Landasan Spiritual Demi Kesadaran Multikultural
Riset BudayaArtikel berjudul “Spiritual Base of Pesantren for Building Multicultural Awareness in Indonesia Context” merupakan karya Saepudin Mashuri, Sauqi Futaqi dan Ahmad Sulhan. Tulisan ini terbit di Jurnal Ilmiah Islam Futura Tahun 2024. Penelitian tersebut mengkaji landasan spiritual pesantren yang penting dalam membangun kesadaran multikultural. Di Indonesia, pesantren adalah lembaga pendidikan agama Islam yang menekankan pentingnya spiritualitas. Pesantren juga erat kaitannya dengan berbagai aspek sosial dan keagamaan. Tujuan dari penelitian tersebut adalah menemukan landasan spiritual dan pemanfaatannya dalam membangun kesadaran multikultural. Jenis penelitian tersebut adalah kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Data didapatkan melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi. Terdapat lima sub bab dalam resume ini. Pertama, pendahuluan. Kedua, modal spiritual. Ketiga, pandangan kiai terhadap spiritual dan multikultural. Keempat, nilai-nilai spiritualitas pesantren. Kelima, spiritualitas-multikultural membentuk kesadaran multikultural.
Pendahuluan
Pesantren merupakan lembaga pendidikan agama Islam yang tentu menekankan unsur spiritualitas. Spiritualitas Islam yang dimaksud sebagian besar berasal dari tradisi tasawuf. Saat ini, tradisi tasawuf juga sudah mulai dikembangkan dalam beberapa kajian psikologi seperti konseling dan terapi mental. Selain itu, pesantren juga sering kali “berbicara” mengenai permasalahan multikultural. Hal ini tidak lepas dari keberagaman santri, sehingga menjadi modal pesantren dalam membangun kesadaran multikultural. Kesadaran multikultural para santri menjadi salah satu sumber penting dalam membangun perdamaian, semangat nasionalisme, dan menghindari radikalisme agama. Kesadaran multikultural adalah bagian dari spiritualitas karena di dalamnya terdapat nilai-nilai spiritualitas. Misalnya, sikap pasrah kepada Tuhan, sikap rendah hati, dan sikap rela berkorban.
Modal Spiritual
Modal spiritual sering kali muncul pada beberapa literatur kepemimpinan dan manajemen, ekonomi, sosiologi dan teologi. Menurut Berger dan Redding dalam tulisannya berjudul “The Hidden Form of Capital: Spiritual Influences in Societal Progress” (2010) menjelaskan bahwa modal spiritual adalah bentuk yang melibatkan iman, transedensi, rasa memiliki dan lain sebagainya. Lebih lanjut, mereka menganggap modal spiritual sebagai kekuatan, pengaruh, pengetahuan, dan disposisi yang diciptakan oleh partisipasi dalam tradisi keagamaan tertentu.
Hakikat spiritualitas dalam Islam adalah realisasi kesatuan seperti yang diturunkan dalam al-Qur’an berdasarkan model kenabian. Multikulturalisme adalah spiritualitas. Seseorang yang menghargai keberagaman yang melekat pada orang lain dapat melihat sumber yang satu sebagai wujud sikap tauhid seseorang. Unitif ini adalah ikatan yang disebut “Satu Tuhan” dengan keyakinan Tuhan yang Esa. Hal ini memungkinkan manusia mengatasi perbedaan keyakinan dan dogma. Visi inklusif ini menjadikan seseorang yang memiliki kedalaman spiritual dapat menoleransi “keberbedaan” orang lain. Jadi, memiliki spiritualitas yang substansial adalah modal kompatibel dengan menghormati keberagaman.
Tuhan adalah sumber utama keanekaragaman manusia dan tujuan akhir dari segalanya. Spiritualitas atau mistisisme mengakui Tuhan sebagai konektivitas yang menyatukan dan mengikat seluruh ciptaan dengan diri-Nya tanpa memandang perbedaan dan keberagaman. Sikap multikultural dalam berhubungan dengan orang lain, khususnya agama, bersifat spiritual karena menghargai perbedaan. Manusia mengakui kebijaksanaan Tuhan yang mensyaratkan agar perbedaan-perbedaan yang ada harus terlihat. Pluralitas atau keragaman ciptaan Tuhan dan hakikatnya kesatuan ciptaan dalam eksistensi Tuhan, seluruh tradisi agama mengakui adanya multikultural, misteri dan spiritualitas. Pemahaman ini secara holistik terkait dengan kesadaran akan kesatuan ilahi yang terwujud dalam keberagaman.
Pandangan Kiai Terhadap Spiritual dan Multikultural
Baca Juga : Media Komunikasi dengan Tuhan
Pesantren adalah lembaga pendidikan agama Islam yang dipimpin oleh kiai. Pandangan spiritual para kiai bersumber dari ajaran tasawuf yang mengutamakan moral. Batin seseorang menentukan tindakannya. Cara pandang kiai dalam melihat kualitas umat beragama tidak terletak pada lahiriyah atau penampilan, melainkan batin yang mendasari perilaku mereka. Tentu, perspektif ini sulit diukur dengan parameter fisik. Aspek batin yang “misterius” ini juga membuat seseorang tidak boleh terlalu cepat menilai seseorang dengan standar tertentu.
Spiritualitas harus mampu menembus batas-batas budaya dan agama. Semua memiliki kedudukan yang sama di hadapan Tuhan. Oleh sebab itu, orang yang beragama wajib memiliki perasaan saling menghormati sesama manusia. Spiritualitas di pesantren dimulai dengan disiplin ibadah. Selain itu, ikatan batin antara kiai dengan santri juga membentuk spiritualitas lebih kuat.
Nilai-Nilai Spiritualitas Pesantren
Pendidikan multikultural selalu membahas mengenai nilai-nilai luhur yang melahirkan sikap multikultural. Berdasarkan realitas yang ada, pesantren condong inklusif cenderung inklusif karena mengedepankan nilai spiritualitas yang bersifat luas dan diambil dari tradisi tasawuf. Nilai-nilai spiritual tersebut meliputi berserah diri, ikhlas, rendah hati, pengabdian, dan rela berkorban. Selain itu, terdapat empat nilai dasar yakni i’tidal, tawazun, tawasuth, dan tasamuh. Keempatnya adalah interpretasi Pesantren yang disarikan dari berbagai sumber keilmuan baik klasik maupun modern. Nilai-nilai pribadi secara khusus berkaitan dengan pembentukan kepribadian yakni tauhid, keadilan, amanah, jujur, khidmah, zuhud dan tawakal.
Spiritualitas-Multikultural Membentuk Kesadaran Multikultural
Interaksi spiritual-multikultural pada pesantren membawa implikasi bagi kesadaran multikultural para santri. Pola pendidikan dengan penekanan dimensi spiritual tidak muncul secara tiba-tiba, namun melalui keteladanan dan pembiasaan yang ditanamkan secara terus menerus. Interaksi spiritual-multikultural dapat berkontribusi membantu seseorang menjadi lebih baik dan kompeten secara multikultural. Multikulturalisme di pesantren terutama dibangun atas kekuatan spiritual kiai. Pada pandangan kiai, jika seorang rajin beribadah dan berpegang teguh pada prinsip agamanya, namun sering mengolok-olok kelompok yang berbeda, maka ibadahnya tidak dibangun berdasarkan spiritualitas.
Kebiasaan yang berakar pada tradisi sufistik memperkuat adanya argumen bahwa nilai-nilai spiritual adalah nilai-nilai multikultural. Nilai spiritual berdasarkan penalaran sufistik digunakan pesantren dengan menonjolkan beberapa hal. Pertama, menjadikan Tuhan sebagai pusatnya. Kedua, penalaran sufistik memperhatikan aspek keikhlasan. Ketiga, dibangun di atas model keagamaan yang berbasis afektif dan akal dengan semangat perbaikan moral dan budi pekerti yang luhur. Keempat, penalaran sufistik dikonstruksi melalui agama yang inklusif dan toleran. Nilai spiritual inilah yang menjadi landasan utama lahirnya nilai-nilai multikultural. Artinya, spiritualitas dan multikulturalisme tidak dapat dipisahkan dan sudah terintegrasi karena mengandung kesadaran tinggi akan keberadaan makhluk Tuhan.
Kesimpulan
Pesantren menjadi modal spiritual-multikultural yang sebagian besar berasal dari ajaran dan nilai-nilai tasawuf yang menjadi landasan utama terbentuknya kesadaran multikultural di pesantren. Pesantren adalah model pendidikan agama Islam yang terbuka untuk umum. Keterbukaan ini berasal dari spiritual pesantren yang berinteraksi dengan multikulturalisme. Spiritualitas tidak akan bertentangan dengan multikulturalisme. Spiritualitas menjadikan seseorang lebih memahami tentang kemanusiaan yang sebagian tidak terpisahkan dengan aspek keilahian. Spiritualitas dapat menembus batas teologis ketika berhadapan dengan perbedaan agama. Pada pondok pesantren nilai multikultural adalah nilai spiritual.