(Sumber : www.nursyamcentre.com)

Islamophobia dan Kesenjangan Gender Wanita Muslim di Swedia

Riset Sosial

Tulisan berjudul “Islamophobia, Representation and the Muslim Political Subject: A Swedish Case Study” merupakan karya Nina Jakku. Karya Jakku terbit di Societies Journal yang dipublikasi oleh Multidisciplinary Digital Publishing Institute (MDPI) di Swiss.  Artikel tersebut membahas mengenai bagaimana pengucilan perempuan muslim dari berbagai bidang umum di Swedia, yang fokus pada peristiwa pembatalan pemutaran film berjudul “Burka Songs 2.0”. Serta, stereotip terhadap Islamophobia dan kesenjangan gender yang terkait dengan wanita muslim di Swedia, dari 14 artikel di surat kabar Swedia. Jakku menggunakan pendekatan Critical Discourse milik Teun A. Van Dijk yang bertujuan memberi kontribusi terhadap pemahaman mengenai masalah sosial untuk menunjukkan kesenjangan. Tulisan ini akan menuliskan review karya Jakku dalam empat sub bab. Pertama, kesetaraan gender dan Islamophobia. Kedua, diskusi media dan proses politik. Ketiga, wacana hukum niqab dan jilbab. Empat, gender dan representasi media.

  

Kesenjangan Gender dan Islamophobia 

  

Di dalam menjelaskan gender dan Islamophobia Jakku meminjam konsep keduanya dari tiga tokoh. Pertama, Salman Sayyid dalam bukunya “Thinking Through Islamophobia” menyatakan bahwa, Islamophobia baik dalam istilah maupun konsep digunakan secara luas, sering kali diperdebatkan dengan “panas” dan disangkal keberadaannya. Islam digambarkan sebagai antitesa terhadap barat, pada konteks dimana muslim memiliki signifikansi politik. Kedua, Mattias Gardell yang menyatakan bahwa  Islamophobia adalah prasangka yang “direproduksi” secara sosial dan kebencian terhadap Islam, serta tindakan dan praktik yang menyerang, mengecualikan, atau mendiskriminasi orang atas apa yang mereka yakini (Islam). Ketiga, Otterbeck dalam buku Mirza berjudul “Embodying the Veil: Muslim Women and Gendered Ismoplobia in New Times”, menyatakan bahwa, Islamophobia memanfaatkan praktik gender. Pada dasarnya stereotip dan bias berbeda-beda tergantung pada jenis kelamin seseorang. Wanita muslim yang berjilbab sebagian besar dikonstruksikan sebagai kelompok yang homogen dan tertindas. 

  

Diskusi Media dan Proses Politik

  

Setelah menjelaskan mengenai kesetaraan gender dan Islamophobia dengen konsep dari tiga tokoh, Jakku melanjutkan tuisannya dengan menjelaskan mengenai pembatalan penayangan film “Burka Song 2.0”. Jakku menyajikan perdebatan hingga muncul tuduhan bahwa film ini “membentuk seorang yang Islamis”. Istilah Islamis digunakan sejak peristiwa 9/11, pada banyak debat media dan dikaitkan dengan teroris. Perdebatan tersebut terjadi antara pejabat publik dengan sutrada ra pembuat film, Hanna Högstedt. Jakku berpendapat bahwa pembatalan pemutaran film “Burka Song 2.0” adalah masalah politik. Namun, pada tanggal 27 Maret 2018, stasiun televisi Swedia mengumumkan bahwa film tersebut akan diputar di Rumah Sastra Gothenburg tepat 16 April. 

  

Wacana Hukum Niqab dan Jilbab

  

Jakku secara jelas menuturkan bahwa tidak ada hukum nasional yang spesifik melarang pemakaian niqab atau jilbab. Lebih lanjut Jakku menjelaskan bahwa satu-satunya konteks larangan mengenai niqab dan jilbab dapat diberlakukan di dalam perusahaan swasta sesuai kebijakan yang diberlakukan. Kebijakan tersebut adalah larangan simbol filosofis, agama, dan politik sesuai dengan keputusan Pengadilan Uni Eropa pada 14 Maret 2017. 

  

Jakku juga menjelaskan negara-negara yang melarang niqab dan jilbab, karena dianggap sebagai identitas. Pada dasarnya larangan niqab dan jilbab sejak tahun 2011 sudah mulai diberlakukan. Prancis, Belanda, Italia, Swiss, Catalonia dan Belgia memberlakukan larangan nasional menutupi wajah. Selain itu, Perancis juga melarang penggunaan kerudung di sekolah. Denmark dan Spanyol juga melarang simbol agama dalam sektor tertentu.  Pada tahun 2016 Bulgaria memberlakukan larangan terhadap niqab. Pada 2017 Austria dan Belgia tahun 2018 juga mengikuti jejak Bulgaria untuk melarang niqab. 

  

Gender dan Representasi Media

  

Di dalam menjelaskan gender dan representasi media, Jakku menggunakan pemikiran lima tokoh untuk menjelaskan permasalahan tersebut. Pertama, Manuela Marin dalam tulisannya yang berjudul “Gender and Sexuality” menyatakan bahwa, perbedaan kehidupan, posisi dan peluang perempuan sulit dipahami hanya dengan analisa tunggal mengenai gender. Kedua, Gahazala Chaundry dalam tulisannya berjudul “Varför misstror många oss som bär slöja?” dalam konteks media di Swedia, ia menyatakan bahwa masyarakat Swedia melihat perempuan muslim sebagai wayang. Artinya, ia tidak dapat membela apa yang menjadi miliknya, tidak memiliki karakter, dan membiarkan mereka dipimpin oleh orang lain. Jilbab adalah sesuatu yang dianggap dipaksakan, diatur oleh orang lain atau doktrinasi untuk percaya bahwa jilbab adalah sesuatu yang baik. Ketiga, Sophia Jarl seorang komisaris oposisi “sayap kanan” di Swedia menulis artikel berjudul “The Burka and Niqab are Symbols of Oppression”. Ia tidak hanya mengkritik tentang cadar, namun juga pelarangan pemakaiannya di sekolah. Jarl menambahkan bahwa jilbab dan niqab bukanlah tentang agama, melainkan struktur budaya, tradisional dan patriarki.  Keempat, Jan Guillou menulis artikel berjudul “Sverige ska inte tillåta kvinnoförnedrande mundering i skolorna”. Ia menyatakan bahwa Swedia seharusnya tidak mengizinkan “degradasi” perempuan di sekolah. Kelima, Lars Aberg dalam artikelnnya berjudul “Varför inte sitta naken i klassrummet?” menyatakan bahwa niqab adalah “fenomena religius”. Artinya, dengan istilah kebebasan beragama berarti setiap hal dapat dibenarkan jika diberi makna religius. 

  

Kesimpulan 

  

Secara garis besar tulisan Nina Jakku mencoba menyampaikan secara gamblang bahwa, stereotip digunakan untuk membenarkan dikotomi antara toleransi dan kesetaraan. Selain itu, lebih lanjut Jakku menemukan bawa sering kali komunikasi yang terjadi satu arah, yakni kaum mayoritas dan minoritas. . Jakku membahas dua fenomena yakni pro dan kontra pemutaran film “Burka Song 2.0” dan menganalisa 14 artikel media di Swedia yang merepresentasikan Islamophobia.  Namun, ia lebih banyak membahas bagaimana pendapat beberapa tokoh mengenai film, bukan dengan konsep Islamophobia yang ia jelaskan sebelumnya. Tulisan Jakku menggunakan pendekatan critical discourse tapi tidak menjelaskan secara detail bagaimana 14 surat kabar yang ia gunakan sebagai sumber dianalisis dengan teori tersebut. Ia hanya menjelaskan secara umum dengan perdebatan panjang. Selain itu, jika ditinjau dari judul, tulisan Jakku harusnya lebih mengarah pada Islamophobia. Namun, di dalam artikel Jakku, ia lebih banyak mengulas tetang gender dan media. Terlepas dari beberapa kekurangan tersebut, Tulisan Jakku membuktikan bahwa Islamophobia yang sering kali “disangkal” keberadaannya, dengan tegas Jakku membuktikan bahwa "Islamophobia does still exist."