(Sumber : Nur Syam Centre)

Revolusi dan Budaya Wanita Mesir

Riset Budaya

Tulisan berjudul “Introduction: Egyptian Women, Revolution, and Protest Culture” adalah karya Dalia Said Mostafa. Tulisan tersebut terbit di Journal for Cultural Research. Karya Mostafa tersebut menjelaskan peran sentral perempuan dalam revolusi Mesir tahun 2011 dengan menggunakan perspektif kritis. Artinya, menganalisa sekaligus mengkritik baik pencapaian maupun kemunduran revolusi, sekaligus kontribusi perempuan didalamnya. Keikutsertaan wanita merupakan gambaran yang lebih luas dan perlu “diteorikan” sebagai aspek esensial dari perjuangan untuk kebebasan dan keadilan yang sedang berlangsung. Di dalam review ini akan dituliskan tiga subab mengenai tulisan Dalia Said Mostafa. Pertama, catatan sejarah revolusi. Kedua, hasil budaya revolusi. Ketiga, feminisme di Mesir. 

  

Catatan Sejarah Revolusi  

  

Artikel Mostafa dituliskan tanpa sub bab. Sehingga, pembaca akan merasa “disajikan” dengan perdebatan panjang tanpa jeda. Selain itu, Mostafa mengutip beberapa tulisan lain untuk menjelaskan tentang revolusi di Mesir tahun 2011. Ia tidak menggunakan teori apa pun, hanya kutipan definisi dan anggapan yang “digabungkan”.  Beberapa tulisan yang dikutip oleh Mostafa dalam menjelaskan revolusi di Mesir, yakni:

  

Pertama, tulisan Radwa Ashour yang berjudul “Athqal min Radwa”. Anshour menjelaskan bahwa, pengejaran terhadap orang Mesir sangat gencar dilakukan ketika mereka berjuang untuk “menyalurkan” aspirasinya pada revolusi 25 Januari 2011. Secara tidak lansung, ia menjelaskan bahwa revolusi sama dengan perjuangan untuk hidup daripada mati, berarti dikalahkan atau dihina. 

  

Kedua, tulisan Heba Helmi berjudul “Gowwaya Shaheed: Fann Sharei’ al-Thawra al-Masriyya”. Di dalam tulisan tersebut, Helmi menjelaskan “lintasan” revolusi menggunakan gambar dan grafiti. Salah satu gambar di buku Helmi adalah lampu gantung. Secara tidak langsung, ia ingin menjelaskan bahwa masih ada cahaya yang bermakna harapan, dan itu tidak akan padam. 

  

Ketiga, tulisan Samia Mehrez yang berjudul “Translating Egypt’s Revolution: The Language of Tahrir”. Di dalam bukunya, Mehrez menjelaskan bahwa revolusi Mesir bagaikan “teks terbuka”. Revolusi dalam bahasa Arab adalah “thawra” dari kata kerja “root thaara”, yang artinya memberontak atau bangkit. Jutaan orang Mesir percaya bahwa Januari 2011 adalah “thawra”, karena seluruh lapisan masyarakat bangkit melawan diktator dan berusaha menggulingkannya.

  

Keempat, tulisan Mark Levine yang berjudul “Theorizing Revolutionary Practice: Agendas for Research on the Arab Uprisings”. Ia menjelaskan bahwa “kaum” revolusioner adalah mereka yang menginginkan “jatuhnya sistem”. Namun, mereka tidak ingin menggantikan. Selain itu, mereka percaya bahwa kehilangan nyawa, ribuan korban luka, dipenjara, adalah sebuah perjuangan mencapai keadilan sosial yang bermartabat. Tentu, dengan “pembongkaran” struktur negara yang menindas.

  

 Kelima, tulisan Gilbert Achcar berjudul “The People Want: A Radical Exploration of the Arab Uprising”. Pemberontakan pada 25 Januari 2011 adalah ledakan masyarakat ke panggung politik yang sebelumnya tidak pernah terjadi dalam sejarah negeri piramida tersebut. Mesir telah berhasil melakukan revolusi politik, yakni penguasa yang diktator telah digulingkan. Namun, yang belum tercapai adalah transformasi menyeluruh dari struktur sosial di negara tersebut, yakni revolusi sosial. 


Baca Juga : Banjir Hoaks Covid-19 di Media Sosial, Empat Cara Ini Gencar Dilakukan JAPELIDI

  

Hasil Budaya Revolusi

  

Secara struktur, tulisan Mostafa sudah menjelaskan alurnya dengan mudah. Penjelasan mengenai revolusi dan dilanjutkan dengan akibat dari revolusi. Selain itu, ia juga menjelaskan bagaimana peran wanita dalam melakukan “gladi bersih” sebelum pemberontakan pada 25 Januari 2011 terjadi. 

  

Momen pemberontakan pada 25 Januari 2011 di Mesir tentu saja tidak datang begitu saja. Sebelum pemberontakan 2011 terjadi, perempuan dari semua latar belakang sosial dan pendidikan adalah “jantungnya”. Misalnya, perempuan memainkan peran utama dalam pemogokan Mahalla tahun 2006 dan 2008. Pada bulan April, organisasi feminis dan kelompok HAM dimobilisasi dan diorganisir untuk demonstrasi di jalan seluruh negri. Selain itu, seniman, jurnalis, penulis, pengacara dan kaum wanita yang lain menyerukan dan mengorganisir demonstran untuk menuntut kebebasan berekspresi masyarakat yang dirusak oleh korupsi.

  

Sejak revolusi 25 Januari 2011, Mesir telah mengasilkan budaya baru berupa karya seni seperti puisi, lagu, dan berbagai program televisi. Perempuan telah memainkan peran sentral dalam gerakan budaya radikal tersebut. Dibuktikan dengan bangkitnya generasi muda wanita dalam berbagai bidang. Misalnya, dalam karya film di bioskop yang digunakan sebagai alat konsolidasi tuntutan dan aspirasi revolusi tahun 2011.

  

Feminisme di Mesir

  

Di dalam menjelaskan mengenai feminisme di Mesir, Mostafa memulainya dengan penjelasan bahwa budaya “protes” di Mesir bukanlah sebuah hal baru. Ia menyatakan bahwa akhir abad-19, Mesir telah menunjukkan bahwa banyak wanita yang berpengaruh. Misalnya, gerakan dalam bidang politik, jurnalis, dan seni. Selanjutnya, Mostafa mengutip beberapa pemikiran untuk menjelaskan bagaimana peran wanita di Mesir selama revolusi 2011.

  

Pertama, tulisan Betn Baron berjudul “The Women’s Awakening in Egypt: Culture, Society, and the Press”. Ia menjelaskan bahwa dalam berjuang menuntut aspirasi membutuhkan keterlibatan wanita. Kedua, tulisan Lucia Sorbera berjudul “Challenges of Thinking Feminism and Revolution in Egypt Between 2011 and 2014”. Ia menjelaskan bahwa, dalam sejarah Mesir modern, jika ada dua kata yang maknanya saling terkait, adalah feminisme dan revolusi. Ketiga, tulisan Caroline Rooney berjudul “Egypt’s Revolution, Our Revolution: Revolutionary Women and the Transnational Avant-Garde”. Ia menjelaskan bahwa “elemen” fundamental revolusi memiliki kaitan dengan tulisan, seni dan pengalaman perempuan Mesir dan Inggris. Keempat, tulisan Hala Kamal berjudul “Inserting Women’s Rights in the Egyptian Constitution: Personal Reflections”. Ia menjelaskan bahwa perempuan sudah memiliki peran di Mesir sejak konstitusi Mesir pertama tahun 1923 dibuat. Kelima, tulisan Fakhri Hagdani berjudul “Egyptian Women, Revolution and the Making of a Visual Public Sphere. Ia menuliskan sisi lain dari wanita, yakni menjadi seniman, jurnalis dan penyanyi. Keenam, tulisan Sherine Hafez berjudul “The Revolution Shall Not Pass through Women’s Bodies: Egypt, Uprising and Gender Politics”. Ia menganalisa bagaimana perempuan Mesir mengambil bagian dalam gerakan protes. 

  

Kesimpulan

  

Struktur tulisan artikel milik Dalia Said Mostafa memang berbeda dengan artikel pada umunya. Tulisan Mostafa tidak memiliki sub bab bahkan kesimpulan. Pembaca seakan membaca tulisan “diary” karena hanya mengalir dengan perdebatan. Sehingga, alur yang ingin disampaikan tidak terbaca secara sekilas. Akibatnya, pembaca seakan disuguhkan dengan perdebatan dari berbagai pemikiran tokoh tanpa kesimpulan. Selain itu, tulisan Mostafa juga tidak membahas secara detail bagaimana peran perempun dalam revolusi Mesir pada 25 Januari 2011. Terlepas dari berbagai kekurangan tersebut, Mostafa telah mengungkap sisi lain perempuan. Bahwa, dalam hal revolusi untuk “mendobrak” struktur negara, wanita adalah jantungnya.