(Sumber : SMA Plus Pesantren Amanah)

Hancurnya Nilai Sufi: Bullying di Pesantren

Riset Budaya

Artikel berjudul “The Demise of Sufi Values in Islamic Educational Institution: Bullying in Maduranese Pesantren” merupakan karya Achmad Muhlis, Moch Cholid Wardi, Ach Baiquni, Dimas Danar Septiadi, dan Iik Arifin Mansurnoor. Tulisan ini terbit di Jurnal Ulumuna: Journal of Islamic Studies tahun 2025. Penelitian tersebut berusaha mengkaji mengenai bulliying di Pesantren Madura, Jawa Timur. Hal ini disebabkan karena terungkapnya kasus bulliying di pesantren akhir-akhir ini yang menimbulkan ironi dan mengecam reputasi pesantren sebagai tempat yang aman untuk mendidik santri. Pendekatan kualitatif dan deskripsi kritis digunakan dalam penelitian tersebut. Terdapat tiga sub bab dalam resume ini. Pertama, pendahuluan. Kedua, bulliying di pesantren. Ketiga, ajaran tasawuf di pesantren dan matinya nilai. 

  

Pendahuluan

  

Meskipun dianggap ironi, bulliying di pesantren masih saja sering terjadi. Terbukti dengan ditemukannya berbagai kasus yang mencuat ke publik di antaranya adalah di Sukoharjo, Ponorogo dan Kediri. Artinya, pesantren dapat menjadi tempat pendidikan tidak aman. Padahal, pesantren diyakini sebagai tempat paling ideal bagi para siswanya dari ancaman moral. Di sisi lain, aturan tidak tertulis di pesantren dapat menciptakan hierarki social yang dapat disalahgunakan dapat mengarah pada praktik bullying. Beberapa pesantren telah merespon isu ini, misalnya Pesantren Al-Masoem dan As-Saidiyyah di Bandung, dan Pesantren Bahrul Ulum Jombang dengan membuat tagline #antibulliying. 

  

Penindasan atau bulliying pada ketanyataannya adalah masalah sosial yang serius, sebab memiliki dampak negative pada kesehatan mental dan fisik korban yang sering kali berimbas pada stress, kecemasan, depresi dan trauma. Bahkan, bulliying dapat terjadi secara daring melalui media sosial yang berakibat pada penurunan prestasi akademik sampai isolasi sosial. Intinya, bullying adalah bentuk perilaku melanggar hak dasar orang lain yang menyebabkan kerugian dasar signifikan karena menyebabkan kekerasan verbal maupun fisik. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah preventif dan edukatif untuk menanggulangi dan mencegah bullying di sekolah dan masyarakat. Cara  menanggulangi bullying verbal di pesantren, teknik seperti pelatihan konseling ustaz dan penerapan kebijakan anti-bullying dinilai mampu mendukung kesehatan mental. Di sisi lain, pesantren dirancang untuk mendidik. Hal ini terlihat dari kompetensi siswanya dalam banyak aspek di luar pedagogi, baik kurikulum formalnya maupun kebiasaan yang dibangun. Misalnya, para santri yang diajarkan dan dilatih ilmu tasawuf sebagai salah satu bekal agar bisa berbakti kepada sesama, orang tua, ustaz dan lain sebagainya dengan rasa hormat yang sepantasnya. 

  

Bullying di Pesantren 

  

Bulliying dalam Pendidikan mengacu pada tindakan intimidasi, kekerasan atau pelecehan di sekolah maupun Lembaga Pendidikan lain yang mengarah pada kekerasan baik secara fisik, sosial, digital maupun verbal. Pada konteks pesantren, bulliying sering terjadi secara alami sebagai akibat sampingan dari kebiasaan hidup lingkungan tersebut. Misalnya, struktur hierarkies santri dan ustaz yang signifikan. Selain itu, para pengasuh senior yang terbiasa ditugaskan sebagai pengasuh serta ustaz junior yang mengajar santri yang lebih muda. Pada konteks ini, pengasuh menikmati hak istimewa ganda, yaitu  sebagai ustaz dan orang yang menegakkan aturan pesantren sambil mengawasi  kegiatan sehari-hari para santri. 

  

Pada beberapa kasus, bulliying di pesantren cukup menonjol dan menempatkan bullying di pesantren dalam beberapa kasus cukup menonjol, dengan menempatkan santri sebagai korban. Namun,  dalam beberapa kasus ditemukan bahwa ustaz juga menjadi korban. Selama ini belum ditemukan catatan tentang bullying di kalangan sesama santri atau ustaz. Namun, hal ini tidak serta merta menunjukkan bahwa bullying tidak terjadi. Santri melakukan perundungan terhadap ustaz karena sering diejek dan dimarahi, dan sebagian lainnya melakukan perlakuan buruk, sering kali karena melanggar hukum atau tidak memenuhi target belajar. 

  

Berdasarkan sudut pandang ustaz, hal itu mungkin tidak sepenuhnya terwujud karena mereka menganggapnya sebagai penegakan aturan, sebagaimana mereka wajib melakukannya. Ketika mereka melampaui batas standar dalam menghukum santri baik melalui cara verbal maupun fisik, hal itu dapat diukur dari bagaimana mereka mengkategorikannya sebagai masalah pribadi atau publik. Upaya untuk bersikap profesional tanpa dipengaruhi oleh sentimen pribadi dapat menjadi tantangan ketika para ustaz hanya mempertimbangkan hak-hak mereka tanpa mengimbanginya dengan praktik-praktik terbaik untuk memenuhi kewajiban mereka baik dalam mengajar, menegakkan aturan—termasuk menghukum santri— dan berinteraksi dengan baik dengan orang lain. Sampai pada titik ini, bullying berasal dari penyalahgunaan kekuasaan dan hak istimewa. 


Baca Juga : Ketika Pesantren Bukan Lagi Identik dengan Islam Wasathiyah

   

Sementara itu, dari sudut pandang santri yang cenderung reaktif terhadap perlakuan ustaz , bullying pun tidak bisa terwujud karena besar kemungkinan mereka menganggapnya sebagai balas dendam. Mereka melakukan perlawanan terhadap apa yang dilakukan Ustad dengan berbagai cara, mulai dari perlawanan secara diam-diam, perlawanan secara riuh, sampai dengan perlawanan dengan cara mengejek maupun langsung mengancam mereka secara fisik. Mereka mungkin membuat alibi bahwa mereka tidak menindas siapa pun, tetapi justru mempertahankan hak mereka untuk diperlakukan dengan baik. Namun, tindakan ini mungkin juga melampaui batas ketika mereka, misalnya, mempermalukan tubuh atau membahas masalah pribadi di depan umum. 

  

Nampaknya akan selalu ada alasan atau dalih untuk melakukan bullying tanpa adanya usaha yang serius dan berkesinambungan untuk memperbaiki keadaan tersebut dengan tetap mengacu pada nilai-nilai pesantren atau ajaran Islam. Salah satu langkah awal yang dapat dilakukan adalah dengan memahami kurikulum pesantren yang secara langsung berdampak pada perilaku santri , seperti tasawuf sebagai mata pelajaran yang mengarahkan santri untuk bereaksi dalam situasi tertentu atau belajar bagaimana berperilaku di depan umum. Misalkan saja bullying terus terjadi dalam berbagai situasi. Dalam hal ini, perlu dipertanyakan efektivitas pembelajaran tentang satu mata pelajaran tasawuf karena meskipun tidak pernah pudar, efek atau keberadaannya mungkin akan dipertanyakan lebih lanjut mengingat perubahan perilaku santri baru-baru ini , termasuk kasus bullying tertentu. 

  

Ajaran Tasawuf di Pesantren dan Matinya Nilai

  

Pada konteks pesantren, praktik ini tampak ironis, mengingat pesantren seharusnya menjadi tempat yang kondusif di mana orang-orang di dalamnya, baik santri maupun ustaz, diajarkan tidak hanya untuk berpikir kritis tetapi juga untuk memperkaya kehidupan spiritual mereka dan berperilaku dengan tepat. Tujuan utama ini diinternalisasikan dalam kurikulum, aturan, kegiatan sehari hari, dan suasana keseluruhan pesantren. Salah satu subjek studi yang terkait langsung dengan hal ini adalah tasawuf. Tasawuf, yang terkadang dengan mudah disebut akhlaq (tuntunan untuk berperilaku yang tepat). Jika yang pertama berfokus pada perawatan spiritual batin, maka yang kedua adalah hasilnya, sehingga baik sikap batin maupun sikap lahiriah menjadi selaras. Tasawuf terutama berfokus pada penyempurnaan spiritualitas seseorang, pengelolaan krisis psikologis, mengatasi godaan eksternal, memaafkan orang lain, dan berperilaku baik terhadap mereka, sementara akhlak menekankan pada mengubah bimbingan teoritis menjadi aplikasi praktis. 

  

Tasawuf diajarkan di semua jenis pesantren dengan menggunakan kitab-kitab tasawuf yang ditulis dalam bahasa Arab. Buku-buku pelajaran tersebut tidak jauh berbeda satu sama lain, yang menyiratkan bahwa semua jenis pesantren memiliki preferensi yang sama terhadap kitab-kitab yang mereka gunakan sebagai instrumen pengajaran. Selain asumsi bahwa pesantren-pesantren ini menganut ideologi dan afiliasi yang sama, hal ini juga menunjukkan bahwa dalam konteks ini, para santri tetap dibiasakan dengan bahasa Arab sambil mempelajari berbagai mata kuliah. Selain mempelajari tasawuf, mereka juga mempelajari kosakata, struktur, dan budaya Arab. 

  

Selain itu, dalam konteks kelas nonformal di pesantren, ketika pengajaran tasawuf berlangsung, kata “tasawuf” jarang disebutkan; sebaliknya, nama-nama kitab digunakan, sebagaimana telah ditunjukkan oleh pengamatan. Di sisi lain, santri mungkin tidak sepenuhnya menyadari bahwa apa yang mereka pelajari adalah tasawuf. Ini tidak berarti bahwa mereka tidak memahami apa yang mereka pelajari. Mereka tidak terbiasa menyebutkan—dan berpikir—bahwa apa yang mereka pelajari adalah tasawuf. Selain itu, di pesantren formal, baik yang modern maupun semi modern , tidak ditemukan mata pelajaran tasawuf. Apa yang paling mendekati adalah akhlak atau aKidah akhlak, yang tidak secara eksplisit menyebutkan nama tasawuf. Hal ini menyiratkan bahwa tasawuf lebih banyak terkandung dalam semangat kurikulum pesantren secara keseluruhan daripada pengucapan harfiahnya dalam nama-nama. Namun, tampaknya tidak ada penyebab atau faktor lain di luar prevalensi praktik bullying di pesantren. 

  

Fakta di atas terjadi karena beberapa faktor: pertama, ajaran tasawuf kurang dikontekstualisasikan dengan fenomena sosial yang lebih luas. Hal ini dibuktikan ketika membahas pokok bahasan materiil, jarang ditemukan penjelasan yang mendekati fenomena terkini, termasuk praktik bullying. Bahkan, beberapa pembahasan tentang pokok bahasan tersebut relevan dengan tema, mulai dari pentingnya berperilaku baik dan menghindari bullying hingga nilai-nilai seperti kerendahan hati, keteguhan hati, pemaaf, kesederhanaan, asumsi yang masuk akal (husnudzan), kesabaran, dapat dipercaya, kejujuran, kerelaan hati, dan optimisme. 

  

Kedua, di kelas nonformal yang mengajarkan mata kuliah tasawuf , kesempatan bagi santri untuk bertanya sangat kecil—bahkan bisa dibilang tidak ada. Santri bih banyak mendengarkan apa yang disampaikan ustaz. Praktik bullying merupakan topik yang hangat di kalangan santri dan ustaz, namun mereka jarang berdiskusi maupun membicarakannya di dalam kelas. Selain itu, ketika pelajaran dimulai, seorang ustaz akan condong mengutamakan penyelesaian materi, sehingga peluang untuk membahas masalah tersebut apalagi mengaitkannya dengan fenomena terkini. 

  

Ketiga, ajaran tasawuf di pesantren cenderung menempatkan ustaz pada posisi yang lebih tinggi. Artinya, ajaran tersebut berpusat pada teks, yang menyasar siswa dan bukan ustaz. Misalnya, secara umum diyakini bahwa siswa nakal akan menghadapi konsekuensi berat atas perilakunya buruknya.  Dikatakan bahwa pengetahuan yang mereka peroleh tidak akan berguna secara praktis jika mereka melakukan perundungan terhadap sesama siswa, apalagi terhadap ustaz mereka.

  

Keempat, ustaz yang memberikan pelajaran atau kitab tasawuf kebanyakan adalah mereka yang bertugas sebagai pengasuh, dan tinggal bersama para santri di pesantren. Hal ini menempatkan mereka pada posisi yang tinggi, namun tidak penting karena apa yang disampaikan ketika pelajaran berlangsung  kemungkinan besar akan diabaikan atau diremehkan oleh para santri. Ketika para santri menilai bahwa perilaku mereka tidak sesuai dengan apa yang mereka sampaikan dalam pelajaran, para santri cenderung tidak memperhatikan baik pelajaran yang mereka ajarkan maupun diri mereka sebagai pribadi. Singkatnya, lunturnya nilai-nilai tasawuf yang sering berujung pada perundungan harus segera diatasi. Baik lembaga pendidikan formal maupun pesantren perlu melakukan transformasi kurikulum yang menyeimbangkan teori dan praktik tasawuf dalam kegiatan belajar mengajar. Teladan langsung yang ditunjukkan oleh para pengasuh atau ustaz sebagai panutan dapat menjadi unsur penentu dalam pembinaan nilai-nilai sufi santri.

  

Kesimpulan 

   

Bullying di pesantren Madura paling banyak terjadi di kalangan santri dan ustaz sebagai pelaku dan korban yang dapat dipertukarkan. Bullying terjadi dalam bentuk fisik dan verbal dengan ciri-cirinya sendiri, seperti mengejek ustaz secara diam-diam di kalangan santri, sedangkan ustaz melakukannya secara terbuka karena peran dan keistimewaan mereka yang beragam. Bullying dapat dilakukan atas inisiatif sendiri atau karena dendam, sehingga menjadi fenomena yang kompleks di dalam pesantren, yang seharusnya tidak hanya menanamkan nilai-nilai agama tetapi juga aturan etika, sikap sopan, dan perilaku yang baik. Anehnya, tren bullying terjadi relatif sama di antara orang-orang dari berbagai golongan. Temuan awal ini khususnya memerlukan pengamatan lebih lanjut, terutama untuk mengidentifikasi jenis pesantren yang paling efektif dalam mencegah perilaku bullying. Temuan penting lainnya tentang matinya nilai-nilai sufi di dalam pesantren, di luar tingginya jumlah praktik bullying, juga menyerukan penggunaan pendekatan dan metode lain, seperti pengamatan langsung tentang bagaimana pengajaran berlangsung dan seberapa kuat pengaruhnya terhadap perilaku santri atau ustaz.