(Sumber : www.nursyamcentre.com)

Agama Sebagai Alat Politik Dalam Pemilu

Riset Sosial

Tulisan berjudul “Religion As A Political Tool: Secular And Islamist Roles in Indonesian Elections” merupakan karya Luthfi Assyaukanie. Penelitian ini terbit di Journal of Indonesian Islam pada tahun 2019. Secara fundamental, agama telah dimanfaatkan oleh politisi untuk meningkatkan suara elektoral mereka. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa agama merupakan instrumen penting dalam proses pengambilan keputusan dalam pemilu, baik dari sisi pemilih maupun calon. Di balik politik identitas dan kebangkitan populisme global, agama memiliki banyak ruang untuk diekspresikan. Di dalam tulisan ini akan dituliskan kembali resume atas penelitian Luthfi Assyaukanie dalam empat sub bab. Pertama, pendahuluan. Kedua, penggunaan agama sekular. Ketiga, strategi modernis. Keempat, respon tradisionalis. 

  

Pendahuluan

  

Di dalam dinamika elektoral, kelompok umat beragama tidak pasif sebab diatur oleh doktrin teologis, konggregasi, maupun budaya yang tertanam dalam tradisi sosial mereka. Pada peristiwa politik, keterlibatan aktor politik aktif mendorong dan memobilisasi kelompok agama untuk terlibat lebih jauh dalam proses politik, terutama pemilu. Artinya, partisipasi mereka dalam demokrasi bukan hanya perihal budaya. 

  

Menurut beberapa survey, ketika pemilu tahun 2019 menunjukkan bahwa 59,1% pemilih Indonesia menganggap agama sebagai bagian penting dalam penentuan pilihan politik. 18,4% mengakui bahwa mereka akan mempertimbangkan agama dalam keputusan politik. Di dalam agama Islam, mereka percaya bahwa Islam mewajibkan mereka untuk mempertimbangkan agama dalam memilih seorang pemimpin. 

  

Hal yang menarik di Indonesia adalah perang identitas dalam politik Indonesia, agama tidak hanya dimainkan oleh orang “saleh”, namun juga politisi “sekular” yang tidak memiliki hubungan atau agenda agama. Hal ini dibuktikan dengan, dalam setiap pemilu legislatif beberapa calon “sekular” berusaha untuk tampil religius dan berpose dalam pakaian Islami untuk foto pada baliho dan iklan lainnya. Mereka akan lebih sering ke masjid dan menghadiri Majelis Ta’lim. Terkadang, politisi Kristen juga mencoba untuk tampil muslim, termasuk dengan memakai hijab maupun baju koko. Agama telah menjadi alat yang ampuh bagi politisi. Pemilu pada tahun 2019 adalah bukti paling jelas bagaimana cara kelompok  asionalis-sekular menggunakan agama untuk memperoleh “suara” pada pemilihan umum. 

  

Penggunaan Agama Sekular

  

Istilah “secular use of religion” pertama kali diperkenalkan oleh Ashis Nandy dalam tulisannya yang berjudul “The Return of the Sacred”. Ia melakukan penelitian di India dan Pakistan dan menemukan bahwa ujaran kebencian dan polarisasi atas nama kampanye Hinduisme di India maupun Islam di Pakistan telah bercampur dengan kepentingan agama. Di dalam banyak kasus, politisi “sekular” menjadi “naif” menjadi orang yang fanatik demi tujuan politik-ekonomi. Artinya, kepentingan agama dan “sekular” saling terkait erat dan sulit untuk dibedakan. 

  

Praktik politik yang ditemukan Nandy di India, tidak asing di Indonesia. Politisi dan pengusaha sering kali menggunakan agama guna kepentingan mereka dalam tujuan politik-ekonomi. misalnya, pemilihan gubernur di Jakarta pada tahun 2017. Pemilu di Jakarta adalah panggung terbuka di mana Islamis dan “sekular” berkerja sama untuk menjatuhkan gubernur. Beberapa tokoh nasionalis “sekular” tiba-tiba berpura-pura menjadi islamis dan berbicara dengan retorika islamis. 


Baca Juga : Revolusi "New Style" Perguruan Tinggi Untuk Masa Depan

  

Strategi Modernis

  

Salah satu alasan mengapa pemilu tahun 2019 sangat didominasi isu “agama” adalah peran modernis muslim. Istilah “modernis” banyak digunakan oleh ulama Indonesia untuk merujuk dalam dua kelompok muslim besar di Indonesia. Modernis adalah sekelompok muslim yang percaya bahwa Islam sangat kompatibel dengan dunia modern. Mereka umumnya memahami modern dalam hal nilai dan teknologi. 

  

Beberapa kelompok “sempalan” dari gerakan modernis Islam berubah menjadi kelompok yang radikal dan intoleran, misalnya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI). Namun, banyak akademisi yang menganggap mereka bukan sebagai “modernis” melainkan “fundamentalis” atau “ekstrimis”. Di kalangan modernis, PKS adalah partai yang paling aktif menyikapi masalah agama selama pemilu tahun 2019. PKS menjadi kritikus Jokowi yang paling gigih dan meluncurkan kampanye “#2019GantiPresiden”. 

  

PKS, FPI, dan HTI adalah tiga musketeer yang menciptakan citra Prabowo sebagai sosok yang ideal bagi umat Islam. Mereka merepresentasikan Prabowo agar terlihat lebih islami dengan “membawanya” ke ulama, pusaran agama bahkan pesantren. Sebab, mereka tidak bisa menggunakan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sehingga, mereka memprakarsai lembaga baru yang digagas oleh Gerakan Nasional Pembela Fatwa (GNPF), yakni sebuah organisasi yang “mengaku’” membela fatwa MUI. 

  

Respon Tradisionalis

  

Di dalam tradisi keilmuan Islam Indonesia, muslim tradisionalis sering didefinisikan sebagai kelompok yang menghormati tradisi Islam, khususnya yang berkaitan dengan ritual keagamaan. Tradisionalis umumnya tahan terhadap modernitas. Di Jawa, kelompok tradisionalis adalah kelompok yang menantang gerakan reformasi yang “diluncurkan” oleh kaum modernis, khususnya Muhammadiyah. Salah satu organisasi tradisionalis terbesar adalah Nahdlatul Ulama (NU). 

  

Pada tahun 2014, beberapa elit NU mendukung Prabowo secara terbuka, namun pada tahun 2019, tokoh NU berbalik mendukung Jokowi. Pada tahun 2014, dukungan NU kepada Jokowi sebesar 42,2% dan meningkat secara signifikan menjadi 59,3% pada tahun 2019. Hal yang menarik adalah, alasan mengapa NU begitu “bersatu” dan mendukung salah satu calon presiden secara kokoh. Pertama, manuver Jokowi yang menunjuk K.H Ma’ruf Amin sebagai cawapres menjadi krusial. Sosok K.H Ma’ruf sangat unik, sebab ia adalah seorang ulama sekaligus politisi. Ia merupakan ketua dari pengurus NU dan mantan ketua penasehat PKB. Kedua, peran K.H Ma’ruf sangat penting dalam memecah belah pemilu muslim yang solid selama pilihan gubernur 2017. Peran K.H Ma’ruf sangat penting sebab, ia merupakan salah satu pemimpin muslim di balik kasus Ahok. Sebagai ketua MUI, ia mendapat dukungan baik dari kalangan modernis maupun tradisionalis. Bagi NU, ia mewakili suara dan harga diri mereka. Bagi kaum modernis, otoritas agamanya dibutuhkan untuk menjatuhkan Ahok. Posisi yang begitu strategis, solidaritas umat Islam di bawah Ma’ruf menjadi ancaman nyata bagi Jokowi. Di dalam survey SMRC, Jokowi mendapatkan dukungan kuat di antara daerah non-muslim, namun relatif kecil di kalangan muslim. Sehingga, dengan mengangkat K.H Ma’ruf sebagai cawapres otomatis membagi suara muslim dan mayoritas pemilih NU menjadi pemilih Jokowi.

  

Kesimpulan

  

Terdapat beberapa hal yang menjadikan agama sebagai faktor yang fundamental bagi peristiwa atau kontestasi politik. Pertama, persoalan agama cukup efektif mengangkat dan mendelegitimasi kandidat. Kedua, tidak ada program politik alternatif, agama adalah cara terbaik untuk menantang petahana. Ketiga, peralihan konservatif sering disebut sebagai penyebab utama politisasi agama. Islam Indonesia umumnya konservatif, namun pengaruh salafisme dan wahabisme di dua decade terakhir menjadi lebih menonjol.