Nilai Universal untuk Keserasian Sosial dan Kelestarian Lingkungan
Riset BudayaArtikel berjudul “Tri Hita Kirana and Islamic Ethics: Bridging Universal Values for Social Harmony and Environmental Sustainability” merupakan karya Mohamad Ali Hisyam, Akhmad Rofii Damyati, Khadijah Binti Mohd Khambali Hambali, dan Hatice Toksoz. Tulisan ini terbit di Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam tahun 2024. Tri Hita Karana (THK) adalah prinsip dasar filsafat Hindu, khususnya yang berpengaruh di Bali yang menekankan keharmonisan dalam tiga ranah yang saling terkait: dengan Tuhan (Parahyangan), dengan sesama manusia (Pawongan), dan dengan alam (Palemaha). Keseimbangan ini telah mendorong kohesi sosial dalam komunitas Hindu, mendorong pengelolaan lingkungan, dan menjadi model yang lebih luas untuk keharmonisan dan keberlanjutan masyarakat. Meskipun berakar pada agama Hindu, THK beresonansi dengan nilai-nilai universal yang melampaui batas-batas agama. Namun, ketika umat Islam berusaha mengadopsi praktik-praktik yang terinspirasi oleh THK, perbedaan teologis mungkin muncul, khususnya mengenai tindakan ibadah. Studi tersebut mengeksplorasi kompatibilitas THK dengan ajaran-ajaran Islam, khususnya di bidang etika sosial dan lingkungan, dengan mengacu pada karya para sarjana seperti Mutawalli Sha\'rawi. Terdapat empat sub bab dalam resume ini. Pertama, pendahuluan. Kedua, hubungan antara Tri Hita Karana (THK) dan Islam. Ketiga, batas Islam terhadap penerimaan. Keempat, perspektif lingkungan Sha’rawi dalam konteks THK.
Pendahuluan
Pada masyarakat Bali, hukum adat sangat penting di mana THK membentuk landasan spiritual bagi umat Hindu Bali, yang sangat memengaruhi kehidupan sehari-hari mereka. Akibatnya, prinsip prinsip hukum—baik tradisional, nasional, maupun agama—berfungsi secara kontekstual, dibentuk oleh lingkungan sosial budaya yang didominasi oleh agama Hindu. Oleh karena itu, masyarakat Muslim setempat harus mempertimbangkan relevansi hukum adat dan ajaran Hindu dalam interaksi mereka.
Hakikat filsafat Hindu tercermin dalam ungkapan bahasa Sansekerta moksartham jagadhita ya ca iti dharma, yang berarti “tujuan hidup yang sejati adalah mencapai kesejahteraan duniawi dan pembebasan spiritual.” Artinya, kebahagiaan dan kedamaian sejati hanya dapat dicapai melalui keselarasan dengan alam semesta, sehingga terhindar dari samsara (lingkaran kelahiran dan kelahiran kembali) dan punarbawa (reinkarnasi). Ketika mengolah hubungan yang benar dengan Tuhan, orang lain, dan lingkungan, orang beriman mampu memenuhi tujuan spiritualnya dalam hidup, dengan berfokus pada kebaikan dan keharmonisan.
Hubungan antara Tri Hita Karana (THK) dan Islam
Umat Islam percaya bahwa Allah menciptakan manusia untuk menyembah-Nya dan mengakui peran-Nya sebagai Pencipta semua kehidupan di alam semesta. Manusia berkewajiban untuk berlaku adil terhadap Tuhan, terhadap dirinya sendiri, terhadap orang lain, dan terhadap lingkungan. Pesan ini ditonjolkan dalam beberapa ayat Q.S Ad-Dhariyat [51]: 56, Al-Baqarah [2]: 177, Al-Maidah [5]:32, Al-An’am [6]: 51, Al-A’raf [7]:31. Perspektif ini sangat sesuai dengan filosofi Hindu tentang Tiga Penyebab Kesejahteraan, yang menekankan hubungan yang harmonis antara Tuhan, manusia, dan alam. Kedua ajaran tersebut menetapkan bahwa manusia harus berperilaku etis terhadap lingkungan untuk menunjukkan rasa terima kasih mereka. Pandangan dunia ekologi Islam menekankan keterkaitan semua makhluk ciptaan di bumi dan pengelolaan manusia (khilafah), yang mencakup pengelolaan sumber daya tersebut. Integrasi agama dan etika lingkungan ini dapat dianalisis lebih lanjut untuk mengidentifikasi prinsip-prinsip ekologi, dengan mengacu pada literatur.
Sebagai khalifah Tuhan di bumi, manusia dipercayakan dengan tanggung jawab untuk merawat lingkungan alam dan memiliki kewajiban moral untuk mengolah dan melindunginya daripada menyebabkan kerusakan atau kehancurannya. Hal ini mencerminkan perspektif Islam bahwa manusia pada akhirnya bertanggung jawab atas perlakuan mereka terhadap alam dan penggunaan sumber dayanya. Paradigma teosentris ini memandang manusia sebagai agen penting dalam penciptaan, yang menekankan tanggung jawab mereka untuk mencegah kerusakan lingkungan. Oleh karena itu, konsep Hindu tentang Tri Hita Karana dan konsep Islam tentang khilÿfah menunjukkan kesamaan yang signifikan dalam menangani krisis ekologi saat ini, yang menekankan perlunya mengadopsi pendekatan yang bertanggung jawab terhadap alam. Kedua agama tersebut menganjurkan keharmonisan antara manusia dan lingkungan, dengan mengakui bahwa hubungan ini penting untuk kehidupan yang berkelanjutan.
Batas Islam Terhadap Penerimaan
Baca Juga : Pasar Syariah Harus Memperkuat Ekonomi Kebangsaan
Tiga Sebab Kebahagiaan menyatakan bahwa kebahagiaan didasarkan pada hubungan dengan Tuhan (parahyangan), sesama manusia (pawongan), dan alam (palemahan). Jadi, hubungan ini sama pentingnya dalam Islam, perbedaan mendasarnya adalah definisi Tuhan. Pada konteks pemikiran Islam, ketiga unsur tersebut dapat dihubungkan dengan konsep etika kesempurnaan moral (ihsan). Tafsir Sya’rawi terhadap QS al-Baqarah [2]: 195 menyoroti pentingnya ihsÿn dalam semua tindakan, sebagaimana dijelaskan dalam hadis otentik, “yaitu menyembah Allah seolah-olah kamu melihat-Nya, dan jika kamu tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.” Sya’rawi menegaskan bahwa seorang mukmin berhasil di dunia karena tingkat kesadaran Tuhan yang tinggi ini.
Konsep Hindu tentang Tri Hita Karana dan konsep Islam tentang ihsan membuat perbedaan yang jelas antara interaksi dengan Tuhan, dengan sesama manusia, dan dengan alam, berdasarkan pada pentingnya bertindak baik terhadap diri sendiri dan orang lain. Oleh karena itu, kolaborasi antar agama dalam isu lingkungan hidup adalah mungkin, dengan tegas berdasarkan nilai umum ini. Namun, kedua tradisi tersebut didasarkan pada sistem kepercayaan dan pandangan dunia yang berbeda. Politeisme yang melekat dalam agama Hindu memiliki pemahaman yang sangat berbeda tentang Ketuhanan dibandingkan dengan monoteisme dalam Islam.
Kedua komunitas agama dapat bekerja sama dalam mempromosikan hak asasi manusia dan perlindungan lingkungan atas dasar nilai-nilai bersama, seperti dalam kasus Tri Hita Karana dan ihsan, tanpa mencampuradukkan bidang keagamaan mereka. Terlepas dari niat } baik, batas-batas kerja sama harus jelas dan tidak meluas ke bidang keagamaan, seperti menghadiri ritual keagamaan. Sya\'rawi memperingatkan umat Islam untuk tidak melanggar prinsip-prinsip Islam karena Setan terus-menerus berusaha menjauhkan manusia dari Allah.
Setiap agama memiliki ajaran dan kepercayaan mistis yang tidak dapat diakses melalui akal sehat. Misalnya, Islam didasarkan pada wahyu, yang bukan merupakan fenomena alamiah yang dapat dibuktikan secara ilmiah. Lebih jauh lagi, Al-Qur’an sendiri dianggap sebagai mukjizat dan tidak dapat ditiru. Namun, aspek Islam ini tidak dapat diakses oleh orang non-Islam.
Perspektif Lingkungan Sha’rawi dalam Konteks THK
Wacana apa pun yang terkait dengan lingkungan harus mencakup konsep Islam tentang pengelolaan manusia, yang menawarkan jalan tengah antara dua ekstrem ekosentrisme dan antroposentrisme. Pertama, paradigma antroposentris-ekosistemik. Antroposentrisme didasarkan pada pandangan dunia melalui lensa kebutuhan dan aspirasi manusia, dengan asumsi bahwa mereka lebih unggul dari semua makhluk lainnya. Jadi , hal itu bertentangan secara diametral dengan paradigma yang terkait dengan disiplin ilmu alam lainnya, kosmologi, filsafat alam, dan, terutama, teologi. Selain itu, ekosentrisme berfokus secara eksklusif pada lingkungan dan pentingnya menjaga ekosistem yang berkelanjutan tanpa memperhatikan kebutuhan manusia secara khusus. Dilihat dari perspektif ekosentrisme, manusia tidak berbeda dari spesies lain dan tidak menikmati status yang lebih unggul. Tema utamanya meliputi menjalani hidup tanpa campur tangan, kekaguman, dan kebajikan, menyeimbangkan keberlanjutan hidup, dan mengembangkan sentimen moral sebagai dasar etika lingkungan, yang merupakan cabang filsafat yang relatif baru.
Perspektif Islam mengandung aspek teosentris, antroposentris, dan ekosentris. Manusia telah ditunjuk oleh Tuhan sebagai penjaga-Nya di bumi dan memiliki tanggung jawab moral untuk mengelola sumber daya alam dan melindungi lingkungan. Oleh karena itu, setiap kesalahan pengelolaan sumber daya alam atau perusakan ekosistem yang disengaja merupakan tanda kesombongan manusia, tidak berterima kasih, dan pemberontakan terhadap Tuhan. Perspektif Islam mendorong pengekangan dan moderasi dalam mengonsumsi dan mengeksploitasi sumber daya alam tanpa menyebabkan kerusakan pada lingkungan dan mengganggu keseimbangan yang menjadi sandaran semua kehidupan di bumi. Singkatnya, manusia harus menghormati nilai hakiki semua makhluk.
Kedua, Sya’rawi tentang Sentralitas Kemanusiaan dan Pengelolaan Manusia. Sya\'rawi tidak membahas isu ekologi dalam kajian tertentu, namun tema-tema yang relevan dapat direkonstruksi dari karya-karyanya, khususnya dalam tafsir Al Qur\'an. Tiga kata kunci yang terkait dengan topik ini adalah manusia (insan), alam semesta, dan ihsan. Sya’rawi menjelaskan bahwa individu memiliki komponen fisik berupa jasad dan komponen spiritual berupa jiwa (ruh). Ia juga menekankan fakta bahwa setiap tubuh manusia terbuat dari bumi, karena mengandung unsur-unsur yang sama, seperti zat besi, karbon, natrium, magnesium, tanpa memandang ras, suku, dan garis keturunan, sehingga memperkuat kenyataan bahwa semua manusia adalah sama dan memiliki asal usul yang sama.
Selanjutnya, Palemahan merupakan konsep utama dalam Tri Hita Karana Bali, yang berfokus pada hubungan antara manusia dan alam. Palemahan menggarisbawahi pentingnya menjaga keseimbangan dengan alam dan menghormati tanah, air, dan semua makhluk hidup, yang semuanya merupakan komponen penting bagi kesejahteraan manusia dan pertumbuhan spiritual. Unsur-unsur alam api (teja), udara (vayu), tanah (perthiwi), air (apah), dan eter (akasha) merupakan unsur-unsur dasar pembentuk alam semesta. Menurut filsafat Hindu, unsur-unsur ini juga ditemukan di dalam tubuh manusia dan melambangkan hubungan antara manusia dan kosmos. Umat Islam memandang fenomena alam dan kompleksitas ekosistem yang rumit sebagai manifestasi kebesaran Allah SWT.
Sya\'rawi mengingatkan bahwa alam semesta dan kehidupan di bumi adalah jauh lebih tua dari manusia. Alam semesta mengikuti tatanan yang tepat dan ilahi yang terwujud dalam keseimbangan halus yang ditemukan di alam. Ia mengamati bahwa alam tidak tunduk pada keinginan manusia, dan juga tidak dapat dikendalikan sepenuhnya. Sha\'rawi menekankan bahwa alam tunduk pada kehendak Allah dan hanya dapat dimanfaatkan oleh manusia sesuai dengan rencana-Nya. Lebih jauh, Sya’rawi menyoroti fenomena alam tertentu yang menarik minat manusia, khususnya dalam eksplorasi ilmiah, seperti hujan, tanaman, organisme hidup, dan entitas padat seperti mineral, tanah dan batu.
Menurut Sya\'rawi, manusia adalah bagian dari alam semesta. Jika kita mengartikan keseimbangan sebagai kesetaraan, maka hal itu menyiratkan bentuk politeisme, yang umumnya dihindari dalam Islam. Solusinya tidak terletak pada pembentukan kesetaraan, tetapi pada pengaturan hierarki. Di puncak hierarki ini adalah Allah SWT, diikuti oleh alam semesta sebagai ciptaan-Nya (makrokosmos), yang di dalamnya manusia dan alam merupakan bagiannya (mikrokosmos).
Kesimpulan
Menelaah Ajaran Dasar Tri Hita Karana Bali dan Islam, terdapat hubungan spiritual yang kuat antara Tuhan, manusia, dan lingkungan alam. Akan tetapi, elemen inti dan praktik Hinduisme dan Islam memiliki perbedaan yang signifikan, terutama dalam dimensi esoterisnya. Kerangka kosmologi Islam dibangun dengan kokoh di atas keesaan Tuhan (tauhid) sebagai Pencipta dan Pemelihara alam } semesta, yang tidak ada dalam kerangka Hindu, yang mencakup dewa pencipta, Brahma; akan tetapi, ia hanyalah dewa pertama dalam Trimurti, di samping banyak dewa lain yang disembah. Pada tingkat eksoteris, terdapat nilai-nilai dan perhatian bersama, terutama yang berkaitan dengan perilaku etis yang positif, keharmonisan sosial, dan perlindungan lingkungan.