(Sumber : Detik.com)

Mempromosikan Islam Melalui Pariwisata

Riset Budaya

Artikel berjudul “Religion and Tourism: Promoting Inclusive Islam in Lombok Island, Indonesia" merupakan karya Kadri. Tulisan ini terbit di Studia Islamika tahun 2022. Tujuan dari penelitian tersebut merupakan penguatan dan promosi Islam inklusif di pulau pariwisata Gili Trawangan, Lombok, Indonesia. Terdapat lima sub bab dalam penelitian ini. Pertama, pendahuluan. Kedua, wisata dan kegiatan sosial keagamaan di Gili Trawangan. Ketiga, menjaga tradisi Islam, mencegah dampak pariwisata. Keempat, Islam inklusif dan pariwisata. Kelima, memelihara dan mempromosikan Islam inklusif di Gili Trawangan. 

  

Pendahuluan 

  

Adanya industri pariwisata di daerah tertentu memberikan berbagai dampak signifikan terhadap masyarakat sekitar. Salah satu dampak positifnya adalah korelasi yang kuat antara pengembangan pariwisata di wilayah tertentu dengan penurunan angka kemiskinan. Berdasarkan penelitian Fariatin dan Amri yang berjudul “Analisis Pengaruh Sektor Pariwisata dan PRDB (Non Migas-Non Pertanian) Terhadap Peningkatan PAD di Kabupaten Lombok Utara” menunjukkan bahwa sektor pariwisata memberikan kontribusi terhadap pendapatan asli daerah Kabupaten Lombok Utara. Pariwisata telah menjadi sumbangsih utama dengan memberikan 60% dari total pendapatan kabupaten yang baru terbentuk di provinsi ini. 

  

Terlepas dari kelebihannya, industri pariwisata juga memberikan dampak negatif terutama dalam hal keagamaan. Pariwisata sering kali dikaitkan dengan sebagai penyebab utama rendahnya kepatuhan beragama, perilaku hedonistik dan degradasi nilai-nilai agama. hal tersebut diakibatkan gaya hidup bebas wisatawan yang diadopsi oleh masyarakat lokal, sehingga mengakibatkan perubahan bagi budaya lokal. 

  

Efek ganda pariwisata terhadap komunitas muslim di Gili Trawangan telah menempatkan penganutnya dalam dilema. Mereka ingin mempromosikan pariwisata sebagai sumber utama pendapatan ekonomi, sambil menghadapi konsekuensi negatif dari pengaruhnya terhadap budaya lokal. Penduduk asli Gili Trawangan adalah pemeluk agama Islam. Hampir setiap hari mereka menyaksikan perilaku sekitar 2.600 wisatawan yang bertentangan dengan keyakinan agama mereka setiap harinya. 

  

Masyarakat Gili Trawangan memang tidak menyebut diri mereka sebagai kelompok Islam moderat, namun mereka mempromosikan ajaran Islam inklusif dalam kehidupan sehari-hari. Islam inklusif dimaknai sebagai nilai-nilai ajaran Islam yang memuat prinsip dalam Piagam Madinah yakni prinsip-prinsip umat, persaudaraan, persamaan, kebebasan, hubungan antar umat beragama, perlindungan terhadap kaum tertindas, kehidupan, perdamaian, pembelaan, musyawarah, keadilan, penegakan hukum, kepemimpinan, dan amar ma’ruf nahi munkar. Ketika mereka menerapkan ajaran Islam inklusif dalam kehidupan mereka, secara tidak langsung telah menunjukkan wajah Islam yang ramah dan toleran terhadap masyarakat internasional. Di sadari atau tidak, menjadi ramah dan toleran kepada semua orang merupakan bentuk komunikasi non verbal yang mencerminkan sikap dan kepribadian seseorang. Komunikasi interpersonal dalam konteks pariwisata merupakan salah satu cara mempromosikan “brand” suatu destinasi. Gaya komunikasi inklusif dan personal di wilayah tersebut dapat diartikan sebagai cara mempromosikan Islam yang ramah dan toleran kepada wisatawan internasional

  

Wisata dan Kegiatan Sosial Keagamaan di Gili Trawangan 

  

Penduduk lokal Gili Trawangan memanfaatkan pariwisata sebagai sumber pendapatan. Mereka memainkan beberapa peran dalam bisnis yang melayani kegiatan wisata, misalnya jasa transportasi, tempat penginapan, warung makan, cinderamata dan sebagainya. Pulau ini majemuk secara budaya, meskipun letak geografisnya berada di Provinsi Nusa Tenggara Barat, Indonesia. Keanekaragaman etnis masyarakat lokal juga terlihat dalam praktik budaya mereka. Hubungan harmonis antar masyarakat di Gili Trawangan tetap terjalin erat. Hal ini dibuktikan dengan adanya acara komunitas seperti kumpul keluarga dan gotong royong untuk menjaga lingkungan. 


Baca Juga : Mengenal Para Perawi dan Penghafal Al-Qur'an (Bagian Tiga)

  

Nilai toleransi dan keramahan juga terlihat dalam ritual keagamaan penduduk pulau. Nilai tersebut menjadi daya tarik karena menjamin pemeluk agama masing-masing agama untuk tidak saling “berbenturan”. Ritual keagamaan umat Islam dilakukan di masjid-masjid kecil yang dekat dengan kegiatan pariwisata. Mereka menjalankan ritual keagamaannya tanpa mengganggu aktivitas non-muslim sekitar masjid. Fakta ini menunjukkan bahwa masjid memiliki peran dominan dalam memobilisasi kegiatan Islam di Gili Trawangan. Tidak satu pun dari ritual keagamaan yang diselenggarakan oleh sekte tunggal atau organisasi tertentu, sepeti Nahdlatul Wathan (NW), Nahdlatul Ulama (NU), dan Muhammadiyah. Meskipun umat Islam mungkin secara pribadi berafiliasi dengan salah satu organisasi Islam ini, afiliasi mereka tidak disiarkan dalam acara sosial dan keagamaan apa pun. Sampai saat ini, kebersamaan dan saling menghormati antar umat Islam masih tetap terjaga dengan baik, dan tidak ada konflik kelompok yang terekam. 

  

Menjaga Tradisi Islam, Mencegah Dampak Pariwisata

  

Umat Islam di Gili Trawangan menghadapi dilemma terkait kehadiran pariwisata. Mereka memperoleh keuntungan ekonomi, di sisi lain berurusan dengan efek negatif wisata yang bertentangan dengan ajaran dan nilai-nilai Islam. Komunitas muslim di Gili Trawangan secara kolektif dan pribadi menjaga ajaran Islam dengan menghindari dampak buruk pariwisata. Hal ini dilakukan dengan tiga strategi. 

  

Pertama, pemberdayaan spiritual melalui dakwah dengan pengajian rutin. Selain itu, berfungsi untuk memperkuat keimanan umat Islam, pengajian rutin juga digunakan untuk mengajarkan Islam dan mempertahankan tradisinya di wilayah tersebut. Dakwah yang disiarkan tidak mengacu atau mempersoalkan keberadaan pariwisata dan aktivitas wisatawan, juga tidak memancing warga untuk mengutuk aktivitas wisata yang bertentangan dengan ajaran Islam. Dakwah mengacu pada pemberdayaan akidah dan ketakwaan internal, sekaligus memberikan arahan untuk selalu menjunjung tinggi prinsip Islam. 

  

Kedua adalah melibatkan pengajaran pengetahuan Islam kepada anak-anak. Anak merupakan tradisi penerus dan pewaris tradisi Islam dalam satu keluarga dan masyarakat. Anak-anak dapat dipengaruhi secara negatif oleh lingkungan sosialnya, sebab merupakan salah satu faktor penentu pembentukan karakter. Ada du acara yang dilakukan para orang tua untuk menanamkan ilmu Islam kepada anaknya yakni mengirimkan mereka ke Taman Pengajian al-Qur’an dan pondok pesantren. 

   

Ketiga berkaitan dengan penegakan hukum setempat. Peraturan daerah digunakan untuk mengatur perilaku di masyarakat. Umat Islam menerapkan aturan lokal yang lebih dikenal dengan “Awik-Awik”. Aturan tersebut melarang anak-anak dan pelajar melakukan kegiatan wisata yang bertentangan dengan ajaran Islam, seperti mengonsumsi alkohol, memasuki klub malam dan menghadiri pesta. 

  

Islam Inklusif dan Pariwisata     

  


Baca Juga : Maulid Nabi, Ruang dan Waktu untuk Berbenah Diri

Prinsip yang dihayati oleh muslim di Gili Trawangan menunjukkan penerimaan mereka terhadap pariwisata, tetapi juga menyediakan strategi antisipatif untuk mengatasi dampak negatifnya. Sinergi antara kegiatan keagamaan dan pariwisata tergambar dalam pengalaman keagamaan umat Islam setempat. Pertama, terkait toleransi dalam beribadah. Definisi toleransi dalam hal ini adalah sikap saling menghormati, saling menerima di tengah keragaman budaya, kebebasan berkespresi dan perbedaan karakter manusia. Alhasil, toleransi dalam beribadah pada hal ini mengacu pada ibadah yang dilakukan oleh masyarakat muslim dan tidak mengganggu aktivitas pariwisata. Praktik toleransi dalam beribadah dapat dimaknai sebagai bagian dari strategi yang lebih luas untuk menerapkan pariwisata Islam yang ramah di wilayah tersebut. Muslim lokal menerima perbedaan budaya guna menjamin kenyamanan wisatawan. 

  

Kedua, memasukkan even Islami ke dalam agenda pariwisata.  Komunitas muslim di Gili Trawangan mensinergikan Islam dengan pariwisata, sehingga secara implisit mengkomunikasikan bahwa Islam adalah agama damai dan toleransi. Salah satunya adalah dengan keterlibatan wisatawan dengan budaya Islami, seperti Mandi Safar yakni mandi bersama di laut pada hari Rabu di akhir Safar dalam kalender Islam. 

  

Ketiga, komunitas muslim terlibat dalam bisnis terkait pariwisata untuk mendukung masjid secara finansial. Bagi penduduk setempat, masjid tidak hanya sebagai tempat ibadah tapi juga bisnis. Masjid juga menjadi rumah bagi berbagai layanan seperti penyewaan sepeda dan peralatan snorkeling. Usaha tersebut berada di bawah naungan Baitul Mal yang didirikan oleh takmir setempat. 

  

Memelihara dan Mempromosikan Islam Inklusif di Gili Trawangan

  

Komunitas muslim di Gili Trawangan telah menjadikan pariwisata sebagai sumber pendapatan utama tanpa meninggalkan identitas keislaman mereka. Salah satu strategi mempertahankan kedua domain tersebut adalah promosi dan implementasi Islam inklusif untuk mendukung perdamaian dan persaudaraan yang dibutuhkan sektor pariwisata untuk berkembang. Islam inklusfif dianggap kompetibel dengan industry, sehingga harus terus dipraktikkan. Promosi Islam inklusif memenuhi kepentingan ekonomi muslim lokal yang terlibat dalam industri pariwisata. Hal ini mencerminkan preferensi bagi umat Islam untuk mempertahankan identitas agama serta didorong oleh motif ekstrinsik. Motif ini terlihat dari kecenderungan masyarakat untuk secara selektif mengadopsi ajaran agama untuk tujuan pragmatis. 

  

Praktik Islam inklusif di Gili Trawangan memberikan contoh bagaimana inklusivitas dan toleransi dapat dianut dalam beragama guna pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakat setempat. nilai-nilai Islam inklusif mencerminkan konsep pembangunan perdamaian melalui pendekatan ekonomi, mirip dengan konsep Newman dalam tulisannya berjudul “A Human Security Peace-Building Agenda”. Konsep tersebut menjelaskan mengenai perdamaian yang menekankan kemakmuran, lapangan pekerjaan, dan keterlibatan lokal dalam pembangunan yang kuat dan berkelanjutan. 

  

Kesimpulan

  

Secara garis besar penelitian ini menjelaskan bahwa umat Islam di wilayah Gili Trawangan melakukan mobilisasi secara kolektif dan personal untuk memperkuat nilai-nilai Islam yang inklusif. Islam inklusif dianggap cocok dengan industri pariwisata di destinasi pariwisata internasional karena mengajarkan nilai toleransi dan perdamaian. Penguatan Islam inklusif memiliki fungsi ganda untuk menjaga keberlangsungan ajaran Islam yang melindungi dampak negatif pariwisata, juga fungsi pragmatis untuk menjaga keberlanjutan pariwisata sebagai sumber pendapatan masyarakat lokal.