(Sumber : Tribun News)

Kerumitan Pluralisme Hukum di Indonesia

Riset Budaya

Artikel berjudul “The Interplay of Fiqh, Adat and State Marriage Law: Shaping Legal Consciousness of Sasak Women” merupakan karya Jumarim, Ilyya Muhsin, dan Muhammad Chairul Huda. Tulisan ini terbit di Al-Ihkam: Jurnal Hukum dan Pranata Sosial tahun 2024. Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji keterkaitan yang rumit antara fikih, adat dan hukum perkawinan negara dalam memberikan kepastian hukum dan perlingdungan bagi perempuan Suku Sasak, serta menyelidiki wujud kesadaran hukum yang timbul dari kerangka hukum perkawinan jamak. Data didapatkan dari analisis dokumen, tinjauan literatur, dan wawancara mendalam dengan perempuan Sasak terpilih. Terdapat tiga sub bab dalam penelitian ini. Pertama, pendahuluan. Kedua, keterkaitan antara fikih, adat dan hukum perkawinan. Ketiga, kesadaran hukum perempuan Sasak dalam konteks pluralisme hukum perkawinan. 

  

Pendahuluan

  

Ada salah seorang perempuan Sasak yang diceraikan melalui telepon oleh suaminya, seorang pekerja imigran Arab Saudi. Ia dan putranya terpaksa harus kembali ke rumah orang tuanya. Tantangannya bukan hanya itu saja, ia dihadapkan dengan serangkaian kesulitan akibat pernikahan dan perceraiannya. Ia menikah siri di usia 18 tahun, sehingga keduanya tidak memiliki akta nikah untuk menjadi syarat mendapatkan kartu keluarga. Selain itu, anaknya belum memiliki akta kelahiran karena tidak memiliki kartu keluarga sebagai syarat. Apalagi statusnya saat ini, semakin tidak menentu. 

  

Berdasarkan hukum fikih dan hukum adat, ia tergolong sebagai janda, sedangkan berdasarkan hukum positif (hukum perkawinan negara) menganggapnya sebagai perempuan yang belum pernah menikah, sebab dianggap tidak sah tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA). Jadi, berdasarkan hukum positif, ia dianggap masih perawan. 

  

Pernikahan dan perceraian perempuan tersebut adalah pengalaman khas Suku Sasak di Pulau Lombok di mana perempuan muslim sering menikah di usia muda, bercerai dan menikah lagi. Sekitar 70% pernikahan dalam konteks ini hanya dilegalkan berdasarkan fikih dan adat tanpa dicatat secara resmi oleh pemerintah. Meskipun pernikahan ini memiliki arti hukum dalam komunitasnya, namun hal ini menghilangkan hak perempuan  yang diberikan oleh Undang-Undang (UU) perkawinan negara. Oleh sebab itu, hukum perkawinan negara yang dimaksudkan untuk melindungi hak-hak perempuan dalam perkawinan tidak dapat ditegakkan karena ketentuan fikih dan adat. 

  

Pluralisme hukum muncul ketika beragam kerangka hukum berinteraksi dan berfungsi dalam suatu wilayah, komunitas, etnis atau bangsa tertentu. Di Indonesia, pluralisme hukum meliputi hukum negara, hukum agama dan hukum adat. Meskipun UU negara baru-baru ini muncul, sifat formal dari UU tersebut telah mengurangi keunggulan praktik hukum agama dan adat, sehingga menjadikan praktik hukum tersebut berstatus informal. Pluralisme hukum terutama terwujud dalam ranah hukum keluarga, khususnya yang berkaitan dengan perkawinan. Adat ditegakkan selama tidak bertentangan fikih, dan fikih tetap ada apabila diperkuat hukum negara dan tidak bertentangan dengannya. Secara hukum, hukum perkawinan negara dianggap sebagai hukum formal/positif yang bersifat wajib dan mengikat bagi seluruh warga negara, sedangkan dua UU perkawinan lainnya yakni adat dan fikih dianggap informal. 

  

Keterkaitan Antara Fikih, Adat dan Hukum Perkawinan

  

Negara dengan pluralisme hukum di Indonesia adalah fenomena yang diakibatkan pengaruh kolonialisme. Belanda memperkenalkan sistem hukum mereka sambil menambahnya ke lapisan hukum adat dan agama yang sudah ada. Setelah memperoleh kemerdekaan, Indonesia mengadopsi sistem hukum kolonial sebagai sistem hukum dan keadilan nasional dan formal. Selanjutnya, hukum Islam dan hukum adat berkembang menjadi sistem hukum informal di luar negara, sedangkan hukum warisan Belanda sudah menjadi hukum formal yang dilaksanakan aparatur negara. 


Baca Juga : Eropa Semakin Tak Bertuhan

  

Meskipun hukum positif telah dianut negara, namun praktiknya masyarakat masih menggunakan fikih dan adat sebagai dua sistem peradilan dan legalitas di luar sistem negara. Perselisihan hukum yang berkaitan masalah perdata keluarga seperti warisan dan perkawinan biasanya diselesaikan oleh masyarakat melalui sistem informal tersebut. Pada konteks ini, hukum harus bersifat aspiratif dan demokratis. Oleh sebab itu, keberadaan tiga sistem hukum dalam masyarakat memberikan pilihan upaya hukum dan pada saat yang sama dapat menimbulkan kerancuan dan ambiguitas hukum. 

  

Yurisprudensi Islam (fikih), praktik adat, dan hukum perkawinan negara saling bersinggungan dan mempengaruhi dalam berbagai tahap. Baik hukum perkawinan negara maupun fikih menganut cara perkawinan yang sama yakni “khitbah.” Ketentuan fikih tersebut masuk ke dalam hukum perkawinan negara menunjukkan bahwa hukum negara membangun hubungan kerjasama dengan hukum Islam. Pada khitbah, keluarga kedua mempelai bertemu untuk membicarakan detail perkawinan. Tahap ini baik hukum perkawinan negara maupun fikih memberikan kepastian kepada perempuan adat dari sistem adat yaitu “merariq.” Namun, ketika calon mempelai wanita diburu dan dibawa ke rumah mempelai pria melalui merariq, ia tidak punya ruang bernegosiasi, sebab perundingan hanya dilakukan oleh anggota keluarga laki-laki. Pada keadaan seperti ini, perempuan menjadi korban karena harus tinggal di rumah keluarga calon mempelai pria yang belum menjadi miliknya. Masa perundingan  ini, diharapkan calon pengantin melakukan berbagai pekerjaan rumah dan dipandang sebagai masa orientasi untuk menentukan apakah pihak perempuan mampu mengurus rumah tangga. 

  

Interaksi yang dinamis antara ketiga norma mengenai perkawinan meluas hingga batasan usia calon minimal pasangan. Hukum positif dii Indonesia dalam menentukan kedewasaan diperoleh dari penafsiran a-contrario yang berangkat dari pengertian di Pasal 330 BW. UU perkawinan negara secara tegas menyatakan usia minimum calon pasangan adalah 19 tahun, dengan ketentuan tambahan jika di bawah 21 tahun persetujuan orang tua diperlukan. Penetapan batasan usia perkawinan dalam UU perkawinan adalah salah satu upaya untuk mencegah perkawinan anak yang masih banyak terjadi khususnya di Lombok. Di sisi lain, fikih memberikan batasan yang sangat umum, mencapai pubertas (akil baligh). Konsep ini ditentukan oleh kondisi fisik dan psikis yang ternyata memungkinkan terjadinya perkawinan anak. Sedangkan, hukum adat Sasak lebih rancu dalam menetapkan batasan usia, sebab tidak ada ketentuan khusus mengenai batasan usia minimal dalam merariq. Apabila padangan perempuan bersedia kawin lari, maka ia dianggap cukup dewasa untuk menikah. 

  

Perkawinan tanpa registrasi Kantor Urusan Agama (KUA) cukup sering terjadi di Lombok, dengan salah satu faktor pendorongnya adalah praktik merariq. Meski merariq melibatkan anak, masyarakat Sasak umunya tetap melangsungkan pernikahan secara fikih tanpa melalui registrasi KUA. Di sini ketiga hukum perkawinan saling berinteraksi guna menentukan keabsahan perkawinan masyarakat Sasak yang didominasi hukum fikih dan adat. Fikih dan adat mementingkan keabsahan, sedangkan hukum perkawinan negara menjunjung tinggi keabsahan dan legalitas di hadapan hukum negara. 

   

Kesadaran Hukum Perempuan Sasak dalam Konteks Pluralisme Hukum Perkawinan 

  

Pluralisme hukum di Lombok secara signifikan membentuk kesadaran hukum perempuan Sasak. Pluralitas sistem hukum ini menimbulkan gambaran dan pengaruh yang berbeda dalam masyarakat di mana sistem hukum berlaku. Mereka yang memiliki kesadaran hukum, melihat hukum sebagai sesuatu yang jauh dari kehidupan mereka, dan memiliki kekuasaan  yang signifikan. Sejak mereka memahami hukum fikih, budaya diam dan permisif terhadap kekerasan dalam rumah tangga dan hubungan perkawinan yang bermasalah dipilih. Narasi hukum fikih juga membuat mereka memandang hukum adat dan hukum perkawinan negara bukan sebagai solusi hukum untuk menyelesaikan permasalahan perkawinan mereka. Padahal, mereka menyadari adanya praktik seperti “nyerorot” dalam adat yang bisa mereka terapkan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Pada saat yang sama, mereka menyadari sepenuhnya bahwa perempuan dapat mengajukan gugatan cerai terhadap suaminya di pengadilan agama. Namun mereka mengabaikan kedua ketentuan hukum adat dan hukum perkawinan negara, sebab lebih mengutamakan fikih. 

  

Terdapat pula perempuan Sasak yang melakukan navigasi secara mandiri guna memilah UU Perkawinan yang ingin digunakan guna menegakkan hak mereka. Di sisi lain, beberapa perempuan membutuhkan dukungan dari aktor eksternal guna mencapai kesadaran hukum. Biasanya, mereka memiliki kesadaran hukum yang timbul dari pemahaman, pengetahuan, dan pengalamannya sendiri. Perempuan Sasak yang memahami dan merasakan fenomena hukum perkawinan sangat terbuka untuk menggunakan sistem hukum formal seperti pengadilan agama guna memperjuangkan haknya. Misalnya, pada ranah perceraian, seorang perempuan Sasak memandang ketentuan hukum perkawinan negara tentang perceraian sebagai solusi, namun jika menyangkut tempat tinggal pasca nikah dan harta pribadi, ia kembali berpegangan pada hukum adat. 

  

Kesadaran hukum perempuan Sasak dalam konteks pluralisme hukum dalam perkawinan bersifat plural dan kontekstual sangat dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman, pemahaman dan lingkungannya. Meskipun beragam, kesadaran hukum memainkan peran penting dalam membimbing perempuan Sasak dalam memilih norma hukum yang mereka patuhi. Oleh sebab itu, upaya pemberdayaan dan pengarusutamaan gender harus memperhatikan bentuk kesadaran hukum. UU tidak bisa dirumuskan hanya di atas kertas, melainkan juga harus mempertimbangkan kondisi sosial kelompok yang tunduk pada hukum. 

  

Kesimpulan

  

Keterkaitan yang rumit antara fikih, adat, dan hukum perkawinan negara secara signifikan membentuk lanskap hukum bagi perempuan Sasak di Lombok, sehingga mempengaruhi kepastian hukum dan kesadaran hukum mereka. Meskipun undang-undang perkawinan negara bertujuan untuk memberikan pedoman yang jelas, dampaknya ternyata terbatas karena tidak memadainya langkah-langkah penegakan hukum, sehingga norma-norma tradisional fikih dan adat masih memiliki pengaruh yang besar. Hanya ketika diintegrasikan dengan kerangka hukum lainnya, seperti undang-undang administratif (Undang-Undang Administrasi Kependudukan), hukum negara akan menjadi efektif. Pada konteks ini, kesadaran hukum perempuan Sasak terwujud secara beragam. Fikih sering dianggap sebagai hukum ketuhanan yang tidak dapat diubah, sementara hukum negara semakin meningkat, khususnya melalui prosedur hukum formal. Sebaliknya, penolakan hukum negara adalah tantangan terhadap keharmonisan sosial.