(Sumber : www.nursyamcentre.com)

Budaya Pamali dalam Tinjauan Teori Konstruksi Sosial

Riset Budaya

Tulisan berjudul “Pamali Culture Existence: Phenomenology Study in Bani Tribe, Tubuhu’e Village, North Central Timor Regency, Indonesia” adalah karya Arni Enggelina Ello, Darsono Wisadirana dan Anif Fatma Chawa. Tulisan ini terbit di Journal of Philosophy, Culture and Religion tahun 2018. Tulisan tersebut merupakan penelitian yang mengkaji nilai dan makna budaya Suku Bani terkait pamali. Budaya pamali yang diyakini oleh Suku Bani adalah seperangkat aturan yang memiliki makna yang kuat. Makna pamali dapat dipahami dari perspektif konstruksi sosial, bahwa tradisi verbal dalam budaya pamali telah dikonstruksi sejak lama oleh nenek moyang, sehingga menjadi warisan. Sehingga, Suku Bani terdorong untuk mempertahankan dan melestarikan tradisi lisan dalam budaya pamali agar generasi muda mengikuti jalur nenek moyang. Penelitian tersebut menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi yang bertujuan untuk memahami makna atau interaksi individu dalam kondisi tertentu. Teknik pengambilan sampel dengan snowball sampling, dan teknik pengumpulan data dengan observasi, dokumentasi serta wawancara. Penelitian dilakukan di Desa Maslete, Kecamatan Tubuhu, Kabupaten Timor Tengah Utara, Provinsi Nusa Tenggara Timur, dengan subjek penelitian Suku Bani.  Di dalam resume ini akan menjelaskan penelitian Ello, Wisadirana dan Chawa dalam tiga sub bab. Pertama, pendahuluan. Kedua, signifikansi pamali. Ketiga, budaya pamali dalam tinjauan konstruksi sosial.

  

Pendahuluan

  

Menurut Koentjaraningrat dalam bukunya berjudul “Antropologi: Pengantar Ilmu”, kebudayaan merupakan pikiran dan kekuatan manusia yang meliputi ragam ilmu, kepercayaan, sistem keagamaan, seni, organisasi sosial, teknologi, mata pencaharian, ekonomi dan bahasa yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Secara umum, kehidupan masyarakat merupakan cerminan abstrak yang kongkrit akan nilai-nilai budaya. Istilah pamali, ditemukan dalam budaya. Pada umumnya, budaya pamali memiliki berbagai konsekuensi. Misalnya, pamali karena pindah waktu makan, menggunakan tikar sebagai selimut, mengumpat di hutan, berfoto ganjil, bangun terlalu siang, bersin saat bepergian, berlama-lama di kamar mandi, duduk di dekat pintu, gadis mencuci rambut pada hari sabtu, dan lain sebagainya. 

   

Meski pamali dianggap tidak relevan dengan kondisi zaman yang sudah maju. Sebagian besar generasi yang lebih tua masih memandang pamali sebagai “isyarat” dari pendahulunya untuk ditaati. Sehingga, pamali masih diwariskan kepada generasi yang lebih muda. Namun, terdapat perbedaan arti pamali karena perubahan zaman. Pamali dianggap sebagai mitos yang terkadang diabaikan. Sebenarnya, pamali mengandung alasan yang kuat dan logis. Pamali merupakan larangan berbuat jahat dan mengumpat untuk diri sendiri maupun lingkungan. Sanksi terhadap pelanggaran ini biasanya dikaitkan dengan rejeki, pasangan, keturunan dan kemanan. 

  

Budaya Suku Bani, Nusa Tenggara Timur

  

Masyarakat Suku Bani terdiri dari masyarakat yang menganut adat istiadat. Oleh sebab itu, nilai budaya memiliki arti yang sangat dalam. Nilai tradisi yang kuat membuat orang tidak bisa menolak kepercayaan yang diwariskan oleh leluhur. Masyarakat hanya dapat menyesuaikan berbagai aturan budaya yang meliputi adat istiadat. 

  

Di dalam kaitannya dengan pamali dalam kehidupan masyarakat Suku Bani, pamali lebih dianggap sebagai “norma” yang tidak tertulis. Meskipun begitu, masyarakat mematuhinya karena memiliki korelasi dengan kepercayaan publik. Tradisi ini diwariskan melalui cerita turun-temurun dari nenek moyang mereka. 

  

Di dalam masyarakat Tubuhu, istilah pamali berlaku bagi seluruh lapisan masyarakat. Pamali mengandung nilai tradisional dan modern yang tepat untuk dilestarikan. Terdapat tiga pamali yang masih diyakini oleh Suku Bani. 


Baca Juga : Tips Mengatasi Rasa Bosan Anak Saat Belajar di Rumah

  

Pertama, pamali bagi masyarakat Tubuhu yang juga terbagi menjadi dua. Pertama, Luma Pamali, yakni orang-orang yang bertemu dengan raja harus menundukkan kepala, baik duduk atau berdiri dan tidak melihat wajah raja hingga mendapatkan jarak tertentu. Orang-orang yang melanggar harus mengikuti raja kerumah adat untuk melaksanakan upacara adat pelanggaran tersebut. Konon, orang yang melanggar adat akan mati dalam jam, hari, bulan dan tahun berikutnya. Kedua, pamali bagi masyarakat Suku Bani ketika memberikan upeti dengan memasukkan tujuh biji jagung. Orang yang melanggar pamali ini akan mati di tahun berikutnya seperti Luma Pamali. 

   

Kedua, pamali untuk Kepala Suku Bani juga terbagi menjadi dua. Pertama, pamali memakan ikan air tawar atau hewan yang berasal dari air tawar. Konon, pada zaman dulu mereka berubah menjadi buaya saat mandi di sungai dan menjadi mata air bagi Suku Bani. Kedua, pamali makan di rumah duka, termasuk jika orang tua kandung mereka sendiri. Jika dilanggar akan menimbulkan bencana bagi masyarakat desa. 

  

Ketiga, pamali untuk Suku Bani dan kepala suku yang terbagi menjadi tiga. Pertama, pamali memberikan informasi yang salah mengenai apa yang terkait dengan adat dan sejarah Suku Bani. Kedua, pamali memakan daging bebek dan merpati karena mereka yakin bahwa Suku Bani adalah keturunan bebek dan merpati. Ketiga, pamali makan tanaman jagung sebelum upacara adat. Di dalam hal ini masyarakat harus mempersembahan hasil panen pertama kepada Tuhan dan leluhur. 

  

Budaya Pamali dalam Tinjauan Konstruksi Sosial

  

Di dalam proses pembawan budaya pamali oleh masyarakat Suku Bani diteliti menggunakan Konstruksi Sosial Teori Peter L. Berger dan Thomas Luckman; untuk memahami budaya pamali. Dialektika yang dikemukakan oleh Berger dan Luckman berlangsung dengan tiga stimultan. Pertama, eksternalisasi yakni adaptasi terhadap dunia sosial budaya sebagai produk manusia. Kedua, objektivasi yakni interaksi sosial dalam dunia yang dilembagakan secara intersubjektif atau proses pelembagaan. Ketiga, internalisasi yakni identitas individu dengan lembaga sosial di mana salah satunya berada. 

  

Proses dialektika masyarakat Suku Bani melalui tiga proses tersebut. Proses internalisasi terjadi melalui proses sosialisasi. Raja mengundang kepala suku untuk hadir di istana dan mensosialisasikan mengenai pamali di Kota Tubuhu. Selain itu, orang tua memiliki peran penting dalam poses sosialisasi. Objektivasi budaya pamali merupakan hasil konstruksi masyarakat Suku Bani dalam konteks sosial budaya. Perbedaan pendapat yang ada di masyarakat menunjukkan kemungkinan adanya variasi dalam mematuhi pamali atau bahkan pola tindakan dalam menafsirkan pamali. Eksternalisasi dalam masyarakat Suku Bani adalah berdebat dengan pamali. Adanya perilaku yang dilakukan oleh anggota Suku Bani ketika mempercayai budaya pamali sebenarnya sudah ada sejak nenek moyang mereka. Jika ada anggota suku yang melakukan pelanggaran terhadap budaya pamali, maka hukman akan datang dalam bentuk kecelakaan, penyakit, bahkan kematian. Namun, pelanggar dapat memperoleh pengampunan, jika melakukan ritual yang disebut na’sapu

  

Kesimpulan

  

Makna penting pamali bagi masyarakat Suku Bani adalah aturan atau norma, hukum adat atau larangan dalam bentuk tradisi lisan. Pamali berlaku kepada seluruh masyarakat tanpa membedakan status. Pelanggar pamali akan menerima hukuman dan tantangan. Pamali telah menjadi warisan dan penguji ketaatan sekaligus kepercayaan. Budaya pamali diyakini terkait dengan nama suku Bani. Meskipun, pamali dinilai tidak relevan dengan kondisi zaman sekarang yang telah maju, namun generasi tua masih memandang pamali sebagai isyarat yang harus ditaati. Sebab, dengan mentaati pamali diharapkan mendapat keamanan dan hidup yang sukses.