Diaspora Muslim Indonesia di Belanda dalam Mengurangi dan Mencegah Islamophobia
Riset SosialArtikel berjudul “Islamophobia in the Netherlands: The Adaptation Strategy of the Indonesian Muslim Diaspora in the Netherlands in Response to the Anti-islam Issues” merupakan karya Ahmad Rofiq, Johan Arifin dan Purwanto. Tulisan ini terbit di Qudus Internasional Journal of Islamic Studies tahun 2024. Penelitian tersebut berusaha menganalisis bagaimana diaspora muslim di Belanda secara strategis mengurangi bahkan mencegah Islamophobia. Studi tersebut menggunakan metodologi penelitian kualitatif guna mengumpulkan data primer melalui wawancara mendalam dan observasi langsung, dilengkapi dengan data sekunder dari literatur yang diterbitkan maupun tidak, termasuk jurnal dan buku. Terdapat enam sub bab dalam resume ini. Pertama, pendahuluan. Kedua, Islamophobia. Ketiga, diaspora. Keempat, diplomasi multitrack. Kelima, Islamophobia di Belanda. Keenam, diaspora muslim indonesia dalam menanggapi Islamophobia di Belanda.
Pendahuluan
Hubungan Islam dan negara kembali menjadi perhatian serius dan isu global. Dialektika antara negara Islam dan sekular kembali dipertanyakan, kehadiran Islamophobia di Eropa dan di kalangan imigran Timur Tengah terus berlanjut dan meningkat. Menanggapi fenomena ini, Kementerian Luar Negeri Indonesia sebagai aktor negara, dan organisasi keagamaan sebagai aktor non-negara, melakukan upaya diplomasi berkelanjutan dan mengembangkan program “Dialog Lintas Iman, Memberdayakan Kaum Moderat.” Tujuannya memperkenalkan gagasan Islam moderat dan menjawab isu Islamophobia dengan pendekatan fikih nusantara. Pendekatan fikih nusantara dimaksudkan untuk memberikan narasi positif dan menanggapi dengan cara manusiawi dan tidak frontal. Inilah keunikan umat Islam Indonesia di Belanda.
Organisasi pemuda muslim Indonesia telah mengusung narasi positif mengenai Islam guna menanggapi permasalahan Islamophobia. Komunitas muslim Indonesia yang tinggal di Belanda berupaya memperkuat citra positif Islam dan menjadi penghubung dalam diplomasi budaya, termasuk dalam upaya mengatasi Islamopobia. Terdapat beberapa elemen komunitas diaspora muslim di Belanda seperti Persatuan Pemuda Muslim Eropa, Cabang Istimewa, Nahdlatul Ulama (PCINU, Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama), Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM, Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah), Stichting Generasi Baru (SGB) Utrecht, Pengajian Mahasiswa Muslim, Pengajaran Dharma Wanita KBRI Den Haag, Stichting Indahnya Sedekah Nederland, dan Tombo Ati Den Haag.
Diaspora muslim Indonesia telah berperan dalam membentuk jaringan yang menghubungkan mereka dengan isu keagamaan di Indonesia dan realitas sosial lokal di Belanda dan Eropa pada umumnya. Peran mereka sangat penting dalam inisiatif soft diplomasi di Indonesia. Lebih jauh lagi, mereka berfungsi mendorong wacana sosial dan filantropi yang luas di seluruh negara. Salah satu cara menghadapi Islamophobia di Belanda, diaspora muslim Indonesia menggunakan strategi diplomasi multitrack yang berhasil menyebarkan Islam secara ramah, antiteror, toleran dan moderat dengan mempromosikan Islam damai melalui Islam nusantara.
Islamophobia
Islamophobia meningkat secara signifikan sejak 9/11, awalnya terlihat dalam wacana politik. Istilah Islamophobia didefinisikan sebagai permusuhan yang tidak berdasar terhadap Islam dan ketakutan maupun ketidaksukaan terhadap semua atau sebagian besar muslim. Islamophobia juga dapat berupa persepsi dan stereotip negatif yang ditujukan secara global terhadap komunitas dan warga negara muslim, meskipun sebagian besar dari mereka adalah pelaku yang aktif dan kontributor penting bagi semua aspek kehidupan. Maraknya Islamophobia yang memunculkan sikap anti-Islam adalah konsekuensi dari manipulasi politik terencana yang diatur faksi intelektual dengan perspektif berbeda tentang Islam. Faksi ini menggambarkan Islam sebagai ancaman besar.
Islam dipandang sebagai kekuatan yang mengancam kepentingan mereka. Oleh karena itu, Islam sering kali dilihat bahkan dituduh, dan dianggap sebagai agama radikal, musuh semua orang, ancaman terhadap demokrasi, anti perdamaian, rentan menggunakan kekerasan, terlibat dalam aksi terorisme, dan semacamnya. Terdapat tiga alasan mendasar mengapa isu Islamophobia menjadi signifikan di Eropa saat ini. Pertama, Islam digambarkan sebagai bagian terpisah dari masyarakat Eropa dalam iklim masyarakat yang semakin berkembang. Kebijakan pemerintah gagal menjamin hak yang sama bagi semua kelompok dalam masyarakat. kedua, Islam menjadi kambing hitam untuk resesi ekonomi dan dibangun sebagai ancaman. Konsep Islamisasi yang dibangun oleh aktor Xenophobia menjadi agenda penting untuk membesarkan jumlah umat Islam di Eropa. Ketiga, tragedi 9/11, pembunuhan Theo Van Gogh, pembantaian Charlie Hebdo, dan serangkaian tragedi yang melibatkan Islam digunakan untuk membenarkan tindakan teroris oleh para pelaku, sehingga membuat masyarakat Eropa cemas dan takut. Hal ini yang digunakan media membentuk stereotip dan stigmatisasi mengenai citra Islam yang dekat dengan gerakan teroris dan tindakan kekerasan.
Baca Juga : Pergeseran Makna Hubungan di Era Throning: Apa yang Terjadi?
Diaspora
Diaspora merujuk pada individu yang berasal dari suatu negara dan pindah ke luar negeri karena berbagai motif. Diaspora didasarkan pada tiga alasan: 1) alasan politik terkait situasi konflik di negara asal; 2) faktor ekonomi dapat menjadi pendorong, misalnya dalam bentuk partisipasi dalam investasi yang kemudian diekspor ke negara tujuan atau kepentingan ekonomi lainnya; 3) kekuatan sosial dan budaya dapat mendorong terjadinya diaspora, misalnya karena adanya tekanan sosial atau perbedaan budaya di negara asal. Contoh kongkret dari fenomena diaspora adalah Suku Tionghoa di Indonesia.
Diplomasi Multitrack
Diplomasi multitrack merupakan pendekatan yang mengakui bahwa diplomasi tidak terbatas pada negosiasi formal antar pemerintah. Pendekatan ini mengakui bahwa konflik dan permasalahan global adalah bagian dari proses diplomasi. Duplimasi multitrack mengusulkan bahwa penyelesaian konflik dan kerja sama internasional dapat dicapai melalui serangkaian jalur yang berbeda melibatkan berbagai aktor selain pemerintah. Konsep diplomasi multitrack terdiri dari sembilan jalur. Jalur pertama: diplomasi pemerintah. Semua upaya penyelesaian konflik akan dilakukan melalui prosedur resmi dan melibatkan pemerintah, lembaga terkait yang menjadi anggota suatu negara, meliputi unsur eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Jalur kedua: non-pemerintah/profesional atau penciptaan perdamaian melalui resolusi konflik. Pada upaya penyelesaian konflik, kelompok non-pemerintah juga memegang peranan penting dalam menciptakan kondisi harmonis. Tindakannya meliputi langkah pencegahan, penyesuaian dan pemeliharaan hubungan antar negara yang dilakukan oleh pihak luar lingkungan pemerintahan.
Jalur ketiga: bisnis atau perdamaian melalui perdagangan. Sektor bisnis juga memegang peranan penting dalam upaya mencapai perdamaian. Hal ini terjadi melalui penyediaan peluang usaha bagi masyarakat. Langkah ini diharapkan dapat memperkecil kesenjangan ekonomi di masyarakat.
Jalur keempat: warna negara biasa atau penciptaan perdamaian melalui keterlibatan pribadi. Cakupan ini mencakup tindakan yang dilakukan oleh individu atau masyarakat guna mencapai perdamaian global. Partisipasi kelompok ini dering disebut sebagai “diplomasi rakyat” yang melibatkan berbagai kegiatan seperti program pertukaran pemuda, kelompok relawan, lembaga swadaya masyarakat, dan kelompok lainnya.
Baca Juga : Pengaruh Kepribadian, Motivasi dan Kelas Sosial dalam Memilih Bank
Jalur kelima: penelitian, pelatihan dan pendidikan atau penciptaan perdamaian melalui pembelajaran. Para pelaku yang terlibat memiliki hubungan dekat dengan akademisi dan peneliti. Mereka menjalankan tiga peran yang saling terkait, yakni riset dilakukan oleh akademisi di universitas dan lembaga think thank; pelatihan yang ditujukan untuk kelompok masyarakat tertentu dan difokuskan pada pembelajaran tentang strategi negosiasi, mediasi, diplomasi, dan resolusi konflik; pendidikan meliputi taman kanak-kanan hingga universitas. Kurikulum difokuskan pada pembangunan toleransi dan penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM).
Jalur keenam: aktivisme atau penciptaan perdamaian melalui advokasi. Pada lingkup ini, aktor berupaya menciptakan perdamaian dilakukan oleh mereka yang memperjuangkan hak-hak rakyat di berbagai bidang seperti pejuang HAM, aktivis kesetaraan hukum dan gender, dan berbagai kelompok pejuang lainnya. Kelompok ini juga menerapkan strategi khusus untuk mempertahankan tujuannya melalui advokasi.
Jalur ketujuh: keagamaan atau penciptaan perdamaian melalui iman dalam aksi. Tokoh agama di berbagai negara pada umumnya memberikan arahan bagi umat untuk menganut agama yang sama, namun ada kerja sama diplomatik antar agama (KAD), peran tokoh agama jauh lebih signifikan daripada sekadar membimbing para pemeluk agamanya. Tokoh agama memiliki pengaruh signifikan karena memiliki basis pengikut yang luas, sehingga suaranya sangat memengaruhi pengikutnya.
Jalur kedelapan: pendanaan atau penciptaan perdamaian melalui penyediaan sumber daya. Kelompok ini termasuk dalam kategori penyandang dana. Sering dikaitkan dengan para dermawan yang berperan dalam mendukung jalur atau aktor yang berupaya mewujudkan perdamaian. Banyak lembaga yang berkolaborasi dengan kelompok masyarakat guna mempromosikan isu tertentu, misalnya isu HAM.
Jalur kesembilan: komunikasi dan media atau penciptaan perdamaian melalui informasi. Pada tahap akhir, peran media dalam menciptakan perdamaian sangat penting. Media ibarat koin dengan dua sisi yakni positif dan negatif. Media yang dikelola oleh individu yang memperjuangkan perdamaian akan menghasilkan materi dan pesan yang mendorong upaya perdamaian. Sebaliknya, jika media dikelola oleh individu yang gemar menciptakan konflik, maka media tersebut cenderung mengandung unsur provokasi. Apalagi di era saat ini, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah membuat media mudah diakses di berbagai tempat dan waktu. Oleh karena itu, peran media sangat krusial dalam menentukan tingkat perdamaian di suatu negara atau wilayah.
Islamophobia di Belanda
Belanda adalah negara dengan masyarakat berpikiran terbuka yang menyambut baik imigran. Namun, bukan berarti Islamophobia tidak terjadi di Belanda. Beberapa tindakan yang terindikasi sebagai gerakan Islamophobia sering terjadi. Islamophobia muncul karena diskriminasi ketika imigran muslim mencari pekerjaan. Namun, jika sebuah kelompok seperti partai politik mengembangkan Islamophobia terhadap muslim, mereka tidak akan mendapatkan dukungan. Bahkan, pemerintah Belanda memberikan perhatian serius dan partai yang mendiskreditkan Islam akan dipinggirkan oleh pemerintah Belanda.
Di Belanda, kelompok yang mengampanyekan Islamofobia di Belanda cenderung berasal dari politisi sayap kanan dengan dukungan konstituen mereka melalui pembingkaian media. Institut Hak Asasi Manusia Belanda menggambarkan diskriminasi sebagai memperlakukan orang secara berbeda, merampas atau mengecualikan mereka berdasarkan karakteristik pribadi. Karakteristik ini disebut dasar diskriminasi. Padahal, Undang-Undang memberikan perlakuan sama untuk melindungi. Kelompok semacam ini muncul menjelang pemilu, artinya, Islamophobia menjadi isu yang sangat menarik.
Baca Juga : Perlukah Pencantuman Kolom Agama dalam Kartu Tanda Penduduk?
Diaspora Muslim Indonesia dalam Menanggapi Islamophobia di Belanda
Kelompok imigran dari negara-negara Islam, terutama mereka yang memilih untuk menetap di Belanda, telah membentuk diaspora. Banyak yang berkontribusi dalam membangun infrastruktur Islam di Belanda, dengan lebih dari 430 masjid didirikan. Azan di Belanda juga tidak asing bagi penduduk setempat. Banyaknya mahasiswa dari negara-negara Muslim telah memberikan nuansa dan keragaman tersendiri. Saat ini, ratusan organisasi Islam di Belanda, baik besar maupun kecil, telah menjadi bagian dari lanskap keagamaan negara tersebut.
Munculnya Islamophobia di Belanda lebih disebabkan oleh faktor media yang sengaja mengangkat isu-isu seputar terorisme yang pelakunya adalah Muslim dan berasal dari negara-negara Islam. Pembingkaian media tersebut menyasar kaum Muslim, tanpa kecuali, termasuk diaspora Muslim Indonesia. Oleh sebab itu, strategi yang dilakukan diaspora muslim Indonesia melalui ormas keagamaan yang ada diharapkan dapat meredam stigma negatif bahwa Islam adalah agama kekerasan yang identik dengan terorisme. Jika dikaitkan dengan diplomasi multitrack, maka ada beberapa “track/jalur” yang bisa dilakukan yakni track pertama untuk aktor negara, track kedua untuk aktor non-negara, track keempat untuk warga negara, track kelima untuk lembaga pendidikan, track keenam untuk aktivis, track ketujuh untuk keagamaan dan track kesembilan melalui media.
Jalur pertama adalah diplomasi yang dilakukan negara, dikenal dengan diplomasi resmi Kementerian Luar Negeri. Jalur ini menjadikan proses adaptasi terhadap instrumen kebijakan pembuatan regulasi perdamaian. Jalur ini merupakan strategi adaptasi yang dilaksanakan oleh lembaga negara untuk memberikan narasi resmi guna menciptakan harmonisasi dan perdamaian.
Jalur kedua adalah aktor non-negara. organisasi keagamaan dan organisasi sosial lainnya yang fungsinya melibatkan aktor dan organisasi non-pemerintah serta organisasi profesional untuk menyebarkan narasi positif Islamophobia. Pada jalur ini, aktor non-negara profesional berusaha menganalisis, mencegah, menyelesaikan, dan mengelola konflik internasional. Jalur ini merupakan strategi adaptasi yang diterapkan oleh lembaga non-negara, yaitu peran organisasi keagamaan dan organisasi sosial untuk memberikan narasi positif agar tidak tercipta sigma negatif karena jalur ini sangat rentan menjadi korban Islamophobia di suatu kawasan.
Jalur keempat melibatkan warga negara. Ormas keagamaan memiliki peran yang signifikan dalam menyebarkan narasi positif Islam Nusantara untuk melawan Islamophobia di Belanda karena ormas tersebut bersentuhan langsung dengan masyarakat Belanda. Strategi Adaptasi yang diterapkan dengan cara ini adalah dengan memberikan upaya komunikasi yang wajar untuk menjelaskan pemahaman kepada warga negara agar keterlibatan warga negara tidak menimbulkan hal yang berlebihan stigma negatif dan reaksi berlebihan.
Jalur kelima adalah jalur diplomasi yang dilakukan para mahasiswa di Belanda menjadi duta diplomasi dalam pendidikan. Strategi adaptasi dalam jalur ini sangat penting, karena mahasiswa Indonesia sedang menempuh pendidikan di Belanda. Program yang diselenggarakan oleh mahasiswa Indonesia di Belanda dengan melaksanakan penelitian saling tukar pikiran (forum diskusi yang diselenggarakan secara rutin di masjid-masjid di Belanda) telah berhasil meraih beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) dari Kementerian Keuangan Republik Indonesia dan program Doktor 5000 dari Kementerian Agama Republik Indonesia.
Jalur enam merupakan diplomasi yang ditempuh melalui advokasi oleh para aktivis. Pada jalur ini, organisasi keagamaan secara aktif membangun dialog antar komunitas agama yang ada. Strategi adaptasi dilakukan dengan melakukan komunikasi dua arah antar komunitas agama lain di Belanda, yaitu agama-agama yang berkembang di Belanda.
Jalur ketujuh yakni diplomasi melibatkan komunitas keagamaan. Diaspora Muslim Indonesia memanfaatkannya untuk menyebarkan Islam Nusantara yang damai dengan bekerja sama dengan Dewan Fatwa dan Penelitian Eropa untuk ikut menentukan fatwa di Eropa. Strategi adaptasi ini menghasilkan rekomendasi kepada otoritas yang berwenang, yang dapat memberikan masukan kepada parlemen agar regulasi yang diputuskan lebih membawa keberkahan bagi semua dan memberikan perlindungan bagi semua warga negara tanpa memandang suku, ras, dan agama.
Jalur kesembilan yakni mencakup diplomasi yang dilakukan melalui penyebaran informasi dan komunikasi. Peran utama teknologi informasi dan komunikasi adalah untuk menyebarkan pengetahuan tentang perdamaian, resolusi konflik, dan hubungan internasional kepada masyarakat umum. Strategi adaptasi ini, organisasi keagamaan harus bekerja sama dengan jalur pertama, Kementerian Luar Negeri.
Lembaga negara resmi harus hadir di tengah masyarakat diaspora muslim Indonesia. Kehadiran lembaga negara resmi adalah untuk membangun dialog antar anggota diaspora muslim terkait isu Islamophobia yang dialami secara langsung di masyarakat, baik pada isu ekonomi maupun diskriminasi sosial, sehingga isu akar rumput dapat disampaikan melalui diplomasi resmi negara. Kelemahan pada jalur ini dapat dioptimalkan oleh lembaga negara. Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah sebagai ormas Islam terkemuka di dunia memiliki peran yang sangat strategis dalam menyebarluaskan pemahaman dan praktik moderasi beragama ke seluruh dunia sebagai wujud ideologi Islam raÿmatan li al-\'ÿlamÿn (Islam adalah rahmat bagi semesta alam), mencari solusi konflik di Timur Tengah, memerangi ekstremisme, dan Islamophobia di Barat.
NU dapat memainkan peran ganda dalam diplomasi yang bersinergi dengan Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Agama Republik Indonesia melalui jaringan Nahdlatul Ulama di seluruh dunia, termasuk PCINU Belanda, dengan menawarkan konsep Islam Nusantara sebagai inspirasi bagi peradaban dunia. Strategi adaptasi yang dilakukan ormas Islam tersebut diharapkan dapat mereduksi stigma bahwa Islam adalah agama kekerasan yang identik dengan terorisme.
Kesimpulan
Penelitian tersebut menegaskan bahwa diaspora muslim Indonesia telah memberikan respons positif terhadap Islamophobia yang masih marak di Belanda. Oleh karena itu, direkomendasikan agar pemerintah Indonesia melalui KBRI Den Haag membuka ruang dialog antara ormas yang memperjuangkan moderasi beragama dengan masyarakat di Belanda sebagai soft diplomacy untuk meredam narasi Islamophobia. Jadi, penting bagi pemerintah Republik Indonesia untuk membuka ruang bagi fasilitasi diplomasi melalui dialog antara ormas Islam dengan pemerintah Belanda.