(Sumber : Nur Syam Centre)

Akar Sosial Islamophobia di Eropa

Riset Sosial

Tulisan berjudul “Anti-Migrant Islamophobia in Europe: Social Roots, Mechanism and Actors” merupakan karya Fabio Perocco. Tulisan ini terbit di Jurnal Revista Interdisciplinar da Mobilidade Humana “Remhu” tahun 2018.  Karya Perocco tersebut mengkaji asal-usul sosial dari anti imigran, model serta mekanismenya. Selain itu, artikel ini fokus pada aktor sosial utama yang terlibat didalamnya, khususnya peran organisasi dan gerakan anti-Islam, partai sayap kanan, dan media massa. Resume ini akan membahas tulisan Perocco dalam empat sub bab. Pertama, pendahuluan. Kedua, akar sosial anti imigran Islam. Ketiga, kesenjangan, Islamophobia dan rasialisasi. Keempat, aktor dibalik anti imigran Islam. 

  

Pendahuluan

  

Selama dua dekade terakhir, Eropa Barat mengalami peningkatan “tajam” soal rasisme terutama terhadap anti imigran karena rasisme institusional. Rasisme terhadap anti imigran terjadi dalam berbagai bentuk tergantung pada konteks nasional. Misalnya, keadaan sosial politik suatu negara, kebijakan negara yang cenderung rasis, dan “perburuan” imigran yang dilakukan oleh kelompok sayap kanan. Sasaran rasisme juga beragam, namun cenderung pada minoritas. Salah satu rasisme yang semakin banyak terjadi adalah Islamophobia. Islamophobia adalah bentuk rasisme yang paling “dalam” dan akut. Selain itu, Islamophobia juga dianggap sebagai “ekspresi” tertinggi dari bentuk rasisme di era neoliberal. 

  

Akar sosial Anti-Imigran Muslim 

  

Gelombang Islamophobia anti imigran yang intens dan luas memiliki akar sejarah, budaya dan sosial. Di antara akar sosial masalah tersebut yakni imigran muslim adalah populasi terbesar di Eropa yang menetap dengan alasan pekerjaan. Seiring waktu, mereka “berakar” di masyarakat Eropa dan menjadi faktor transformasi sosial di beberapa negara. Mereka menjalin ikatan, memperoleh hak, dan sebagai bagian dari masyarakat. Selain itu, imigran muslim merupakan kelompok imigran yang terorganisir di Eropa. Namun, kelompok imigran tersebut justru sering menuntut pengakuan identitas, meminta jaminan hidup yang lebih baik, dan tuntutan menghargai asal mereka. Tuntutan tersebut sangat bertentangan dengan kebijakan imigrasi dan ketenagakerjaan, yakni bersifat sementara dan terpisah dari masyarakat.

   

Sepanjang tahun 90-an, muncul wacana memusuhi imigran muslim yang mengarah pada perkembangan “sistem” Islamophobia karena kelompok imigran yang sering kali menuntut lebih. Sistem yang dimaksud terdiri dari beberapa “kunci”, yakni invasi Islam, kondisi perempuan, ketidakcocokan, integrasi yang mustahil dilakukan, praktik diskriminasi, dan aktor yang menjadi penentu dalam marjinalisasi populasi imigran muslim di Eropa. 

  

Kesenjangan, Islamophobia dan Rasialisasi

  

Di Eropa, posisi penduduk muslim berada pada level tenaga kerja yang rendah. Artinya, memilki tingkat pendidikan yang rendah dan tingkat kemiskinan yang tinggi. Islamophobia memainkan peran penting dalam hal ini, yakni penggambaran budaya dan agama Islam yang “bertanggung jawab” secara langgung. Sebab, para imigran muslim menjadi korban budaya mereka sendiri, sebagai minoritas agama yang dianggap “terbelakang”. Selain itu,   Xenophobia, Arabophobia dan Islamophobia menyebabkan ketidaksetaraan. Hal ini ditandai dengan semakin banyak perampasan, tekanan sosial hingga konsolidasi segmen sosial yang dikucilkan. 


Baca Juga : Khilafatul Muslimin : NKRI Diambang Kekhawatiran

  

Pada dasarnya, kesenjangan diakibatkan oleh ketimpangan sosial, seperti ketimpangan pekerjaan, pendapatan, pendidikan, bahkan kesehatan karena “interaksi” berbagai bentuk rasisme berupa Xenophobia, Arabophobia dan Islamophobia. Sedangkan, cara untuk “melanggengkan” dan melegitimasi ketidaksetaraan adalah dengan rasialisasi.  Imigran muslim didefinisikan sebagai “ras-muslim”, melalui proses sosial faktor ras, budaya, dan keyakinan akan saling tumpang tindih. Dimensi agama dirasialisasi dan budaya muslim dinaturalisasi. Hal ini menyebabkan imigran muslim yang heterogen digambarkan sebagai subjek kesatuan sekaligus pengecualian. “pengecualian muslim” memungkinkan normalisasi kelas bawah yang “dirasiskan” secara religius. 

  

Aktor Dibalik Anti-Imigran Islam

  

Terdapat tiga aktor yang dianggap berpengaruh dalam perkembangan Islamophobia di Eropa  dan Amerika Serikat. Pertama, organisasi anti muslim yang biasanya berorientasi pada budaya. Organisasi semacam ini tentu memiliki jangkauan global, lebih terstruktur dan stabil. Selain itu, mereka sering terlibat dalam kegiatan yang bertujuan untuk mendelegitimasi dan mencemarkan imigran muslim. Caranya, dengan menyebarkan isu dan teori konspirasi baik secara langsung maupun pada ruang virtual, memberikan tekanan politik, membatasi hak muslim dan pencabutaan pengakuan Islam di ruang publik. 

  

Kedua, penulis best seller. Penulis yang dimaksud adalah mereka yang memiliki karya dengan tema “anti-muslim” atau Islamophobia dan dipublikasi. Selama lebih dari satu dekade, serangkaian publikasi sastra, misalnya seri fantasi yang didedikasikan untuk mempromosikan stereotip dan teori konspirasi yang merendakan imigran muslim. Terdapat dua gaya tulisan yang sering kali bercampur yakni gaya populer dan ilmiah. 

  

Ketiga, media massa. Berita yang seringkali dipublikasikan oleh media mengenai imigran muslim seringkali menimbulkan fitnah dan stigma. Sepanjang tahun 90-an, media massa di beberapa negara Eropa “kompak” memberitakan Islam sebagai isu global. Hal ini menyebabkan meningkatnya kecurigaan terhadap muslim. Para imigran muslim digambarkan sebagai orang yang berbeda dan harus diisolasi karena tidak dapat bisa hidup berdampingan dengan orang-orang non-muslim. 

  

Kesimpulan

  

Islamophobia mempengaruhi sebagain besar orang Eropa untuk melakukan diskriminasi dan rasisme anti muslim, sehingga menciptakan masalah komunikasi dan interaksi. Hal tersebut menyebabkan tiga masalah di Eropa. Pertama, representasi publik dari imigran muslim. Kedua, pengakuan imigran muslim di ruang publik. Ketiga, masalah muslim dan non-muslim. Islamophobia dilakukan dengan “meracuni” penduduk asli bahwa imigran muslim adalah manusia di “kasta kedua”. Artinya, sikap orang asli Eropa terhadap imigran muslim merupakan ujian yang menentukan sekaligus tantangan tertinggi bagaimana menghentikan rasisme.