Islam dalam Bingkai Media
Riset SosialTulisan berjudul “Media, Stereotypes and Muslim Representation: World after Jyllands-Posten Muhammad Cartoons Controversy” adalah karya Rūta Sutkutė. Karya ini terbit di Journal of Eureka: Social and Humanities tahun 2019. Tulisan tersebut berupaya untuk mengetahui bagaimana media membentuk nilai, pandangan dunia, dan menciptakan stereotip melalui analisis kartun Nabi Muhammad SAW. Sutkutė menganalisa media online dari empat negara, yakni The New York Times di Amerika Serikat, The Independent di Inggris, Greater Kashmir di India, dan Daily Star di Lebanon. Ia menggunakan pendekatan analisis wacana pasca surat kabar Denmark “Jyllands-Posten” mencetak dua belas kartun yang menggambarkan Nabi Muhammad SAW dan dicetak ulang pada akhir Januari 2006. Selain itu, Sutkutė menggunakan mix methods. Di dalam review ini akan menjelaskan ulang penelitian Sutkutė dalam tiga sub bab. Pertama, konsep Islamophobia dan media. Kedua, analisa kuantitatif. Ketiga, ancaman Islamisme terhadap nilai budaya barat.
Konsep Islamophobia dan Media
Sutkutė menggunakan konsep mengenai media dari beberapa tokoh. Pertama, Mc.Quail dalam bukunya yang berjudul “Mass Communication Theory: An Introduction” menjelaskan bahwa opini media didasarkan pada premis bahwa media memiliki pengaruh yang signifikan. Sebab, media menunjuk pada kerangka acuan yang digunakan untuk menafsirkan peristiwa di masyarakat. Kedua, Nauman, Just dan Crigler dalam buku berjudul “Common Knowledge and the Construction of Political Meaning” menjelaskan bahwa media memberikan sebuah “putaran” pada cerita dengan mempertimbangkan kendala organisasi, modal, dan penilaian dari khalayak. Ketiga, Friedland dan Zhong dalam buku berjudul “International Television Coverage of Beijing Spring 1989: A Comparative Approach” menyatakan bahwa media merupakan jembatan antara ranah sosial dan budaya yang lebih besar terkait pemahaman mengenai interaksi sosial. Keempat¸ Gamson, Modigliani dn Braungart dalam buku “The Changing Culture of Affirmative Action” menjelaskan bahwa media adalah ide pengorganisasian pusat atau alur yang memberikan makna pada pengungkapan setiap peristiwa, bingkai tersebut menunjukkan mengenai esensi dan kontroversi dari suatu peristiwa.
Secara lengkap Sutkutė juga menjelaskan bahwa sebelum data dan fakta disajikan dalam media, dilakukan penyeleksian yang didorong oleh motif finansial. Peran utama media adalah memberikan fakta, tetapi terdapat jurang besar antara apa yang disajikan oleh media dan kenyataan. Kenyataan sering kali tersembunyi dibalik realitas media. Di dalam wacana media fokus terhadap “kekuatan tersembunyi”. Hal tersebut merupakan komponen utama dalam analisa media yang membentuk stereotip dan representasi realitas.
Selanjutnya, Sutkutė juga meminjam beberapa pemikiran tokoh dalam menjelaskan konsep Islamophobia. Pertama, Kruse menggambarkan Islamophobia sebagai proses dan hasil. Islamophobia condong menjadi sarana membentuk, menetapkan dan memulai prasangka. Kedua, C. Allen menjelaskan bukti bahwa Islamophobia adalah sebuah proses dengan mendeskripsikan tiga elemen. Pertama, pembentukan stereotip yakni proses yang merangkum pembentukan citra, mengatur perbedaan antara muslim dan non-muslim. Kedua, representasi yakni proses sikap dan persepsi yang dibentuk melalui ciri visual tertentu. Misalnya, mencocokkan hijab dengan fundamentalisme. Ketiga, Islamophobia adalah ekspresi rasisme karena dilandasi kebencian terhadap satu kelompok masyarakat karena keyakinan agama, tradisi dan etnis.
Analisa Kuantitatif
Sutkutė menemukan terdapat 1.062 publikasi di situs web dengan mancari kata kunci “Muhammad Cartoons”. Analisis publikasi internet dilakukan dengan mengkolaborasikan penelitian kuantitatif dan kualitatif (Mix Methods). Penelitian kuantitatif digunakan sebagai metode tambahan memeriksa kecenderungan kata-kata kunci utama. Sedangkan, penelitian kualitatif digunakan untuk mendapatkan data yang akurat sebagai “mediator”.
Pada analisis kuantitatif, Sutkutė menunjukkan frekuensi empat konsep atau kombinasi kata, yakni Islamisme/Terorisme (Islamism/Terrorism), Kemarahan/Kekerasan (Anger/Violence), Nilai yang Berbeda (Different Values), Kebebasan Berpendapat (Freedom of Speech). Hasilnya adalah, Sutkutė menemukan terdapat 115 artikel yang menyebutkan kata “Islamism/Terrorism”, 121 artikel yang menyebut kata “Anger/Violence”, 64 artikel yang menyebutkan kata “Different Values”, dan 89 artikel yang menyebutkan kata “Freedom of Speech”
Citra Islam dalam empat Media dari Negara Berbeda
Sutkutė menjelaskan bagaimana empat media dari empat negara yang berbeda dalam memberitakan mengenai Islam. The New York Times media di Amerika Serikat dan The Independent media di Inggris sebagai dua negara dengan mayoritas non-muslim, mengutip perwakilan Gereja Katolik bahwa mereka mengungkapkan keprihatinan yang mendalam atas hubungan antara Islam dan kekerasan. Artinya, klaim tersebut menunjukkan bahwa Islam digolongkan sebagai musuh bagi masyarakat barat. Sutkutė merasa bahwa media barat senagaj menciptakan citra negatif umat Islam dengan menampikan kekerasan sebagai ciri utama budaya Islam. Islam dipandang sebagai ancaman, karena berusaha menakhlukkan barat dengan cara yang sama seperti yang mereka lakukan 1400 tahun yang lalu.
Sutkutė menemukan bahwa, pada surat kabar Daily Star milik media Lebanon dan Grater Kashmir milik media India memberitakan Islam secara berbeda. Islamisme, terorisme dan ekspresi kekerasan dihadirkan dari aspek yang berbeda. Islamophobia digunakan untuk mencirikan realitas sosial dalam demokrasi libral barat. Selain itu, Islamophobia dianggap sebagai alat yang mengkonstruksi pandangan tentang Islam sebagai musuh.
Berdasarkan hasil analisa Sutkutė, konteks Kartun Nabi Muhammad SAW dalam media dari empat negara yang berbeda menunjukkan bahwa, penyajian berita mengenai Islam di media sangat bergantung pada konteks sosial budaya setempat. Artinya, artikel yang dimuat oleh media dibuat sedemikian rupa sehingga khalayak mengambil langkah tertentu. Media barat The New York Times dan The Independent menggambarkan muslim sebagai masyarakat yang homogeny dan mendukung kekerasan, permusuhan, dan fanatisme. Sedangkan, media India dan Lebanon yakni Grater Kashmir dan Daily Star membentuk nilai dan informasi yang berlawanan. Mereka mencoba memobilisasi masyarakat sehigga membentuk pola pikir bahwa protes kekerasan disebabkan oleh media.
Kesimpulan
Di dalam menyiapkan tulisan yang akan dipublikasi, media memang akan memperhatikan beberapa hal. Salahtunya, rating atau profit. Artinya, di dalam menuliskan fakta, media memiliki unsur subjektif didalamnya. Tulisan Sutkutė ditulis secara terstruktur dan jelas. Ia menggunakan konsep dan dianalisa dengan temuan data yang ia dapatkan dengan elok. Penelitian ini semakin menambah penetahuan bahwa media bukanlah instansi yang “independen”.