komentar positif terhadap ceramah yang memperbolehkan penghormatan bendera jauh lebih banyak daripada dislike dan komentar negatif. Terlebih lagi, kedua penceramah yang melarangnya bukanlah orang Indonesia, melainkan hanya sekadar diunggah, diberi judul, dan dikomentari oleh orang Indonesia.


Baca Juga : Mencari Nilai Moral dan Etika dalam Genosida Israel di Palestina

  

Analisis Wawasan Nasional Kelompok Salafi

  

Secara leksikal, para pendakwah dari golongan Salafi, termasuk para pendakwah populer lainnya, memperbolehkan penghormatan bendera. Kebolehan ini disampaikan bukan hanya dengan struktur nalar hukum yang mengacu pada fikih, tetapi juga berdasarkan wawasan sejarah bangsa yang dimiliki oleh masing-masing pendakwah. Akan tetapi, karena artikel ini hanya berfokus pada pendakwah dari golongan Salafi, maka uraian berikut ini hanya ditujukan kepada para pendakwah Salafi. Terdapat lima pendakwah Salafi kondang yang videonya tersebar luas di berbagai platform media sosial, yakni Khalid Basalamah, Firanda Andirja, Dzulqarnaini Muhammad Sanusi, Muflih Safitra, dan Maududi Abdullah. Terdapat beberapa dimensi yang dikembangkan oleh Van Dijk untuk menganalisis wacana. 

  

Pertama, struktur teks. Berdasarkan segi diksi, terlihat bahwa masing-masing penutur menggunakan pilihan kata yang menekankan sikap moderat dan menjaga keseimbangan antara ajaran agama dan praktik sosial. Khalid Basalamah menggunakan frasa \"tidak apa-apa dan \"bendera itu hanya simbol \" untuk menegaskan bahwa menghormati bendera bukanlah sesuatu yang sakral. Firanda Andirja menekankan frasa \"bukan kesyirikan \"yang mengindikasikan bahwa ia ingin membantah pendapat bahwa menghormati bendera adalah kesyirikan. Dzulqarnaini Muhammad Sanusi menggunakan diksi \"itu hanya kebiasaan \" untuk mengontekstualisasikan menghormati bendera sebagai praktik sosial yang lumrah. Muflih Safitra menekankan kata \"boleh \" dan menegaskan bahwa memberi hormat kepada bendera bukanlah tindakan terlarang. Sementara itu, Maududi Abdullah juga memperbolehkannya dengan menambahkan \"hati-hati, jangan berlebihan \" sebagai peringatan agar penghormatan kepada bendera tidak disucikan seperti ibadah.

  

Kedua, kognisi sosial. Terkait pola argumen, kelima pembicara menunjukkan pendekatan yang menyeimbangkan hukum Islam dengan konteks sosial. Khalid Basalamah menggunakan retorika komparatif, seperti \"coba kalau salat, azan, ditahan gak mobil?\" untuk mengkritik sikap yang berlebihan. Firanda Andirja menekankan deduksi logis dan analogi, seperti membandingkan penghormatan bendera dengan penghinaan melalui kartu identitas. Dzulqarnaini Muhammad Sanusi memanfaatkan legitimasi fatwa ulama, di mana fatwa dapat digunakan secara praktis, seperti “kalau antum di sebuah lembaga, tidak apa-apa” untuk memberikan solusi praktis. Muflih Safitra cenderung lebih praktis, menekankan argumen berdasarkan realitas sosial, seperti “contoh sekolah yang hampir ditutup karena menolak hormat bendera.”

  

Berdasarkan kognisi sosial, fokusnya adalah pada bagaimana para pendakwah memahami, mengolah, dan menyampaikan pandangan mereka tentang masalah penghormatan bendera berdasarkan pemahaman mereka tentang hukum Islam. Analisis ini mencakup model mental, skema kognitif, ideologi yang membentuk pandangan mereka, dan bagaimana mereka mengadaptasi pesan tersebut ke audiens dan konteks sosial tertentu. Aspek-aspek tersebut penting untuk diungkap guna melihat keterkaitan antara pemikiran individu para pendakwah dengan struktur sosial yang mempengaruhi substansi atau isi ceramah yang disampaikannya. 

  

Strategi penyampaian yang digunakan oleh para penceramah menunjukkan perpaduan antara pendekatan moderat, logis, dan interaktif. Mereka menunjukkan sikap moderat dengan menekankan bahwa memberi hormat kepada bendera tidak melanggar syariat, seperti menolak tuduhan kemusyrikan. Persuasi logis digunakan melalui penjelasan-penjelasan yang berdasarkan dalil, seperti hadis Nabi tentang pembawa bendera dalam Perang Mu\'tah atau pendapat para ulama tentang hukum adat. Retorika juga penting, misalnya melalui pertanyaan-pertanyaan retoris atau perbandingan-perbandingan yang relevan dengan khalayak. Selain itu, upaya berinteraksi dilakukan dengan menggunakan analogi-analogi praktis untuk menjelaskan hukum dengan cara yang mudah dipahami oleh khalayak. Strategi ini mencerminkan upaya mereka untuk menyampaikan pesan-pesan yang berdasarkan pada asas-asas agama tetapi relevan dengan konteks sosial.

  

Ketiga, konteks sosial. Bendera di Indonesia tidak hanya menjadi lambang negara, tetapi juga melambangkan sejarah perjuangan bangsa. Oleh karena itu, penghormatan terhadap bendera sering dikaitkan dengan penghormatan terhadap para pahlawan kemerdekaan yang sebagian besar beragama Islam. Selain itu, lambang bendera juga erat kaitannya dengan jati diri bangsa. Hal tersebut merupakan bagian dari kewajiban hukum, sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Pada konteks sosial politik Indonesia, penghormatan kepada bendera sering dipahami sebagai bentuk penguatan persatuan dan ungkapan nasionalisme.

  

Berdasarkan konteks hukum, penghormatan kepada bendera diatur sebagai kewajiban hukum dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Kecenderungan ini menimbulkan tekanan sosial politik bagi kelompok Salafi yang secara ideologis tidak mendukung konsep negara-bangsa atau pengakuan terhadap simbol-simbol negara. Namun, untuk menjaga stabilitas dan menghindari stigma sebagai kelompok subversif, para penceramah Salafi bersikap fleksibel, yang dalam ushûl fiqh. Istilah ini disebut sadd al-dzarî’a, yaitu mengambil sikap antisipatif agar tidak dihadapkan pada masalah yang lebih besar. Mereka mengemukakan pendapat yang memperbolehkan penghormatan bendera, berbeda dengan pandangan fatwa-fatwa Salafi global yang lebih rigid, seperti fatwa Lajnah al-Da’imah di Saudi Arabia atau fatwa-fatwa tokoh Salafi terkemuka seperti Syekh Muqbil bin Hady al-Wadi’iy dan Syekh Nashiruddin al-Albani yang dikenal relatif rigid, tekstualis, dan selalu menyampaikan pendapat yang seragam.

  

Melalui kombinasi pendekatan hukum, sosial, dan historis, para penceramah Salafi tidak hanya membingkai penghormatan bendera sebagai praktik yang dapat diterima dalam batasan-batasan syariat, tetapi juga berhasil mempertahankan eksistensi mereka di Indonesia. Retorika mereka seringkali tegas dalam menentukan hukum syariat, tetapi cenderung hati-hati dan tidak eksplisit ketika menyentuh isu-isu tentang negara. Berdasarkan khazanah fikih, beberapa aturan memungkinkan mereka untuk membangun citra moderat seperti ini tanpa mengorbankan prinsip-prinsip ideologis, di mana suatu hukum dapat berubah karena perubahan situasi dan kondisi. Melalui izin praktik-praktik sensitif seperti penghormatan bendera sampai batas tertentu, mereka mencoba menghindari kecurigaan negara terhadap pandangan anti-nasionalis yang sering dikaitkan dengan kelompok Salafi global sementara pada saat yang sama menunjukkan bahwa pandangan tersebut tidak bermasalah secara hukum.

  

Strategi ini secara efektif menjaga hubungan dengan masyarakat Indonesia, yang sebagian besar mendukung simbol-simbol nasional. Sikap ini mencerminkan fleksibilitas taktis mereka dalam konteks sosial-politik yang kompleks di mana mempertahankan relevansi sambil mematuhi prinsip-prinsip agama merupakan tantangan. Kelompok Salafi menunjukkan bahwa dengan menavigasi isu-isu sensitif secara hati-hati, mereka dapat terus diterima oleh masyarakat sambil menghindari tekanan atau pengawasan yang lebih signifikan dari penegak hukum. Strategi ini merupakan bentuk adaptasi yang memastikan keberlanjutan dalam lingkungan yang penuh dinamika dan potensi konflik ideologis.

  

Kesimpulan

  

Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa para penceramah Salafi di Indonesia pada umumnya memperbolehkan penghormatan bendera karena tindakan tersebut berada di luar ranah keimanan dan lebih merupakan adat istiadat sosial. Argumen mereka dibangun dengan pendekatan moderat, argumen hukum Islam, dan wawasan kebangsaan tetapi tetap dibingkai dengan kehati-hatian agar tidak bertentangan dengan prinsip yang mereka pegang. Respons masyarakat terhadap ceramah-ceramah ini sebagian besar positif, mencerminkan apresiasi terhadap perspektif moderat yang menyeimbangkan hukum Islam dengan realitas sosial-politik. Terkait nalar hukum fikih, mereka memanfaatkan ruang khilâfiyah (masalah perbedaan pendapat) untuk memilih pandangan yang memperbolehkan penghormatan bendera tanpa secara eksplisit menganjurkannya. Pendekatan ini tidak hanya mencerminkan adaptasi kelompok Salafi terhadap konteks Indonesia tetapi juga menunjukkan strategi retorika untuk menghindari stigma anti-nasionalisme dan memastikan penerimaan mereka dalam masyarakat multikultural. Kajian tersebut  menegaskan bahwa ceramah agama di ruang digital merupakan arena penting untuk memahami wawasan kebangsaan kelompok agama.