(Sumber : www.nursyamcentre.com)

NU Garis Lucu: Kesalehan dan Sindiran Melalui Media

Riset Budaya

Tulisan berjudul “Nahdlatul Ulama’s ‘Funny Bridge’: Piety, Satire, and Indonesian Online Devidens” merupakan karya James Bourk Hoesterey. Artikel ini terbit di Jurnal Cyber Orient pada tahun 2021. Penelitian ini didasari atas anggapan perpecahan di tubuh internal NU, diakibatkan generasi muda yang dianggap terlalu sekular dan liberal. Pada tahun 2015, sebagian anggota NU memproklamirkan ‘NU Garis Lurus’ yang menyatakan ingin mengembalikan NU ke akar asalnya. Kelompok pemuda NU juga memproklamirkan ‘NU Garis Lucu’ sebagai tanggapan. NU Garis Lucu merupakan sebuah komunitas media sosial yang menggunakan sindiran dan humor untuk meredam tuduhan dari NU Garis Lurus sekaligus sebagai kekuatan pemersatu NU secara luas. Artikel Hoesterey ini berusaha mengkaji interaksi antara kedua media ini yang fokus pada bagaimana media sosial menunjukkan adanya fragmen dan ‘garis patahan’ sekaligus memberikan ruang online sebagai jembatan perpecahan keduanya. Pada resume ini akan dijelaskan empat sub bab. Pertama, pendahuluan. Kedua, sindiran sebagai kedisiplinan. Ketiga, Islam, humor dan subjektivitas: NU garis lucu sebagai sebagai kritik religiopolitis. Keempat, santri kreatif: humor serius aktivis online. 

  

Pendahuluan

  

Selama beberapa dekade terakhir pada akademisi Islam telah mempelajari beragam bentuk media Islam, media baru, media digital dan sosial media sebagai bagian dari kontestasi otoritas keagamaan, politik nasional bahkan hegemoni global. Fokus ilmiah pada media Islam cenderung pada pemanfaatan kelompok teror terhadap media sosial maupun dunia online. Perhatian terkait sudut lain dalam dunia digital seperti ‘ruang lucu’ yang memberikan kesempatan untuk humor agama dan sindiran politik jarang sekali dikaji. Sindiran memiliki kekuatan yang afektif terutama dalam menghibur, membingungkan, menginspirasi bahkan membuat marah khalayak. 

  

NU garis lucu merupakan menyebarkan humor di ruang digital sebagai cara untuk menggambarkan dan menunjukkan perbedaan teologis, sekaligus mempertaruhkan klaim atas agama dan politik. Selain itu, komunitas ini mengungkap kemunafikan dan tantangan yang dirasakan khalayak atas klaim otoritas agama. Terkadang, humor dipahami sebagai disiplin moral yang memicu ketegangan, namun tujuannya adalah untuk disorientasi dan meredakan ketegangan. 

  

Sindiran sebagai Kedisiplinan

  

Nahdlatul Ulama merupakan organisasi muslim tradisionalis modern yang didirikan pada tahun 1926, sebagai bagian dari tanggapan atas kebangkitan pemikiran Islam reformis di Indonesia. Hampir satu abad, NU terus menunjukkan posisinya yang bersaing dengan pengaruh reformis di Indonesia. Sebagai organisasi yang sebagian besar pengaruhnya di pedesaan Jawa, membuat NU relatif lambat dalam perkembangan di dunia digital. Di mulai dengan NU Online, berbagai aplikasi NU, Grup WhatsApp, blog, dan website organisasi ini berusaha mengejar kelompok Salafi dan Reformis yang telah lebih dahulu memperoleh publisitas. 

  

NU Garis Lurus memiliki tagline “Meluruskan pemikiran yang bengkok” dan banyak diikuti oleh para tokoh NU tingkat daerah. Berbeda dengan NU Garis Lurus, NU Garis Lucu memiliki tagline “Sampaikanlah kebenaran walaupun itu lucu” yang disandingkan dengan gambar Gus Dur. Tagline tersebut bukan kutipan Gus Dur, melainkan adaptasi cerdas dari Sabda Nabi Muhammad SAW yang terkenal yakni “Berbicaralah yang benar, meskipun pahit”. Pengerjaan ulang tema keagamaan semacam ini menjadi ciri khas kreativitas NU Garis Lucu. 

  

Gambar Gus Dur sebagai ikon sekaligus disebabkan dua hal. Pertama, pada kumpulan tulisannya dengan judul “Melawan melalui lelucon” pada tahun 2000, terjemahan dari ‘melawan’ tidak selalu menolak bahkan menentang dengan kekerasan. Pada konteks humor Gus Dur, melawan bisa dilakukan dengan mesra. Kedua, meme Gus Gur yang menonjol adalah “Gitu Aja Kok Repot”. Retorika ini dimaksudkan sebagai pemberhentian atas debat, teguran mengenai kehidupan dan agama yang dianggap terlalu serius dan harfiah. Saat ini, slogan lucu telah dialihkan, ditransfigurasi dan kembali dimediasi di berbagai konteks parodi Gus Dur di kalangan intelektual muda NU. 


Baca Juga : Ijtihad Politik Islam Wasathiyah

  

Islam, Humor, dan Subjektivitas: NU Garis Lucu sebagai Kritik Religiopolitis 

  

Terdapat beberapa gambar dan tweet dari postingan NU Garis Lucu yang dianalisis. Pertama, gambar terkait “Santri Google” yang menunjukkan perbedaan dua karikatur. Karikatur sebelah kiri menunjukkan gambar seorang ustadz yang menjelaskan pertanyaan dari muridnya dengan berbagai referensi yang berasal dari berbalai ulama, sedangkan gambar sebelah kanan menunjukkan seorang ustaz yang menjawab pertanyaan muridnya dengan referensi ‘Google’ dengan meneriakkan bahwa hukum Islam dengan jelas menyatakan haram menurut ‘Ustaz Fulan’ dari Islam benget.com dan twitter. Berdasarkan mata dan bahasa tubuh dalam gambar secara stereotip diasosiasikan oleh beberapa orang Indonesia dengan budaya Arab atau kecenderungan terkait Arabisasi, padahal Indonesia terkenal dengan Islam moderat.

  

Kedua, tweet NU Garis Lucu yang menyatakan “Segala Sesuatu yang berbau komunisme dikatakan PKI (Partai Komunis Indonesia), segala sesuatu yang berbau kritis dikatakan menjadi liberal, segala sesuatu yang berbau seperti Iran dituduh Syiah. Mengapa menjalankan agama dengan hidung?”. Pada contoh ini, NU Garis Lucu mengadopsi sindiran lucu dari Gus Dur yang sering kali berbau agama. 

  

Ketiga, tweet berbunyi “Merasa diri lebih baik dari peminum bir, lebih besar dosanya daripada minum bir itu sendiri”. Perdebatannya bukan terletak pada alkohol yang diperbolehkan, tetapi etis perilaku dengan bentuk hirarkinya. Merasa unggul secara moral dari mereka yang minum bir merupakan pelanggaran etika dalam Islam. 

  

Keempat, gambar dua kapal dengan arah yang berbeda, yakni kapal pertama ditumpangi Gus Dur sendirian dengan melawan arus, dan kapal kedua berisi kelompok Salafi yang dilambangkan berjubah putih dan bertanya kepada Gus Dur, “mengapa melawan arus, Gus?” akan jatuh ke air terjun. Gambar tersebut menunjukkan adanya perbedaan teologis serta politik antara Tradisionalis dan Reformis Salafi. Hal yang menarik adalah meskipun tidak menggunakan tuduhan langsung, implikasinya jelas bahwa ide konservatif telah menjadi arus utama di Indonesiaa saat ini, namun tetap ‘sesat’ dari ajaran Islam. 

  

Santri Kreatif: Humor Serius Aktivis Online 

  

Pasa sub bab ini, terdapat beberapa gambar yang dianalisis. Salah satunya, gambar Wahjoe Sardono di antara para tentara yang bertuliskan “Jangan remehkan setiap kelucuan, karena didalamnya ada sikap kritis yang tersamar”. Gambar tersebut secara tidak langsung menerangkan bahwa sosok Dono lebih dari sekadar humoris. Ia termasuk di antara para aktivis yang membantu menjatuhkan rezim otoriter Soeharto pada tahun 1998. Dono menunjukkan kekuatan keyakinan dengan berdiri di samping tentara yang memegang senjata. Pada postingan tersebut juga dituliskan caption, “Wahjoe Sardono dikenal oleh masyarakat Indonesia sebagai pelawak. Namun demikian, jarang mereka mengetahui pikirannya dan perspektif. Hari ini, beberapa dekade yang lalu, Dono berkumpul dengan sesama mahasiswa memprotes kebijakan pemerintah tentang acara MALARI. Selain itu, pada saat demonstrasi tahun 1998 hingga protes Soeharto, dia berada di garis depan. Alfatihah atas Namanya. INTELLAGHTUAL SEJATI”. Gambaran intelektual sangat tepat dalam menggambarkan elemen komedian dan sindiran lucu yang menjembatani antara agama dan politik.

  

Kesimpulan

  

Era reformasi menjanjikan transparansi politik, keaslian agama dan ruang media yang tumpang tindih nyatanya dipenuhi dengan berbagai hinaan dan pelanggaran. Fakta ini sesuai dengan pernyataan Karen Strassler bahwa janji moral keterbukaan, transparansi politik sering kali hanya manipulasi. Meme sindiran saat ini berhasil dibentuk ulang menjadi jalan mediasi yang membalikkan kritik. Media sosial NU berusaha mengatur ulang sentimen permusuhan di dunia online dengan paparan sindiran yang condong pada bentuk kritik.