Donald Trump dan Manifestasi Islamophobia
Riset SosialArtikel berjudul “Hegemony of Trump: Manifestation of Islamophobia in an Inaugural Speech” merupakan karya Badarussyamsi, Nur Syam, Ermawati dan As’ad. Tulisan ini terbit di Indonesian Journal of Applied Linguistics tahun 2024. Studi tersebut menawarkan wawasan dari perspektif analisis wacana kritis untuk memahami wacana seputar Islamophobia. Analisis wacana kritis milik Fairlough dengan tiga dimensinya yakni tes, praktik kewacanaan dan praktik sosial menjadi pendekatan yang digunakan. Penelitian tersebut juga mengadaptasi model analisis dua tahap guna mendeskripsikan dan menafsirkan bagian pidato kunjungan Donald Trump yang terkesan kontradiktif. Ia yang menawarkan perdamaian justru mencerminkan Islamophobia dalam pidatonya. Terdapat lima sub bab dalam resume tersebut. Pertama, pendahuluan. Kedua, stigmatisasi Fundamentalisme Islam: dari kekerasan agama menjadi terorisme. Ketiga, konstruksi hegemoni dan dominasi dalam wacana Fundamentalisme Islam. Keempat, pidato Trump di India sebagai wacana hegemoni. kelima, tinjauan konteks sosial-budaya: manifestasi Islamophobia dalam pidato kunjungan.
Pendahuluan
Dikursus fundamentalisme Islam banyak dikaitkan dengan berbagai organisasi dan tokoh agama Islam, sehingga menjadi stigma baru yang menggantikan stigma lama yang diciptakan orientalisme klasik. Istilah fundamentalisme Islam menjadi kabur jika diartikan sebagai kekerasan, terorisme, ekstremisme atau jihad. Hubungan ini kemudian menjadikan Islam identik dengan hal negatif, sehingga menimbulkan apa yang disebut dengan Islamophobia.
Jika ditinjau dari sejarah, fundamentalisme merupakan istilah yang lahir dari tradisi keagamaan Kristen. Fundamentalisme dikaitkan dengan beberapa aliran agama Kristen seperti Gereja Presbiterian, Evangelikalisme, dan Baptisan. Mereka menentang modernisme dan budaya modern. Selain itu, mereka menawarkan pandangan agama yang kaku, fanatik dan intoleran dengan memahami agama sebagai rangkaian diktum yang kaku. Secara teologis, kaum fundamentalis meyakini bahwa Kristen adalah agama yang diterima langsung oleh Kristus dan para Rosulnya, sehingga agama tersebut adalah final dan mutlak.
Hal yang menjadi masalah adalah istilah fundamentalisme kemudian diterapkan di dunia Islam. wacana fundamentalisme Islam bermula dari fenomena Revolusi Iran yang dikemukakan Imam Khomeini pada 1979. Namun ketika tragedi 9/11 terjadi, kejadian ini disebut juga dengan fenomena ‘Fundamentalisme Islam.’ Sampai saat ini, proliferasi media membantu mendorong pandangan negatif yang disajikan melalui publikasi. Selain itu, beberapa akademisi juga banyak mengulas mengenai fundamentalisme Islam, ekstremisme Islam, dan terorisme. Wacana ini tentu memiliki kontribusi besar terhadap buruknya ketegangan antara muslim dan non-muslim dalam berbagai konteks sosio-kultural yang berbeda, seperti Barat dan Islam yang umumnya dikenal dengan Islamophobia. Wacana seputar Islamophobia telah menjadi alat tersirat guna membangun hegemoni dan dominasi atau dalih politik guna menunjukkan kekuasaan.
Stigmatisasi Fundamentalisme Islam: Dari Kekerasan Agama Menjadi Terorisme
Fundamentalisme Islam diidentifikasi sebagai gaya pemahaman tekstual mengenai keimanan dan amalan yang mendasari gerakan pemurnian agama. Selain itu, fundamentalisme Islam dapat ditandai dengan penerapan hukum syariat Islam di mana konsep “hikmiyah dan Rabbaniyah” ala Syyid Qutb menjadi cikal bakalnya. Mereka memandang Islam sebagai sistem hukum yang wajib bagi masyarakat masa kini, sedangkan pemerintah adalah batu loncatan melaksanakan hukum agama. Fundamentalisme Islam juga dapat didefinisikan sebagai kelompok tersendiri yang tidak ada hubungannya dengan Isam. Hal ini adalah ancaman terhadap politik, keamanan dan stabilitas global. Gerakan mereka adalah politisasi agama yang agresif guna mencapai tujuan non-agama.
Sebagai sebuah gerakan, fundamentalisme Islam memerangi sekularisme negara Barat. Oleh sebab itu, tujuan perang Barat melawan Islam haruslah untuk “mengusir” fundamentalisme Islam. Memerangi Islam bukan berarti mengganti Islam dengan agama Barat, melainkan memaksa Islam meletakkan senjatanya dan menerima kebebasan masyarakat sekular. Istilah fundamentalisme Islam condong berpegang pada nilai-nilai tradisional dan visi masa lalu dibandingkan orientasi pada masa depan. Oleh sebab itu, fundamentalisme Islam dianggap sebagai simbol keterbelakangan Islam.
Baca Juga : Komunikasi Antar Budaya dan Agama: Fandom K-Pop di Indonesia
Di era kekinian, Wahabisme kerap dikaitkan dengan aksi kekerasan dan terorisme. Beberapa akademisi mengaitkan pengaruh Wahabisme dengan peristiwa 9/11. Benham Bahari dan Mehdi Bakhshi Sheikh Ahmad menyatakan bahwa ada kombinasi Wahabisme, Qutbisme, dan al-Qaeda pada 9/11. Ia kemudian menyebutnya dengan “Neo-Wahabisme.” Wacana yang berkembang pasca tragedi 9/11, khususnya di media besar Amerika seperti The New York Times telah menyeret fundamentalisme Islam sebagai terorisme. Dampak peristiwa 9/11 adalah kekhawatiran negara-negara Eropa terhadap penetrasi fundamentalisme Islam di negaranya, seiring dengan peningkatan populasi komunitas muslim di Eropa dan ingatan akan Revolusi Iran. Terkait 9/11, media Barat menciptakan stereotip dengan mengaitkan terorisme dengan fenomena hijab, aktivitas salat berjamaah di ruang publik sebagai fundamentalisme Islam.
Konstruksi Hegemoni dan Dominasi dalam Wacana Fundamentalisme Islam
Kajian tersebut memberikan argumentasi bahwa berapa pun jumlah bahasa, terminologi, penyebutan dan sebuah wacana dipandang memiliki konten yang memadai serta diyakini memiliki tujuan tersirat sekaligus berimplikasi pada realitas sosial. Hal ini termasuk pada penggunaan fundamentalisme Islam dalam pidato politik yang mengarah pada Islamophobia. Berdasarkan teori hegemoni, dominasi dapat mencakup pembentukan kehidupan sehati-hari, perasaan dan gagasan, dalam hal ini bahasa penting pada konteks bagaimana menafsirkan dunia dan menciptakan makna. Jadi, bahasa adalah salah satu alat hegemoni.
Dominasi Barat terhadap Islam sering dilakukan melalui penyebaran stereotip mengenai masyarakat Islam dan perempuan di media dunia. Terciptanya hegemoni diawali dengan mengasosiasikan dan menjadikan suatu peristiwa sebagai representasi budaya dan agama, dalam hal ini identik dengan Islam. Caranya adalah mengambil bentuk tertentu dari produksi budaya yang luas dan beragam, kemudian menggolongkannya sebagai Islam atau Timur Tengah.
Ketergantungan terhadap Barat dalam konteks permasalahan yang sengaja dimunculkan oleh Barat akan semakin memperkuat posisinya dalam mendominasi dan menghegemoni Islam. Selain itu, wacana terorisme dan fundamentalisme adalah bingkai yang dibuat untuk menjadikan Islam sebagai penyebab utama sekaligus ancaman terhadap hegemoni Barat di seluruh dunia. Terakhir, gambaran yang dibangun pada kalangan masyarakat Eropa adalah Islam telah direduksi menjadi ekstremisme dan ancaman pembunuhan. Wacana fundamentalisme Islam telah menempatkan Barat pada puncak kekuasaan. Istilah fundamentalisme Islam dengan segala parameternya adalah wacana hegemonik yang melegitimasi dominasi Barat. Melalui wacana “ancaman Islam” terhadap Barat setelah 9/11, Amerika menjalankan dominasinya terhadap sistem internasional.
Pidato Trump di India Sebagai Wacana Hegemoni
Pada analisis tahap pertama, teks dideskripsikan dengan merinci ungkapan, misalnya pilihan leksikal, struktur kalimat dan tenses. Berdasarkan leksikal, ditemukan kata seperti Islam, fundamentalis, radikal, ekstremis, terorisme dan ISIS. Kata terorisme dan variasinya sebanyak 12 kali. Pilihan leksikalnya jelas merujuk pada Islam dan asosiasi negatifnya. Pilihan leksikal tersebut juga dikolokasikan dengan konotasi negatif lainnya seperti ancaman, monster, pembunuh, haus darah, sehingga memberikan kesan bahwa Islam adalah entitas yang berbahaya.
Baca Juga : Waspadai Pencuri Pahala Kala Puasa
Analisis lebih lanjut terhadap struktur kalimat menemukan bahwa jenis verba yang digunakan berbeda, tergantung subjek kalimat. Apabila kalimatnya menggunakan subjek seperti Amerika Serika dan India, atau kedua negara kita, maka kata kerja yang ditemukan adalah tekad kuat dan kerja sama. Pilihan ini menetapkan posisi Amerika Serikat dan India sebagai kolaborator. Namun pada bagian berikutnya kalimat tersebut diikuti dengan frase objek seperti ancaman terorisme Islam radikal, penderitaan dan gejolak terorisme, serta menghentikan dan melawan ideologi teroris. Kondisinya seakan Islam telah menimbulkan bahaya serius.
Pada ekspresi lain, kalimat tersebut menggunakan subjek yang mengacu pada Trump atau representasinya dalam kata ganti seperti “kami.” Melalui kata ganti ini, Trump mengidentifikasi dirinya sebagai anggota Amerika Serikat dan berbicara atas nama negaranya. Di lain sisi, kata keterangan seperti “ di bawah pemerintahan saya” menyiratkan bahwa suatu tindakan dilakukan oleh Trump sebagaimana diamanatkan atas posisinya sebagai Presiden Amerika Serikat yang memberinya wewenang untuk memimpin gerakan tertentu.
Analisis teks menunjukkan bahwa pidato Trump dalam acara tersebut menjadi pengingat bagi khalayak India bahwa Islam Fundamentalis yang sering dikaitkan dengan terorisme, ekstremisme, dan radikalisme adalah masalah dan ancaman besar bagi India. Sebab, India sejatinya telah damai, maju, harmonis dan memiliki pemimpin yang baik. Menjadikan Islam sebagai masalah, Trump memberi dukungan terhadap hak negara guna mempertahankan kedaulatan dan keamanannya dari Islam. Terlihat relevansi penyebutan tentang terorisme oleh Islam Fundamentalis yang dilatarbelakangi oleh niat Amerika Serikat guna menjual peralatan militernya ke India.
Tinjauan Konteks Sosial-Budaya: Manifestasi Islamophobia dalam Pidato Kunjungan
Pidato kunjungan dengan durasi 30 menit disampaikan oleh Trump pada 24 Februari 2020. Acara tersebut dihadiri kurang lebih 125.000 orang di kota Ahmedabad selama kunjungannya ke India. Kunjungan tersebut adalah acara besar yang menghabiskan dana sekitar Rs 38 lakh, setara dengan 45.000 USD.
Pada Desember 2019 yakni dua bulan sebelum kedatangan Trump, pemerintah India mengesahkan Undang-Undang (UU) tentang kewarganegaraan. Mereka memodifikasi UU tahun 1955 yang memungkinkan naturalisasi sederhana dan cepat terhadap minoritas yang “teraniaya” dari Bangladesh, Afghanistan, dan Pakistan yang menganut enam agama yakni Hindu, Sikh, Budha, Jain, Parsi, dan Kristen, namun tidak menyebut nama Islam. Beberapa permohonan telah diajukan ke Mahkamah Agung India untuk menentang UU tersebut. Para pengkritik mengatakan langkah tersebut adalah agenda nasionalis Hindu, Pemerintahan Perdana Menteri Narendra Modi sejak menjabat enam tahun lalu.
India sendiri memang memiliki sejarah panjang konflik dengan Islam. Bahkan, sebelum kedatangan Trump saat itu, telah terjadi bentrokan antara kelompok yang menentang dan mendukung UU tersebut. Situasi ini memberikan dua keuntungan bagi Trump. Pertama, ia bisa menyampaikan pandangan anti-Islam seperti yang ia lakukan sebelumnya. Kedua, Trump mendapat simpati India, tepatnya dari partai penguasa yang menilainya memberi dukungan terhadap UU yang telah dibuat.
Banyak hal yang dapat mengancam India, namun Trump memilih Islam Fundamentalis sebagai masalah yang diangkat dalam pidatonya. Sejarah muncul Islamophobia di Amerika pasca 9/11 mungkin turut mempengaruhinya. Namun, bagi Trump hal tersebut bukan sesuatu yang baru pada rekam jejaknya, ia kerap membahas Islam pada konotasi negatif baik dalam wawancara, pidato, maupun tulisannya di media sosial.
Kesimpulan
Secara garis besar penelitian tersebut menunjukkan keterkaitan antara pidato Trump yang memuat pernyataan negatif tentang Islam dengan keseluruhan aspek sosio-kultural seputar pencantumannya dalam pidato tersebut. Hal ini menunjukkan adanya indikasi bahwa Islam digambarkan secara negatif. Oleh sebab itu, hal ini menunjukkan wujud kekuatan dominan yang coba diterapkan Trump melalui pidatonya. Kesan buruk yang dihasilkan oleh wacana fundamentalisme Islam dirancang menjadi kontrol yang dapat menghegemoni tidak hanya kelompok pembuat wacana tetapi komunitas atau masyarakat di mana identitas fundamentalisme Islam berada. Jika pembuat wacana dan masyarakat sasaran sepakat mengenai buruknya representasi kelompok yang merepresentasikan sebuah wacana, maka berarti mereka memiliki musuh bersama yang sepakat diperangi.