(Sumber : Nur Syam Centre)

Gender dan Pesantren

Riset Budaya

Tulisan berjudul “Kesetaraan Gender di Pesantren dalam Kajian Literatur” adalah karya dari Najib Jauhari dan Siti Malikhah Towaf. Karya ini terbit di Jurnal Sejarah dan Budaya tahun 2019. Tulisan ini terinspirasi dari kajian ilmu keislaman di pesantren yang memiliki andil besar dalam pemahaman agama, terutama berkaitan dengan kesetaraan gender. Hal ini dikarenakan materi yang dipelajari dalam pesantren mengarah pada kitab kuning, membahas kaidah fikih dan dianggap cenderung patriarkis. Artinya, berbasis pada bias gender. Terdapat dua sub bab yang akan dibahas dalam review ini. Pertama, Gender dalam kajian teoritik dan Islam. Kedua, gender dalam pesantren.

 

Gender dalam Kajian Teoritik dan Islam

 

Di dalam artikel tersebut, Jauhari dan Towaf menjelaskan gender berupa konsepsi dasar, bukan menggunakan teori gender dari para ahli. Gender didefinisikan sebagai konstruksi sosial masyarakat berupa “label” sebagai ciri khas pria dan wanita. Pria dianggap memiliki sifat tegas, rasional, gagah, sedangkan wanita dianggap sebagai sosok yang lemah lembut dan emosional. Pelabelan ini kemudian memunculkan peran gender yang diwariskan dan dikuatkan oleh legitimasi agama. Peran gender kemudian memunculkan definisi khusus, yakni ketidaksetaraan yang menciptakan ketidakadilan, seperti marginalisasi, subordinasi, stereotip dan kekerasan.

 

Di dalam kaitan antara gender dan Islam, Jauhari dan Towaf meminjam karya Nasarudin Umar dalam bukunya yang berjudul Agama, Kesetaraan Gender Perspektif Alquran, untuk menggambarkan bagaimana posisi pria dan wanita dalam Alquran. Gambaran tersebut dijelaskan dalam beberapa surah. Pertama, penjelasan sebagai hamba Allah (QS: Al-Dzariat: 56). Kedua, penerimaan perjanjian yang mengakui Allah sebagai Tuhan (QS. Al-A’raf: 172). Ketiga, keterlibatan dalam drama turunnya manusia ke bumi (QS. Al-Baqarah: 35), dan pengemban tugas sebagai khilafah di bumi (QS. Al-Baqarah: 30). Keempat, memiliki potensi untuk meraih prestasi dan memperoleh penghargaan atas prestasi (QS. An-Nahl: 97 dan At-Taubah: 71). Kelima, berkewajiban musyawarah (Q.S Asy-Syura: 38).

 

Selain milik Nasarudin Umar, Jauhari dan Towaf juga menuliskan beberapa penelitian mengenai kesetaraan gender. Pertama, penelitian Pudjiawati Sajogyo dalam bukunya yang berjudul Peranan Wanita dalam Perkembangan Masyarakat Desa. Hasil penelitian Sajogyo menunjukkan adanya pembagian kerja antara pria di sektor publik dan wanita di sektor domestik. Kedua, penelitian Sartono Kartodirdjo dalam bukunya yang berjudul Perkembangan Peradaban Priyayi. Hasil penelitian Kartodirdjo menunjukkan adanya dominasi pria dalam bidang bio-sosial, sosio-kultural, politik dan religi. Hal tersebut dikarenakan sifat pria yang otoriter, jantan, dinamis dan aktif. Ketiga, penelitian Akif Khilmiyah dalam bukunya yang berjudul Menata Ulang Keluarga Sakinah. Di dalam bukunya, Khilmiyah mejelaskan bahwa pria adalah superior dalam rumah tangga dan wanita sebagai subordinat. Namun, tidak berlaku bagi keluarga miskin, karena cenderung berusaha bersama agar mendapatkan pendapatan yang cukup.

 

Isu Gender di Pesantren

 

Di dalam menjelaskan bagaimana isu gender di pesantren, Jauhari dan Towaf tidak melakukan “dialog” teoritik, hanya deskripsi penelitian milik Masdar F. Mas’udi dan Kyai Husain Muhammad. Penulis menuliskan “cuplikan” penelitian Masdar F. Mas’udi dalam bukunya berjudul Perempuan diantara Lembaran Kitab Kuning. Di dalam buku ini dijelaskan mengenai lima ciri khas relasi antara pria dan wanita. Pertama, hak mengawini ada pada suami dan perempuan hanya berhak dikawini. Kedua, perempuan adalah obyek perkawinan, dapat dilihat bahwa tubuhnya seperti barang yang akan dibeli. Ketiga, hak talak dominan pada suami, sementara hal tersebut tidak tampak pada istri. Keempat, wanita harus taat secara mutlak pada suami dalam urusan seksual dan permintaan izin. Kelima, larangan istri keluar rumah tanpa izin suami.

 

Buku Kyai Husain Muhammad yang berjudul Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender juga menjadi rujukan. Di dalam buku tersebut dijelaskan prinsip dasar Alquran yang menunjukkan pandangan egaliter. Namun, ulama klasik condong memberikan tafsir mengenai superioritas kepada pria yang saat ini “dibantah” oleh kenyataan. Oleh sebab itu, diperlukan pemahaman kontekstual sosiologis dengan prinsip keadilan, kesetaraan, kemaslahatan, kerahmatan tanpa dibatasi jenis kelamin.

 

Menurut Jauhari dan Towaf, peran wanita dalam kehidupan pesantren adalah fenomena yang tidak terbantahkan. Namun, penelitian pesantren lebih banyak mengeksplorasi Kyai, bukan Nyai dalam mengelola pesantren. Hal ini disebabkan adanya pandangan bahwa Nyai adalah orang kedua dengan otoritas yang terbatas. Berbeda dengan Kyai yang memiliki otoritas penuh sebagai pemimpin pesantren.

 

Kesimpulan

 

Di dalam artikel karya Jauhari dan Towaf masih banyak kalimat yang “tumpang tindih” atau diulang antar sub bab. Tulisan tersebut juga tidak membahas secara “tuntas” mengenai kitab kuning yang dianggap patriarkis. Artinya, “tuduhan” bahwa kitab kuning klasik yang diajarkan di pesantren ikut andil dalam menguatkan ketidaksetaraan gender menjadi lemah dan tendensisus. Hal tersebut disebabkan tidak ada satu pun judul kitab kuning yang disebutkan sebagai pembuktian ilmiah. Penelitian Jauhari dan Towaf “menuliskan ulang” penelitian lain yang berkaitan dengan tema gender dalam pesantren. Sehingga, secara keseluruhan tidak ada proposisi ilmiah yang baru. Meskipun artikel tersebut adalah kajian literatur, namun tidak ada referensi baru sebagai sandaran. Selain itu, penulis tidak “mengungkap” secara berimbang mengenai buku atau karya dari ulama perempuan di pesantren sebagai pembanding. Terlepas dari kekurangan tersebut, karya ini memberikan informasi bahwa konsep Islam yang banyak memihak kepada pria belum tentu mewakili substansi ajaran Islam, warisan kultural dan nilai lokal yang sering menjadi rujukan guna memahami ayat yang berkaitan dengan gender dalam Alquran. Ada yang sejalan dan tidak dengan substansi ajaran Islam, namun sering kali budaya lokal lebih dominan.