(Sumber : Blok Bojonegoro)

Kiai dan Pernikahan Siri

Riset Budaya

Artikel berjudul “When Religious Leaders Become Marriage Brokers, Penghulus, and Marriage Consultans: The Authority of Kiai in the Process of Unregisteres Marriage” merupakan karya Nanda Nabilah Islamiyah. Tulisan ini terbit di Al-Aḥwāl: Jurnal Hukum Keluarga Islam tahun 2024. Penelitian tersebut menarasikan bagian peran kiai  yang dimainkan dalam praktik perkawinan siri di Kecamatan Rembang, Kabupaten Pasuruan. Eksistensi kiai  awalnya dibangun berdasarkan atas kemapanan kiai  dalam membawa doktrin yang mengindikasikan kepatuhan terhadap terma agama dalam segala tindakan, termasuk perkawinan. Selain itu, artikel tersebut  juga mengkaji beberapa faktor yang membuat profesi kiai  dapat berlangsung secara kontinu pada tiga tahapan dalam praktik perkawinan siri, yakni tahap pra nikah, tahap perkawinan itu sendiri, dan tahap pasca perkawinan. Artikel tersebut juga tidak lepas dari pembahasan mengenai implikasi dari adanya interaksi antara kiai  dengan para klien melalui kesepakatan yang dilakukan. Data dalam tulisan ini dihasilkan dari proses wawancara dengan pihak yang terlibat secara langsung dalam praktik perkawinan siri. Terdapat enam sub bab dalam resume ini. Pertama, pendahuluan. Kedua, kiai dan kehidupan sosial keagamaan masyarakat rembang. Ketiga, kiai dan praktik nikah tidak tercatat di rembang. Keempat, kewenangan kiai dan pengaruhnya terhadap berlangsungnya pernikahan yang tidak tercatat. Kelima, implikasi profesi kiai terhadap keuntungan material dalam praktik nikah syariat. Keenam, implikasi kewenangan kiai dalam praktik nikah syariat terhadap ketertiban administrasi nikah. 

  

Pendahuluan

  

Berdasarkan pengakuan masyarakat Rembang, peran kiai dalam konteks perkawinan siri tidak dapat digantikan oleh pihak lain. Artinya, kiai memiliki peran yang kompleks mulai dari tahap pra-nikah, akad nikah hingga pasca nikah. Ketiga peran tersebut dapat dijalankan oleh kiai secara bersamaan. Peran tersebut juga berdampak signifikan terhadap kelancaran perkawinan para pelaku dan keuntungan materil yang diperoleh dari peran kiai. Selain itu, pernikahan di Rembang juga menunjukkan indikasi fungsi pencatatan perkawinan yang semata bersifat administratif. Argumen ini terlihat dari upaya masyarakat untuk menghindari proses administratif ketimbang mengutamakan haknya. 

  

Kiai dan Kehidupan Sosial Keagamaan Masyarakat Rembang

  

Masyarakat Rembang, khususnya yang berada di daerah pedesaan, dikenal sebagai masyarakat yang memiliki tingkat religiusitas yang tinggi. Pola hubungan yang dibangun oleh masyarakat dengan para pemeluk agama dimaknai sebagai upaya untuk memperdalam ilmu agama secara intens, sehingga pada prinsipnya agama tidak hanya dimaknai sebagai ajaran spiritual, tetapi juga dituntut sebagai perilaku keagamaan. Pada kehidupan masyarakat Rembang, tokoh agama atau kiai  berperan sebagai pembimbing agama, sering kali menjadi rujukan utama dalam menyikapi dinamika permasalahan yang terjadi di masyarakat. Pola komunikasi yang terbangun antara kiai  dengan masyarakat secara intens serta keunggulan ilmu di bidang agama merupakan bagian dari cara kiai  dalam menjaga kewibawaan hukum Islam di tengah masyarakat. Artinya, bentuk realisasi perilaku keagamaan yang sadar, juga tidak bisa dilepaskan dari kontribusi tokoh agama.

  

Masyarakat Rembang yang secara umum didominasi oleh golongan masyarakat Ahlusunnah wal Jamaah Nahdiyah juga memiliki rutinitas berkumpul dengan warga yang diisi dengan beberapa kegiatan sosial keagamaan seperti tahlil, istigasah dan pembacaan Surat Yasin yang dilaksanakan seminggu sekali secara bergiliran di rumah-rumah warga. Kegiatan ini diikuti oleh kaum lelaki di Desa Rembang. Biasanya pembacaan tahlil, istigasah dan yasinan dipimpin oleh seorang tokoh agama. Jika tokoh agama tersebut berhalangan hadir, maka akan digantikan oleh orang yang sholeh dan dianggap sholeh. 

  

Rutinitas masyarakat Rembang sudah ada sejak lama. Selain sebagai upaya membangun kerukunan antarumat beragama, kegiatan rutin kemasyarakatan juga diwujudkan sebagai bentuk konsistensi terhadap tradisi Nahdliyin. Selain itu, dalam menyalurkan pesan-pesan keagamaan dan memimpin kegiatan-kegiatan keagamaan bersama warga masyarakat, sudah barang tentu diperlukan sosok yang memiliki tingkat pengetahuan agama yang luhur, akhlak yang baik, dan berakhlak mulia untuk dijadikan panutan. Keberadaan kiai  di tengah kehidupan masyarakat Rembang tidak semata-mata dipilih secara teknis, baik secara formal maupun informal, tetapi dalam kepribadiannya terdapat unsur-unsur yang secara kharismatik dapat dinilai oleh masyarakat.

  

Kiai dan Praktik Nikah Tidak Tercatat di Rembang


Baca Juga : Pemilu Untuk Demokrasi Berkeadaban

  

Terkait dengan perkawinan siri, keterlibatan pihak ketiga yang turut campur dalam jalannya perkawinan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kelancaran jalannya perkawinan itu sendiri. Pada perkara perkawinan siri yang terjadi di Kabupaten Rembang, kiai  mempunyai andil yang paling besar dengan kewenangannya sebagai pelaksana perkawinan siri. 

  

Peran kiai  sebagai “makelar” perkawinan dapat dilihat dari datangnya para lelaki dari luar daerah Rembang yang bertujuan untuk mencarikan perempuan yang bersedia dinikahinya. Ketika memasuki Desa Rembang, seorang laki-laki yang sedang mencari jodoh biasanya akan menanyakan dan menyampaikan maksudnya kepada penduduk yang ditemuinya di sepanjang jalan menuju desa tersebut. Penduduk yang ditemuinya tersebut akan memberitahukan kepada kiai  atau tokoh agama untuk diberikan rekomendasi bagi perempuan yang bersedia dinikahi (siri). Sebagian besar wanita yang bersedia dijadikan istri siri adalah wanita yang bersedia dijadikan simpanan. Proses ta\'aruf (perkenalan) berlangsung dalam waktu singkat, ketika kedua belah pihak, baik wanita maupun pria, merasa cocok dan bersedia untuk dinikahi, maka pada hari itu juga pernikahan dapat dilaksanakan.

  

Berdasarkan peran kiai  sebagai makelar perkawinan, praktik perkawinan siri di Rembang dapat digolongkan menjadi dua, yaitu perkawinan siri melalui perantara atau perjodohan kiai  atau makelar, dan perkawinan siri tanpa perantara kiai . Perkawinan siri yang dilaksanakan berdasarkan tata cara perjodohan kiai  biasanya dikenakan biaya yang terdiri dari biaya jasa warga yang mempertemukan laki-laki dengan kiai, biaya akad nikah yang disaksikan kiai , biaya saksi dan masawin (mas kawin) yang diberikan kepada calon pengantin perempuan. Besarnya masawin biasanya disepakati oleh pihak perempuan dan laki-laki, sedangkan biaya akad nikah ditentukan berdasarkan kesepakatan dengan kiai . Jenis perkawinan siri yang kedua biasanya terjadi ketika pihak laki-laki dan pihak perempuan sudah saling kenal. Meskipun pernikahan semacam ini dilakukaukan dihadapan kiai, ia hanya bertindak sebagai kepala perkawinan. 

  

Berdasarkan budaya nikah siri di Pasuruan, campur tangan kiai  atau tokoh agama untuk memfasilitasi prosesi nikah siri mempunyai pengaruh yang besar. Pada prosesi nikah siri , kiai  mempunyai beberapa peran, di antaranya adalah peran perantara perkawinan, penghulu, wali muhakam, dan konsultan perkawinan. Akan tetapi, kewenangan yang melekat pada diri kiai  untuk menentukan keabsahan akad perkawinan adalah ketika ia bertindak sebagai penghulu. Peran ini digunakan baik ketika perkawinan antara kedua mempelai dipertemukan melalui perjodohan kiai  maupun tidak. Alasannya digunakan untuk melanggengkan proses perkawinan siri adalah untuk menghindari pergaulan bebas dan mencegah perzinaan.

  

Selain itu, kiai juga dapat bertugas menjadi Wali Muhakam yang pada praktik nikah siri terjadi ketika orang tua (nasab wali) tidak menyetujui perkawinan yang dilakukan anak perempuannya. Penolakan tersebut sebagian besar dipengaruhi oleh kondisi ekonomi pihak laki-laki yang tidak sesuai dengan harapan orang tua pihak perempuan. Meskipun terkadang kehidupan masyarakat Rembang pada umumnya juga tidak berstandar cukup tinggi, namun akibat dari tuntutan tersebut menjadi penyebab terhambatnya pelaksanaan perkawinan yang diharapkan. Oleh karena itu, pasangan dari pihak laki-laki dan perempuan yang hendak menikah memilih alternatif perkawinan siri dengan melakukan wali muhakam (membeli wali).

  

Kiai juga berperan sebagai penasihat perkawinan yang merupakan peran lanjutan yang dijalankan ketika ia menjadi pengganti wali nasab atau ketika terjadi praktik wali muhakam. Apabila terjadi perkawinan siri, yang pada saat akad nikah walinya adalah kiai , maka kiai  bertanggung jawab untuk memastikan agar perkawinan tersebut terlaksana sesuai harapan. Oleh karena itu, ketika terjadi permasalahan dalam rumah tangga pasangan tersebut, biasanya mereka tidak akan sungkan untuk meminta nasihat kepada kiai. Pada hal ini,  kiai  akan memberikan nasihat berupa nasehat untuk mendamaikan keduanya. Apabila keduanya sulit didamaikan, maka kiai  akan menawarkan kepada keduanya apakah mereka ingin bercerai. Apabila keduanya sepakat maka kiai  akan memutuskan perkawinan mereka.

  

Kewenangan Kiai dan Pengaruhnya Terhadap Berlangsungnya Pernikahan yang Tidak Tercatat 

  


Baca Juga : Struktur Fungsional Manajemen Masjid

Berdasarkan teori Weber, kewenangan yang dimiliki kiai  berjalan seiring dengan pengaruh yang dibawanya dalam membangun pola tindakan dan pola pikir masyarakat. Selain itu, berdasarkan klasifikasi kewenangan yang dikemukakan Weber, kewenangan yang dimiliki kiai  dalam praktik nikah siri di Kabupaten Rembang adalah kewenangan yang diberikan kepada seorang kiai  yakni kewenangan adat, karismatik dan legal rasional. Sekurang-kurangnya kekuasaan yang dimiliki kiai  itu sesuai dengan jenis kewenangan adat dan kharismatik. Hal ini karena kekuasaan kiai  dapat dimiliki tanpa melalui proses pemilihan formal sebagaimana yang ditetapkan oleh undang-undang dalam kewenangan legal rasional. 

  

Kaitannya dengan praktik nikah siri di Desa Rembang, kewibawaan kiai  tampak dalam penerimaan praktik nikah siri oleh masyarakat yang bersumber dari kebiasaan lama di mana kiai  senantiasa menjadi tokoh utama dalam memimpin pelaksanaan perkawinan tersebut. Bentuk otoritas tradisional kiai dalam pandangan Weber mengenai praktik pernikahan siri ditunjukkan dari sikap kesetiaan dan kepatuhan masyarakat untuk bekerja sama dan mendampingi serta mendorong kelancaran proses pernikahan dengan kiai. Bentuk kerja sama di sini dapat dilihat dalam beberapa momen termasuk dalam proses wali muhakam di mana ada kontribusi masyarakat untuk menyaksikan pernikahan sehingga akad nikah menjadi sah menurut ketentuan syariah.

  

Implikasi Profesi Kiai Terhadap Keuntungan Material dalam Praktik Nikah Syariat 

  

Profesi kiai  sebagai “makelar” perkawinan di Rembang selain berfungsi sebagai upaya mendukung terwujudnya perkawinan siri juga sering disebut sebagai pekerjaan sampingan kiai . Pada tahap pranikah, dapat diketahui ketika pihak laki-laki bermaksud mendatangi kiai  untuk mencari calon istri. Pada tahap ini, kiai  memiliki kewenangan sebagai “calo” yang  berhak menentukan besarnya honor berdasarkan kesepakatan dengan pihak laki-laki. Profesi “calo” perkawinan di sini baru dapat berfungsi apabila pihak laki-laki yang mendatangi kiai  tidak mengenal calon istri yang dikawininya. Jadi, sudah sepantasnya seorang “calo”-kiai  segera mencarikan calon istri yang bersedia dikawininya. Keuntungan materiil yang diperoleh kiai  ketika menjadi calo perkawinan berbeda dengan upah yang diberikan sebagai penghulu atau wali muhakam, karena kewenangan yang dijalankan kiai  pun tampak dibedakan berdasarkan jenis peran yang dimainkannya. Jika dihitung berdasarkan upah minimum yang diberikan oleh para pelaku nikah siri yang menggunakan jasa kiai  mulai dari tahap pranikah, akad nikah, pembelian wali, hingga tahap jasa konsultasi nikah dengan standar upah minimum Rp. 100.000, biasanya dalam satu kali praktik nikah siri dapat memperoleh upah materil sebesar Rp. 400.000. Hal ini diperoleh karena kewibawaan kiai  dalam menyampaikan doktrin tentang asas kebolehan nikah siri berdasarkan indikasi syarat agama, dapat berfungsi sebagai peluang untuk memperoleh kemaslahatan materil. 

  

Implikasi Kewenangan Kiai dalam Praktik Nikah Syariat Terhadap Ketertiban Administrasi Nikah

  

Keberagaman sistem hukum yang hidup berdampingan niscaya akan melahirkan kewibawaan bagi masing-masing penguasanya. Para penguasa tersebut kemudian akan saling bersaing untuk menunjukkan eksistensinya di tengah masyarakat. Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwa dominasi sistem hukum negara menjadikan sistem hukum lainnya, seperti hukum adat dan hukum agama, menjadi sangat terbatas, dalam arti bahwa keabsahan suatu perbuatan hukum baru diakui apabila telah memenuhi prosedur hukum sebagaimana yang ditetapkan dalam undang-undang. 

  

Pada penyelenggaraan perkawinan, negara secara khusus telah memberikan keabsahannya dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 yang secara substantif mengatur mengenai tata cara pelaksanaan pencatatan nikah, talak dan rujuk. Sementara itu, dari segi materiil, persoalan seputar pencatatan diatur secara menyeluruh dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Guna menyatakan sah tidaknya suatu peristiwa pencatatan, sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia (PMA) Nomor 11 Tahun 2007, yang memuat tentang keseragaman ketentuan pencatatan yang diamanatkan kepada pencatat perkawinan atau penghulu negara, yang meliputi tugas memeriksa syarat-syarat, mengawasi dan mencatat peristiwa perkawinan/pengalihan, mendaftarkan talak, dan melakukan pembinaan perkawinan.

  

Keterlibatan kiai  dalam praktik nikah siri di Rembang, tampaknya telah membuktikan adanya kesengajaan pelaku untuk menghindari prosedur pencatatan perkawinan, padahal fungsi administrasi kependudukan itu sendiri berimplikasi pada perlindungan hak-hak keperdataan para pihak. Persoalan yang berkaitan dengan ketertiban pencatatan tidak banyak disampaikan oleh kiai  mengingat keterbatasan kemampuan kiai  dalam memfasilitasi para pelaku perkawinan yang tidak tercatat. Selain itu, karena kewenangan menentukan sah tidaknya perkawinan menurut negara bukan kewenangan kiai , maka pembuatan surat keterangan nikah bagi pelaku nikah siri juga hanya dilakukan sebagai upaya melindungi para pihak dari stigma negatif masyarakat.

  

Kesimpulan

  

Berdasarkan penelitian tersebut dapat diketahui bahwa kerjasama yang dilakukan oleh para pihak yang terlibat dalam praktik nikah diri sudah sangat matang. Kiai sebagai agen yang memfasilitasi sekaligus memimpin nikah siri secara terus menerus melibatkan empat peran sekaligus yang terangkum dalam tiga tahapan nikah siri. Keterlibatan kiai  dalam memimpin prosesi nikah siri dipilih oleh masyarakat karena kapasitas kiai  yang unggul dalam bidang keagamaan. Keunggulan ini diakui oleh masyarakat berdasarkan pengetahuan kiai  tentang Hukum Islam dan kemampuan menyampaikan ceramah agama kepada masyarakat. Dengan demikian, masyarakat akan bersimpati untuk terus menjalin pola hubungan dengan kiai  dengan melibatkan diri dalam praktik nikah siri .