(Sumber : Jabar iNews )

Kajian Ibadah Kepercayaan Djawa Soenda

Riset Budaya

Artikel berjudul “The Interaction of Islam and Local Beliefs: A Study of Djawa Soenda’s Model of Religious Worship in the Review of Islamic Education” merupakan karya Abdul Khobir, Nur Khasanah, Nanang Hasan Susanto, Mustaqim Pabbajah, dan Hendri Hermawan Adinugraha. Tulisan ini terbit di Millah: Journal of Religious Studies tahun 2025. Penelitian tersebut bertujuan untuk menganalisis model peribadatan Agama Djawa Soenda (ADS) dari perspektif pendidikan Islam. Fokusnya adalah bagaimana nilai-nilai spiritual dan moral dalam ADS dapat memberikan kontribusi terhadap pembentukan karakter dalam pendidikan Islam. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif, dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam dan observasi partisipatif terhadap penganut ADS serta studi dokumen. Data dianalisis secara deskriptif untuk mengeksplorasi persamaan dan perbedaan praktik peribadatan ADS dengan pendidikan Islam. Terdapat lima sub bab dalam resume ini. Pertama, pendahuluan. Kedua, sejarah berdirinya Agama Djawa Soenda. Ketiga, inti ajaran Agama Djawa Soenda. Keempat,  pendidikan dalam persepsi Agama Djawa Soenda (ADS). Kelima, eksplorasi praktik praktis model ibadah ADS dari perspektif pendidikan Islam. 

  

Pendahuluan 

  

Agama Djawa Soenda (ADS) merupakan salah satu kepercayaan lokal di Indonesia yang diwariskan secara turun-temurun oleh masyarakat adat Jawa Barat. ADS memiliki model peribadatan yang khas yang mencerminkan nilai-nilai spiritual, kosmologi, dan praktik ritual yang bersumber dari budaya Sunda. Meskipun ADS tidak sebesar agama-agama besar seperti Islam, Kristen, atau Hindu di Indonesia, namun keberadaannya memiliki arti penting bagi masyarakat yang masih menganutnya. ADS memadukan unsur-unsur agama dan budaya lokal, penuh dengan simbolisme, serta filosofi yang berakar pada harmoni alam dan keseimbangan hidup. 

  

Di sisi lain, pendidikan Islam di Indonesia, khususnya di wilayah Jawa Barat, telah berkembang pesat. Sistem pendidikan ini menekankan pada pembentukan moral, etika, dan pengetahuan agama yang sejalan dengan ajaran Islam. Namun, perlu lebih diperhatikan bagaimana Islam berinteraksi dengan kepercayaan lokal seperti ADS. Berbagai model interaksi sosial keagamaan antara penganut Islam dan ADS sering terjadi di lapangan, dialog, dan praktik bersama yang diinternalisasikan sehari-hari. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana ADS, sebagai sistem kepercayaan lokal, memengaruhi pendidikan agama Islam, dan sebaliknya. 

  

Sejarah Berdirinya Agama Djawa Soenda

  

Agama Djawa Soenda atau yang biasa dikenal dengan sebutan ADS memiliki akar yang kuat dalam sejarah kepercayaan masyarakat di daerah Cigugur, Kuningan, Jawa Barat. Agama ini didirikan oleh seorang tokoh bernama Madrais pada tahun 1848. Berdirinya ADS erat kaitannya dengan kondisi geografis dan sosial masyarakat Cigugur, sebuah desa yang terletak di kaki Gunung Ceremai. Sebagian besar masyarakat di daerah ini bekerja sebagai petani dengan tingkat pendidikan yang rendah, sehingga pemahaman keagamaan mereka pun relatif sederhana. 

  

Muhammad Ra\'is (Madrais), tokoh utama di balik berdirinya ADS, lahir dalam keluarga yang memiliki hubungan dengan Sultan Cirebon. Kakeknya, seorang guru agama Islam, membesarkannya di sebuah desa kecil di dekat Cirebon. Namun, ajaran Islam yang diajarkan Madrais yang diterimanya tidaklah mendalam, sehingga ia tertarik pada ajaran Ngelmu Sejati Cirebon, atau ilmu mistik dan spiritual alam. 

  


Baca Juga : Reuni 212: Fenomena Politik atau Keagamaan

Pada awal perkembangannya, ajaran yang dibawa Madrais berhasil menarik perhatian masyarakat Cigugur yang cenderung lebih terbuka terhadap spiritualitas lokal. Madrais memadukan ajaran “Ngelmu Sejati” dengan unsur tradisi “Sunda Wiwitan”, agama tradisional masyarakat Sunda. Hal ini mengakibatkan sinkretisme kepercayaan yang dikenal dengan Agama Djawa Soenda. Salah satu alasan utama keberhasilan ajaran ini adalah kemampuannya menjembatani berbagai kepercayaan lokal yang ada di masyarakat.

  

Agama Djawa Soenda mulai menyebar ke berbagai daerah di Jawa Barat, antara lain Indramayu, Majalengka, Ciamis, Tasikmalaya, dan Garut. Pada masa kejayaannya, penganut ADS diperkirakan mencapai lebih dari 100.000 orang. Namun, jumlah penganut yang tercatat secara resmi Jumlah penduduk Madrasah Ibtidaiyah dalam sensus hanya sekitar 25.000 jiwa. Seiring berjalannya waktu, ADS menghadapi perlawanan dari masyarakat Islam dan tekanan politik serta sosial dari pemerintah kolonial Belanda dan Jepang. Ajaran Madrais dilarang selama pendudukan Jepang, dan jumlah penganut ADS menurun drastis. Meskipun demikian, ajaran ADS tetap ada di kalangan masyarakat Cigugur, yang terus menjalankan tradisi mereka, termasuk upacara Seren Taun, ritual tahunan penting dalam kalender keagamaan Sunda.

  

Inti Ajaran Agama Djawa Soenda 

  

Terdapat beberapa inti ajaran ADS. Pertama, konsep Tuhan dan Manusia. Tuhan dalam ADS diyakini sebagai entitas tertinggi, di atas semua ciptaan. Tuhan dipahami sebagai sesuatu yang transenden dan imanen, dekat dengan manusia dan tidak terpisah dari kehidupan mereka. Penganut ADS percaya bahwa ada kesatuan antara Tuhan dan manusia, di mana manusia dipandang sebagai makhluk sempurna dari ciptaan Tuhan. Konsep kesatuan ini menggambarkan persatuan ideal antara Tuhan yang transenden dan Tuhan yang imanen dalam kehidupan manusia. ADS juga mengakui adanya dualitas dalam diri manusia, baik jasmani maupun rohani. Sisi jasmani meliputi aspek yang tampak dan eksternal, sedangkan sisi rohani merupakan hakikat batin yang menggerakkan manusia.

  

Kedua, ngaji badan (introspeksi diri). Membaca Al-Quran merupakan alat pengajaran inti untuk ADS yang berfokus pada introspeksi diri. Membaca Al-Quran merupakan kegiatan yang mengajak untuk introspeksi diri atas segala bentuk kerusakan dan kekurangan, serta memperbaiki perilaku dan tindakan yang telah dilakukan. Konsep ini mengajarkan bahwa manusia harus selalu merenung, memahami pengaruh lingkungan sekitar, dan menyelaraskan diri dengan sifat-sifat asli yang diberikan oleh Tuhan.

  

Ketiga, pikukuh tilu (Tiga Penguat) yakni suatu asas dasar dalam ADS yang terdiri dari tiga asas kehidupan yang harus dipatuhi oleh manusia agar dapat mencapai tujuan hidupnya. Prinsip ini mengacu pada tiga ketentuan yang harus dipatuhi dalam kehidupan sehari-hari: (a) Membaca Al-Qur\'an, Introspeksi diri, dan memahami tubuh sebagai sarana mencapai kesempurnaan; (b) Mikukuh Kana Tanah, Rasa hormat dan cinta tanah air beserta isinya, yang menunjukkan pentingnya kesadaran dan tanggung jawab bangsa terhadap alam; dan (c) Madep ka Ratu Raja: Konsep harmoni dan keseimbangan hidup, yang mengacu pada pengendalian diri melalui cipta, rasa, dan karsa manusia. 

  

Keempat, kematian dan kehidupan setelahnya. Pengikutnya  percaya  bahwa  kematian  adalah  kembalinya  manusia  ke  alam  baka. Kegelapan (Jagat Peteng), di mana nasib jiwa ditentukan oleh perilaku selama hidup di bumi. Prosesi pemakaman dalam ADS berbeda dengan prosesi pemakaman dalam agama lain. Pada ajaran ADS, jenazah dibungkus dengan kain hitam dan dikuburkan dengan berbagai simbol seperti arang dan beras, yang memiliki makna kosmis.

  

Kelima, kerjasama dan musyawarah. Nilai-nilai yang diajarkan dalam ADS menekankan pada kehidupan sosial yang harmonis, seperti kerja sama dan musyawarah. Prinsip ini diajarkan untuk menjaga hubungan baik dengan sesama manusia. ADS percaya bahwa hidup harus dijalani dengan saling membantu dan mengambil keputusan melalui musyawarah, sebagai bentuk solidaritas dan kerukunan sosial.


Baca Juga : Agama Asli Indonesia: Aliran Kepercayaan dan Kebatinan

  

Keenam,  ajaran moral dan etika. ADS menekankan pentingnya moral dan etika dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai seperti hidup rukun dengan sesama dan introspeksi diri. Ajaran ini mengingatkan manusia akan pentingnya menjaga hubungan baik dengan sesama dan selalu memperhatikan tindakan, sehingga mengikuti petunjuk agama dan leluhur. 

  

Pendidikan dalam Persepsi Agama Djawa Soenda (ADS)

  

ADS beranggapan bahwa pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan sebab berguna untuk meneruskan nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh para leluhurdengan menitikberatkan pada aspek kualitas daripada kuantitas. Sebab, tantangan menganut agama minoritas, seperti ADS, tidaklah mudah. jika tidak memiliki keimanan yang kuat, masyarakat adat kerap berpindah agama untuk menghindari diskriminasi yang senantiasa mereka alami. Jika mereka masih kuat dalam dunia pendidikan, bukan berarti mereka tidak penting dalam dunia kerja. Para pekerja kerap dituntut untuk menganut agama tertentu, yang bersumber dari agama mainstream atau mayoritas. Pendidikan agama ADS dalam keluarga yang dijalankan oleh orang tua, menjadi kunci untuk melestarikan eksistensi ADS di dunia ini.

  

ADS berupaya semaksimal mungkin untuk melestarikan ajarannya bagi keturunannya dengan cara menyelenggarakan pendidikan yang bermutu bagi generasi muda. Militansi terhadap ADS terus dikawal dan dirawat karena merupakan pesan leluhur yang dipatuhi masyarakat secara turun temurun. Oleh karena itu, para leluhur kita senantiasa mengikuti hukum adat dan menaati hukum adat yang dikembangkan oleh tetua adat. Selain itu, kesetiaan terhadap ADS juga karena sesuai dengan kodrat masyarakat Sunda, di mana ADS terus berupaya menjaga nilai-nilai yang telah menjadi jati diri masyarakat Sunda sejak lama.

  

Eksplorasi Praktik Praktis Model Ibadah ADS dari Perspektif Pendidikan Islam

   

Secara substantif, ajaran ADS memiliki banyak kesamaan dengan ajaran Islam. Penganut ADS, seperti halnya umat Islam, beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjaga lingkungan, berbuat baik kepada orang tua, dan mengedepankan nilai-nilai kebangsaan yang diwujudkan dalam konsep “mikul kana tanah” (menghormati tanah air). Namun, dari sisi teknis peribadatan, ADS lebih banyak dipengaruhi oleh budaya Jawa setempat, sedangkan Islam memiliki tata cara peribadatan yang lebih baku dan bersumber dari adat Arab. Perbedaan teknis ini mencakup cara berdoa, agama, upacara, dan bentuk-bentuk ritual lainnya, yang sangat dipengaruhi oleh latar belakang budaya. 

  

Adanya kemiripan ajaran ADS dengan pendidikan Islam, terutama dalam masalah ketuhanan, etika sosial, dan kelestarian lingkungan, menunjukkan adanya ruang untuk berdialog dan berintegrasi. Pendidikan Islam dapat mengadopsi sejumlah nilai lokal dari ADS tanpa harus bertentangan dengan ajaran Syariah. Misalnya, konsep Khalifah dalam Islam yang menekankan tanggung jawab manusia terhadap alam, dapat diperkuat dengan ajaran tanah mikukuh kana dari ADS yang menekankan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan. Selain itu, ajaran tentang adab dan etika sosial yang terkandung dalam ADS juga sejalan dengan pendidikan akhlak dalam Islam. Konsep “berdasarkan kerukunan antarbangsa” dalam ADS dapat diintegrasikan ke dalam kurikulum pendidikan Islam untuk memperkuat nilai-nilai persaudaraan dan kerukunan sosial. 

  

Tantangan utama dalam mengintegrasikan ajaran ADS ke dalam pendidikan Islam terletak pada perbedaan teknis peribadatan. Sebagai agama lokal, ADS sangat dipengaruhi oleh budaya Sunda yang memiliki tradisi ritual yang berbeda dengan Islam. Islam sebagai agama yang berasal dari Timur Tengah memiliki aturan peribadatan yang lebih baku dan normatif. . Oleh karena itu, integrasi nilai-nilai ADS dalam pendidikan Islam harus dilakukan secara hati-hati agar tidak mengaburkan batasan syariat. Misalnya, ritual adat yang melibatkan sesaji atau simbol-simbol adat dalam ADS tidak dapat diadopsi dalam pendidikan Islam karena dapat bertentangan dengan prinsip tauhid dalam Islam. Namun, nilai-nilai etika dan moral yang mendasari ritual tersebut tetap dapat dijadikan inspirasi untuk mengajarkan kepada anak-anak tentang pentingnya bersyukur dan berterima kasih kepada Tuhan. Integrasi ajaran ADS ke dalam pendidikan Islam juga membuka peluang untuk menciptakan pendidikan yang lebih inklusif dan responsif terhadap keberagaman budaya di Indonesia. 

  

Kesimpulan

  

Meskipun terdapat perbedaan teknis dalam peribadatan antara Agama Djawa Soenda (ADS) dan Islam, keduanya memiliki banyak nilai-nilai fundamental. ADS dan Islam menekankan keesaan Tuhan, penghormatan kepada orang tua, pelestarian lingkungan, dan nilai-nilai nasionalisme. Islam dan ADS sama-sama menekankan keesaan Tuhan, tetapi ajaran mereka sangat berbeda. Monoteisme Islam berakar pada kepercayaan Al-Qur\'an dan Syariah, sedangkan kepercayaan pada \"Gusti Sikang Sawiji-wiji\" dalam ADS mencerminkan tradisi budaya lokal. Perbedaan ini mencerminkan keunikan masing-masing kepercayaan. Perbedaan teknis dalam tata cara peribadatan lebih dipengaruhi oleh budaya lokal dalam ADS, sementara Islam memiliki ritual yang lebih universal dan standar yang berakar pada syariah. Kesamaan ini memberikan peluang untuk dialog dan integrasi nilai-nilai moral dan spiritual dalam pendidikan.