(Sumber : www.nursyamcentre.com)

Jastifikasi Perilaku Menyimpang Di Antara Muslim

Riset Budaya

Tulisan berjudul “Predictors of Deviant Behavior Justification Among Muslims: Sociodemographic Factors, Subjective Well-Being, and Perceived Religiousness” merupakan karya Nur Amali Aminuddin dan Harris Shah Abd. Hamid. Artikel ini terbit di Islamic Guidance and Counseling Journal tahun 2021. Penelitian ini mengkaji lebih dalam terkait dengan faktor sosiodemografi, kesejahteraan subjektif dan persepsi religiusitas menjadi ‘alat’ untuk memprediksi perilaku menyimpang di kalangan muslim. Jika penelitian kebanyakan menggunakan populasi umat Kristen dengan pendekatan non-denominasi, maka penelitian ini menggunakan data dari World Value Wave 6 dalam mengkaji populasi muslim dan pembenaran atas perilaku menyimpang. Terdapat tiga sub bab dalam review ini. Pertama, sekilas tentang penelitian. Kedua, kontribusi penelitian. Ketiga, implikasi terhadap bimbingan konseling Islam. 

  

Sekilas Tentang Penelitian

  

Di dalam menuliskan hasil penelitiannya, Aminuddin dan Hamid menjelaskan beberapa hal yang mengarah pada pemahaman maksud penelitian secara keseluruhan. Pertama, penjelasan konsep dari perilaku menyimpang yang diambil dari beberapa tokoh. Misalnya, Erich Goode dalam bukunya berjudul “Deviant Behavior” menjelaskan bahwa perilaku menyimpang pada dasarnya bersifat subjektif. Artinya, didefinisikan dan dibangun oleh masyarakat sesuai dengan perilaku dan pandangan negatif, bisa juga dengan cara merendahkan. Oleh sebab itu, perilaku menyimpang sering kali disebut dengan masalah sosial.  Mcaghy et al dalam tulisannya yang berjudul “Deviant Behaviour: Crime Conflict, and Interest Groups” menambahkan bahwa perilaku menyimpang pada seseorang memiliki tingkatan yang berbeda, serta berdampak sangat luas. Bentuk dari penyimpangan bisa berbagai macam, seperti melakukan penipuan atau kebohongan, bahkan menyebarkan berita hoaks. 

  

Kedua, berbagai penelitian terdahulu yang menjelaskan berbagai penelitian terkait perilaku menyimpang yang pernah diteliti. Penelitian terkait kenakalan remaja oleh Hong Chui pada tahun 2020, diskriminasi terhadap kelompok tertentu oleh Aminuddin pada tahun 2019 dan 2020, perilaku melukai diri sendiri oleh Bakken pada tahun 2021, perilaku menyimpang berdasarkan populasi berdasarkan usia oleh Simons tahun 2009, dominasi agama oleh Nie tahun 2020 dan dominasi ras oleh Baker tahun 2020. 

  

Ketiga, peran agama dalam kehidupan manusia. Bagi umat Islam, agama ini mempengaruhi setiap aspek kehidupan, sebab nilai-nilai yang ada di dalamnya. Pandangan ini mempengaruhi berbagai hal dengan tujuan syariah yang secara teoretis berlaku untuk berbagai konteks, seperti keluarga. Selain itu, agama juga memiliki makna dalam hidup yang mempengaruhi perilaku, sebab memainkan peran moral sebagai mekanisme kontrol. 

  

Keempat, konsekuensi perilaku menyimpang menurut berbagai tokoh. Menurut Piff dalam tulisannya berjudul “Wealth and Wrongdoing: Social Class Differences in Ethical Reasoning and Behavior” menjelaskan bahwa perilaku menyimpang dapat memiliki konsekuensi penting baik bagi individu maupun masayrakat. Hal ini dikarenakan adanya implikasi secara moral, filosofis, finansial dan religius. Ia juga menambahkan bahwa seseorang yang memiliki perilaku menyimpang akan cenderung fokus pada kepentingan pribadi, melakukan apa pun demi melindungi dan memajukan statusnya. Dubois et al dalam artikelnya berjudul “Social Class, Power, and Selfishness: When and Why Upper and Lower Class Individuals Behave Unethically” menambahkan bahwa orang yang memiliki penyimpangan biasanya memikirkan secara matang apakah tindakan tersebut menguntungkan mereka atau tidak. Gino dan Pierce dalam tulisannya berjudul “The Abundance Effect: Unethical Behavior in The Presence Of Wealth” menjelaskan konsep yang diajukan adalah motivasi seseorang memiliki perilaku menyimpang adalah rasa iri dan serakah. Perilaku menyimpang akan memiliki konsekuensi buruk bagi pelaku dan masyarakat. Mereka yang memiliki perilaku menyimpang biasanya cenderung memiliki masalah hidup. 

  

Empat hal di atas kemudian memunculkan dua faktor yang akan ditindaklanjuti dalam penelitian, yakni kebahagiaan dan keberagamaan. Kebahagiaan adalah bagian dari kesejahteraan. Seseorang yang merasa bahagia akan memiliki kemungkinan kecil untuk melakukan perilaku menyimpang. Sedangkan, agama menjadi faktor penghambat perilaku menyimpang. Individu yang beragama menunjukkan tingkat pengendalian diri yang lebih baik. 

  

Lebih lanjut Aminuddin dan Hamid menjelaskan secara rinci terkait dengan metode penelitian yang dilakukan. Keduanya menggunakan data muslim dari World Values Wave 6 Survey dengan total 20.559 muslim dari berbagai negara. Beberapa negara tersebut di antaranya adalah Aljazair, Azerbaijan, Australia, Armenia, Brasil, Belarus, Cina, Kolombia, Siprus, Estonia, Georgina, Palestina, Jerman, Ghana, Hong Kong, India, Irak, Kazakhstan, Yordania, Korea Selatan, Kirgistan, Lebanon, Libya, Malaysia, Maroko, Belanda, Selandia Baru, Nigeria, Pakistan, Peru, Filipina, Rumania, Rusia, Rwanda, Singapura, Slovenia, Afrika Selatan, Spanyol, Swedia, Thailand, Trinidad dan Tobago, Tunisia, Turki, Ukraina, Amerika Serikat, Uzbekistan, Yaman, dan Zimbabwe. 


Baca Juga : Kepemimpinan Transformasional dan Pertahanan Negara

  

Kontribusi Penelitian

  

Penelitian tersebut menemukan tiga penemuan. Pertama, faktor sosiodemografi adalah prediktor yang signifikan secara statistik membenarkan perilaku menyimpang pada kalangan muslim. Faktor sosiodemografi ini adalah perbedaan jenis kelamin dalam perilaku menyimpang. Kedua, faktor kesejahteraan subjektif juga merupakan prediktor. Kesejahteraan subjektif yang dimaksud adalah etis kepemimpinan, manajemen etika, dan sikap. Ketiga, keberagamaan membentuk pandangan tentang Tuhan memiliki pengaruh penting dalam hidup, karena tidak hanya prediktor yang signifikan secara statistik. Gagasan kuat tentang Tuhan adalah prediktor yang signifikan dari pembenaran perilaku menyimpang, namun salat bukan sebuah prediktor. Penelitian Aminuddin dan Hamid jelas menunjukkan bahwa cara untuk menghindari perilaku menyimpang dapat dikaitkan dengan bagaimana hubungan seseorang dengan Tuhannya. Hal ini terkait dengan bagaimana peran agama sebagai mekanisme pengaturan individu.

  

Implikasi Terhadap Bimbingan dan Konseling Islam

  

Secara teologis, akidah Islam lebih menekankan pada prinsip ketuhanan. Ketakwaan adalah faktor pembeda derajat bagi seseorang di akhirat, bukan suku maupun keturunan. Internalisasi prinsip Islam dapat melemahkan efek sosiodemografi yang terkadang membenarkan perilaku menyimpang. Artinya, semakin prinsip Islam tersebut diinternalisasi, maka perbedaan dan ketakwaan terhadap Tuhan dan pentingnya dalam hidup akan lebih efektif menghindarkan dari kemungkinan perilaku menyimpang. 

  

Temuan penelitian tersebut khususnya tentang religiositas dalam domain pentingnya Tuhan dalam kehidupan dapat digunakan dalam berbagai praktik. Misalnya, jika dikaitkan dengan konseling, maka dapat dimulai dengan fokus pada keberadaan Tuhan dalam diri seseorang. Memastikan bahwa interaksi individu dengan agama menjadi faktor penting dalam hidup. 

  

Kesimpulan

  

Sebenarnya, selain menentukan dan menentukan prediktor, penelitian tersebut memberikan pemahaman baru terkait dengan hubungan pikiran dan perilaku muslim dalam membenarkan perilaku menyimpang ketika dua bentuk religiositas dipersepsikan yakni doa sebagai faktor ritualistik dengan kognitif yakni pola pikir akan keberadaan Tuhan dalam kehidupan. Selain itu, penelitian ini bisa menjadi sumbangsih yang berarti pada bidang psikologi agama, hanya saja masih terdapat beberapa kekurangan dalam penulisannya. Misalnya, penulisan definisi konsep terkait prediktor yang belum ada, rangkaian penulisan yang tidak runtut karena masih terdapat beberapa penegasan yang terkesan diulang-ulang, penggunaan teori yang belum tertera dengan jelas, serta penjelasan yang kurang terkait dengan masing-masing variabel dan penjelasan hasil penelitian yang masih singkat. Terlepas dari beberapa kekurangan di atas, penelitian ini memberikan ide baru bagi peneliti selanjutnya terkait paradigma keyakinan dan perilaku antar individu. Misalnya, apakah agama itu diinternalisasikan dan dieksternalisasi, atau dieksternalisasi tapi tidak diinternalisasi, atau diinternalisasi tetapi tidak dieksternalisasi oleh umat Islam di dunia kontemporer?