Menemukan Kembali Budaya Moderasi di Pesantren
Riset BudayaTulisan berjudul “Reinventing Pesantren’s Moderation Culture to Build a Democratic Society in the Post-Reform Republic of Indonesia” adalah karya Syamsul Ma’arif. Tulisan ini terbit di Social Sciences and Humanities “Pertanika Journal” tahun 2019. Ma’arif fokus terhadap beberapa masalah yang dihadapi oleh pesantren saat ini, yakni munculnya sejumlah ekspresi keagamaan yang kaku. Artinya, bertentangan dengan nilai demokrasi dan budaya pesantren. Budaya moderasi pesantren harus dikelola dengan baik guna tercipta pemahaman saling menghargai antar masyarakat. Penelitian ini menganalisa masalah yang dihadapi oleh pesantren pasca Reformasi dengan pendekatan analisa kritis-historis. Selain itu, penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan sosio-historis. Ma’arif menganalisa sejarah dan status quo pesantren. Sumber data yang digunakan berasal dari literatur seperti kitab kuning dan artikel. Di dalam resume ini akan dijelaskan kembali dalam lima sub bab.
Pendahuluan
Gerakan radikal di Indonesia berakar kuat pada pada awal pemikiran jihadis. Gerakan radikal muncul karena pemikiran yang mengartikan jihad sebagai perkelahian dengan senjata. Hal tersebut bertentangan dengan ajaran Islam yang terkenal dengan toleransi dan perdamaian. Fenomena radikalisme adalah produk dari abad 20 di dunia muslim, terutama Timur Tengah. Radikalisme merupakan produk dari krisis identitas yang dihadapi umat Islam dan memicu perilaku resistan terhadap negara barat. Saat ini fenomena radikalisme menjadi kekhawatiran bagi para peneliti, kiai, dan komunitas muslim pada umumnya karena dikaitkan dengan pesantren. Fakta semacam ini dianggap “aneh”, sebab beberapa teroris yang menjadi pengikut ISIS adalah alumni pesantren.
Di Indonesia, pesantren memiliki nilai yang selalu melekat terhadap perubahan zaman. Sistem pendidikan pesantren menanamkan prinsip humanisme di setiap generasi. Visi dan misi pesantren untuk agama, kemanusiaan dan negara harus dipegang teguh oleh lembaga pesantren. Hal ini dilakukan guna mengatasi dan menjaga sistem pendidikan pesantren dari infiltrasi jaringan pro-radikalisme yang mengancam pemerintah dan masyarakat. Situasi semacam ini menjadi tantangan bagi para kiai sebagai bentuk tanggung jawab.
Gambaran Umum Pasca-Reformasi Indonesia
Di era Pasca Reformasi, masyarakat Indonesia dihadapkan pada berbagai masalah, seperti fanatisme, radikalisme, diskriminasi bahkan pertumbuhan intoleransi. Selain itu, pada era ini keran demokrasi dihidupkan sehingga tampak memberikan “angin segar” bagi para fundamentalis dan kelompok agama radikal. Menurut Blinder dalam bukunya berjudul “Liberal Islam”, menyatakan bahwa meskipun kelompok yang dianggap fundamental itu kecil, namun mereka memiliki tekad dan motivasi sangat tinggi. Kelompok fundamental biasanya bercirikan menolak pemahaman kontekstual, pluralisme, relativisme dan monopoli kebenaran tentang interpretasi agama.
Munculnya fenomena ekspresi religius yang kaku dan merasa benar sendiri sering kali dipamerkan dalam sosial media, seperti Facebook, WhatsApp, Twitter dan lain sebagainya. Hal ini berpotensi terjadi konflik dengan latar belakang agama. Terutama, ketika “ketidakdewasaan” beragama dimanfaatkan oleh orang yang tidak bertanggung jawab guna menyalakan kebencian orang lain.
Pesantren: Sumber Kedamaian
Baca Juga : War Takjil Nonis Vs. Muslim: Ramadhan Seru Tahun Ini
Semua orang setuju bahwa pesantren adalah bentuk pendidikan Islam di Indonesia yang tertua. Pendirian pesantren bertepatan dengan pertumbuhan Islam di Jawa sekitar abad 15 dan 16, yakni bersamaan dengan dakwah Walisongo. Para kiai pesantren menyebarkan Islam yang inklusif dan bertujuan menyemaikan perdamaian di bumi (Rahmatan lil-‘Alamin). Oleh sebab itu, para kiai biasanya mewariskan ajaran Walisongo mengenai sopan santun, toleransi dan menghormati budaya lokal.
Pada kaitannya dengan menyebarkan Islam, Walisongo mendirikan model pendidikan sebagai tempat untuk menggembleng santri. Selain itu, model pendidikan yang diterapkan bertujuan untuk mendamaikan Islam dengan budaya. Sistem pendidikan semacam ini dikenal sebagai pesantren. Jika ditinjau dari sejarah, makan akan muncul kontraproduktif bahwa pesantren dianggap sebagai sumber terorisme. Sebab, beberapa pelaku radikalisme mengaku alumni pesantren. Misalnya, Amrozy dan kawan-kawannya yakni pelaku bom Bali-1. Namun, bukan hal yang bijak dan tentu sebuah kesalahan jika terlalu menggeneralisasi bahwa semua alumni pesantren adalah teroris.
Reformulasi Pesantren
Kearifan lokal pesantren sangat diperlukan guna menjamin perdamaian dan pendidikan untuk membawa para santri memiliki pikiran terbuka dan mampu menerima perbedaan realitas sosial yang terjadi. Pendidikan pesantren sangat diharapkan guna mengembangkan rasa tanggung jawab di masyarakat dan negara. Pendekatan yang digunakan di pesantren harus fokus, komunikatif dan mengalir penuh kelembutan. Kiai Hasyim Asy’ari dalam kitab “Adabu al-‘Alim wa al-Muta’allim” menjelaskan bahwa pendekatan yang digunakan dalam mengajar dan belajar terletak pada etika dan moralitas.
Karakter Penting yang Ditekankan Pesantren
Di dalam konteks Indonesia, pesantren dianggap sebagai sub budaya yang dipahami memiliki sistem nilainya sendiri. Artinya, pesantren mengakulturasi budaya lokal dengan nilai pesantren. Pesantren sebagai sebuah institusi dan produk asli Nusantara memiliki ciri gotong royong. Nilai lain yang dikembangkan pesantren adalah kemerdekaan, kerja sama, patriotisme, perdamaian, toleransi, konsultasi dan kesetaraan.
Tujuan didirikannya pesantren adalah mengangkat moralitas, mempertinggi semangat dan menghargai nilai spiritual dan kemanusiaan. Pesantren dipercaya mampu membentuk individu yang saleh. Oleh sebab itu, gagasan untuk menemukan budaya moderasi di pesantren merupakan salah satu solusi. Hal ini dikarenakan berkaitan dengan budaya anarkis yang selalu muncul dan menggunakan nama pesantren. Selain itu, budaya moderasi juga penting demi mengatasi masalah kemanusiaan. Budaya moderasi harus direalisasikan di setiap pesantren. Selain membangun perdamaian, pesantren harus mampu menjadi penangkal bagi gerakan radikal.
Kearifan lokal pesantren merupakan upaya memanusiakan manusia dengan mendorong pada moralitas, dan menghormati tradisi sebagai identitas budaya dalam masyarakat. Implementasi pendidikan agama harus dijalankan melalui strategi pencegahan radikalisasi dengan Islam moderat. Artinya, pendidikan adalah tempat untuk menanamkan perilaku yang luhur.
Kesimpulan
Terdapat masalah krusial yang perlu perhatian dan tanggapan segera sebagai solusi bagi pesantren ketika berhadapan dengan masalah modernitas, termasuk ideologi pasca reformasi yang tampak bertentangan dengan karakter dan disposisi pesantren. Selain itu, pesantren menggali nilai adat yang dimiliki dan terbukti memberikan kontribusi positif bagi negara. Misalnya, moderasi, tasamuh, dan pengakuan terhadap keberagaman. Pesantren juga harus berkomitmen pada pembentukan masyarakat yang beradab dan mampu menjunjung tinggi masalah kemanusiaan, toleransi dan kebebasan berbicara, serta kesadaran akan nasionalisme dan kerukunan sosial.