(Sumber : Nur Syam Centre)

Gender dalam Budaya Jawa

Riset Budaya

Judul "Budaya Jawa dan Kesetaraan Gender" merupakan tulisan Tanti Hermawati. Karya ini terbit di Jurnal Komunikasi Massa. Tulisan Hermawati berusaha menjelaskan bagaimana kesetaraan gender dalam budaya Jawa. Selama ini budaya dan kesetaraan gender sering kali dipertentangkan. Sehingga, dibutuhkan solusi yang tepat guna mengatasi permasalahn tersebut. Review ini akan membahas kembali tulisan Hermawati dalam tiga sub bab. Pertama, kesenjangan gender. Kedua, gender dalam budaya Jawa. Ketiga, kajian gender. 

  

Kesenjangan Gender

  

Di dalam menjelaskan "gap" dalam tulisannya, Hermawati menjelaskan melalui sejarah singkat diskriminasi terhadap wanita karena perbedaan jenis kelamin dan strata sosial. Selain itu, Hermawati menuliskan dua contoh kasus mengenai wanita. Di dalam sejarah tertulis bahwa pada tahun 1979, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyetujui konferensi penghapusan bentuk diskriminasi terhadap wanita. Indonesia telah meratifikasi aturan tersebut dan "dituangkan" dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984. Namun, jarang disosialisasikan oleh negara. Aturan mengenai penghapusan diskriminasi terhadap wanita ternyata tidak mengubah apapun. Pada kenyataannya, aturan tersebut tidak sanggup menghapus diskriminasi yang dialami wanita. Di seluruh dunia masih ada perempuan yang mengalami segala bentuk kekerasan baik fisik, mental, sosial dan ekonomi yang ada di rumah, tempat kerja maupun masyarakat.

  

Hermawati menuliskan dua contoh kesenjangan gender. Petama, contoh istri anggota DPR RI yang tetap mendukung suaminya, meskipun ia tahu bahwa suaminya selingkuh. Jelas sekali adanya ketidakadilan dalam kasus ini. Pria atau suami dengan sengaja berbuat salah, sementara wanita atau istrinya tetap bertahan dengan segala kelemahan. Hal ini dikarenakan alasan kebutuhan keluarga dan anak. Kedua, istri da'i kondang yang mau dipoligami. Ironis sekali, ketika tingkah pria sebagai public figure menginjak harga diri wanita. Meskipun, dalam sorotan media istri terlihat tegar. Di dalam hal ini bukan masalah boleh atau tidaknya berpoligami, melainkan pada perlakuan ketidakadilan terhadap wanita.

  

Gender dalam Budaya Jawa

  

Di dalam menjelaskan bagaimana gender dalam budaya jawa, Hermawati menjelaskan dengan istilah-istilah yang menunjukkan posisi pria dan wanita. Beberapa istilah diantaranya adalah sebutan istri sebagai kanca wingking. Artinya, teman belakang yakni sebagai teman dalam mengelola urusan rumah tangga, anak, memasak, mencuci, dan sebagainya. Selain itu, terdapat istilah suwarga nunut neraka katut. Artinya, suami adalah penentu istri akan masuk surga atau neraka. Jika suami masuk surga, maka istri juga akan masuk surga. Istilah lainnya adalah seorang istri harus bisa manak, macak, masak atau dapur, pupur dan sumur. Artinya, wanita harus bisa memberi keturunan, berdandan dan memasak. 

  

Perempuan masih dianggap sebagai the second class yang keberadaannya tidak begitu dipehitungkan. Implikasi mengenai konsep dan common sense mengenai posisi yang tidak seimbang telah menjadi alasan pemisah antara sektor "domestik" dan "publik". Wanita dianggap orang yang berkiprah pada sektor domestik dan pria ditempatkan dalam sektor publik. Citra, peran, dan status wanita telah diciptakan oleh budaya. Budaya menciptakan citra lemah lembut, penurut, tidak membantah bagi perempan. Sedangkan, pria sebagai sosok panutan, rasional dan agresif. 

  

Kajian Gender

  

Hermawati meminjam pemikiran Suharti dan McDonald dalam menjelaskan konsep gender. Menurut Suharti, gender berbeda dengan seks. Seks adalah jenis kelamin yang terlihat secara biologis. Sedangkan, gender adalah perbedaan pria dan wanita secara sosial atau masalah lain perihal peran, perilaku, tugas, hak dan fungsi yang dibebankan pada pria dan wanita. Isu gender terkadang muncul sebagai akibat dari kondisi yang menunjukkan kesenjangan gender. Menurut Mcdonald, gender merujuk pada perbedaan antara pria dan wanita yang merupakan konstruksi sosial, serta segala perbedaan yang muncul tidak disebabkan perbedaan biologis perihal jenis kelamin. Hermawati sendiri menjelaskan gender sebagai atribut sosial mengenai pria dan wanita. Misalnya, pria digambarkan memiliki sifat maskulin yakni gagah, kuat, dan keras. Sedangkan, perempuan memiliki sifat feminin yakni lemah, perasa, sopan, dan penakut. 

  

Hermawati lebih lanjut penjelaskan bahwa perbedaan gender tidak menjadi masalah, selama tidak melahirkan kesenjangan gender. Namun, hal tersebut sangat sulit terjadi. Kesenjangan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan seperti marginalisasi, subordinasi, stereotip, dan kekerasan. Manifestasi ketidakadilan gender tidak bisa dipisahkan, karena saling mempengaruhi secara dialektis. Lambat laun akan tercipta struktur dan sistem kesenjangan gender yang diterima dan tidak bisa lagi dianggap sebagai sesuatu yang salah. 

  

Secara garis besar Hermawati berusaha menjelaskan bahwa kesenjangan gender dikonstruksi melalui aturan hukum formal dan norma yang tidak tertulis. Aturan hukum formal membuat ideologi resmi berlaku pada masyarakat dan institusi. Sedangkan, norma yang tidak tertulis yang dipahami membentuk sikap dan perilaku sehari-hari dalam dunia nyata. Hal ini dianggap sebagai proses “lazim” yang umumya diterima masyarakat meskipun di luar batas keadilan yang hakiki. Sementara, perlu disadari juga bahwa aturan hukum formal adalah bentuk praktek kekuasaan yang umumnya dibuat untuk kepentingan dan tujuan yang menguntungkan para “pembuat” hukum. 

  

Kesimpulan

  

Secara garis besar tulisan Hermawati berusaha mengajak masyarakat untuk berkomitmen kuat “mengangkat” perempuan dari kemiskinan struktural baik secara individu, masyarakat, negara dan dunia internasional. Artinya, diperlukan adanya kemauan untuk berubah dan melakukan gerakan transformasi untuk menciptakan hubungan sesama manusia secara fundamental, lebih baik, dan baru. Fungsinya adalah memperjuangkan kesetaraan gender. Selain itu, Hermawati menegaskan bahwa persoalan gender bukan soal pria dan wanita melainkan sistem dan struktur dalam masyarakat. Budaya Jawa sebenarnya adi luhung. Namun, sering menjadi kambing hitam dalam penciptaan ketidakadilan gender. Hermawati berpesan agar pranata budaya jangan sampai menghalangi para wanita berkiprah dan menunjukkan eksistensinya di ranah publik. Tulisan Hermawati telah memberikan sumbangsi pemikirannya mengenai gender dalam budaya Jawa dengan sangat baik. Karena, Hermawati memberikan positive vibes, bahwa gender bukan soal pertentangan pria dan wanita. Namun, tulisan tersebut akan menjadi lebih baik jika kajian tentang gender semakin banyak literatur yang ditulis, gap yang semakin “tajam” dan melibatkan contoh kasus bagaimana wanita di Jawa. Selain itu, Hermawati hanya memandang gender dalam budaya Jawa hanya dari bahasa atau istilah yang ditujukan untuk seorang istri, bukan dari sudut pandang yang lain. Jika diulas dari beberapa sudut pandang dan dituliskan perbedatan yang “elok” kemudian disimpulkan, maka tulisan tersebut akan lebih “sempurna”.