(Sumber : cnbc indonesia )

Kajian Fatwa: Normalisasi Hubungan Diplomatik Israel dan Negara Muslim

Riset Sosial

Tulisan berjudul “On the Normalization of Diplomatic Relationship Between Israel and Muslim Countries: A Study of Classic Fiqh and Contemporary Fatwas” merupakan karya JM. Muslimin dan Mahmoud Mohamed Hosny. Artikel tersebut terbit di Journal of Islamic Studies: Al-Jamiah tahun 2021. Penelitian tersebut membahas tentang perbedaan pendapat hukum sarjana muslim terkait normalisasi hubungan diplomatik antara Israel dengan negara-negara Islam baik di masa lalu maupun modern. Tujuannya adalah membandingkan perbedaan pendapat dan memperjelas titik kesepahaman dan ketidaksepahaman yang telah disepakati bersama. Fokus pembahasan dimulai dari aspek teoretis hingga praktis melalui analisis fatwa dan konteksnya. Metode analisis yang digunakan adalah perbandingan hukum dan kontekstual. Terdapat enam sub bab dalam resume ini. Pertama, pendahuluan. Kedua, dasar hubungan muslim dengan non-muslim. Ketiga, legalitas jihad bersenjata secara umum. Keempat, legitimasi jihad melawan Israel. Kelima, legitimasi rekonsiliasi Islam dengan Israel. Keenam, normalisasi: antara kitab suci dan interpretasi. 

  

Pendahuluan 

  

Normalisasi hubungan antara Israel dengan negara-negara Islam merupakan perdebatan panas dan kontroversial. Belakangan ini, tema ini seakan menjadi tren untuk diperbincangkan. Berdasarkan perspektif normatif, hubungan antara muslim dan non-muslim memang bukan sebuah tema yang baru. Terutama, sejak negara Israel dibentuk tahun 1947 dengan deklarasi Balfour yang ditafsirkan oleh negara muslim sebagai perampasan hak kedaulatan atas tanah Pelestina. 

  

Dasar Hubungan Muslim dengan Non-Muslim

  

Di dalam penelitian ini, ulama dibagi atas dua kelompok. Pertama, dasar hubungan dengan non-muslim adalah perang, bukan perdamaian. Islam harus memerangi non-muslim sampai menjadi muslim atau memberikan jizyah. Pandangan ini dicetuskan oleh mayoritas ulama fuqaha, yakni Abdul Karim Zaidan, Mustafa Wasfi, Sayyid Quth, dan lain sebagainya. Kedua, dasar hubungan dengan non-muslim adalah perdamaian, dan perang hanya untuk hal yang mendesak dan kontingen. Pandangan ini dicetuskan oleh sebagian ulama seperti Al-Khattabi, Abu Muslim Al-Asfahani, Al-Qafal Al-Shaashi, dan lain sebagainya. 

  

Pandangan kelompok pertama berakar pada pendekatan tekstual maupun rasional. Tekstual mengacu pada makna umum dari ayat al-Qur’an Surah Al-Anfal ayat 39; Ali Imran ayat 19; dan At-Taubah ayat 29. Di sisi lain, pendekatan rasional berakar pada tindakan para sahabat yang melakukan perang untuk menaklukkan non-muslim. Para Khilafah tidak membahas masalah hubungan dengan non-muslim, melainkan mereka menanggapi panggilan jihad. Hal ini yang dianggap sebagai pemahaman akurat mengenai jihad sebagai panggilan sekaligus petunjuk bagi umat manusia. 

  

Pandangan kelompok kedua, mengacu pada al-Qur’an Surah Al Anfal ayat 61; Al-Baqarah ayat 208; Al-Mumtahanah ayat 8. Menurut Qaradawi klaim beberapa orang bahwa Islam disebarkan dengan pedang adalah sebuah kebohongan terhadap agama yang tidak memiliki dasar. Kekeliruan ini berimbas sangat buruk terhadap Islam dan dunia para muslim. Ia menolak pernyataan yang menyatakan bahwa jihad bertujuan untuk menghapus kekafiran, dan hal itu bukan kewajiban muslim. Kewajiban seorang muslim adalah memiliki personil atau tantara yang kuat, sehingga dapat menghalangi terjadinya perang. 

  

Legalitas Jihad Bersenjata Secara Umum


Baca Juga : Rekonstruksi Kurikulum Dalam Integrasi Ilmu: UINSI Samarinda

  

Pada dasarnya terdapat tiga pendapat berbeda terkait jihad. Pertama, jihad dalam arti berperang adalah kewajiban yang cukup “fary al-kifyya”. Artinya, kewajiban yang dibebankan kepada seluruh umat, nemun seseorang bisa tidak diwajibkan karena sudah ada jumlah umat yang cukup untuk melakukannya. Ibn Qudamah menyetujui bahwa jihad adalah kewajiban yang cukup. Kelompok ini mendasarkan pendapatnya pada al-Qur’an Surah At-Taubah ayat 122 dan Surah An-Nisa ayat 95. Kedua, jihad adalah kewajiban individu “fary al-‘ayn”. Ulama yang mempeloporinya adalah Sa’id ibn al-Musayyib dan Sayaf’i. Pendapat ini berdasarkan al-Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 216 dan Surah At-Taubah ayat 36. Ketiga, jihad adalah tindakan yang ‘direkomendasikan’. Ulama yang mempeloporinya adalah Ibn Omar at Thawri dan Ibn Shubrama. 

  

Legitimasi Jihad Melawan Israel 

  

Terdapat beberapa fakta terkait dengan jihad melawan Israel. Pertama, dasar hubungan muslim dengan Yahudi dan Sifat Konflik Melawan Israel. Mereka yang menganggap bahwa dasar hubungan dengan non-muslim adalah perdamaian, maka muncul anggapan bahwa pertempuran dengan Yahudi bukan demi agama, melainkan agresi dan kedudukan atas tanah mereka. Di sisi lain, mereka yang menganggap bahwa hubungan dengan non-muslim didasarkan pada perang dan pertempuran, maka muncul anggapan bahwa konflik masyarakat Yahudi dengan Palestina demi Yudaisme, bukan demi agresi atau perampasan tanah mereka. Sedangkan, sifat konflik melawan Israel adalah konflik ideologis keagamaan yang sesuai dengan identitas orang-orang Yahudi. 

  

Fatwa ulama yang menonjol terkait hal di atas adalah Qaradawi dalam bukunya berjudul “We and the West Qardhawi and the Jews, Thorny Questions and Critical Answers”. Di dalam buku tersebut ia menuliskan anggapannya bahwa isu Palestina merupakan isu pertama terkait dengan jihad kontemporer. Al-Qaradawi menganggap bahwa alasan konflik tersebut terjadi adalah Israel merupakan aresor yang merebut tanah Palestina, menggusur rakyatnya, memaksakan kehadiran mereka melalui kekerasan, ketidaksdilan, terorisme dan pembunuhan. Ia juga menegaskan bahwa tidak seorang pun yang memiliki hak untuk menyerahkan Palestina, sebab tanah tersebut merupakan anugrah bagi setiap muslim. 

  

Kedua, fatwa jihad melawan Israel. Para imam dari empat mazhab sepakat bahwa jihad atas pendudukan dan desakan aggressor di tanah kaum muslim merupakan kewajiban individu atas umatnya yang melebar dan menyempit sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan. Sebagian ulama menyampaikan kesepakatan ini, seperti Al-Mardawi bahwa “Barang siapa diizinkan berjihad, musuh ada di negaranya, ia harus berjihad tanpa keraguan.” Para Hanfiah menyatakan dalam kitab “ÿÿÿrt al-fatÿwi fÿ al-fiqh” karya Burhan al-Din dan dalam Kitab “al-Baÿr al-Rÿÿiq” karya Zain al-Din al- Marghÿnÿn, bin Nujaym. Maliki dinyatakan dalam “mukÿtaÿar illÿ” oleh Khalil bin Ishaq al-Jundi. Syafi’i disebutkan dalam kitab “asni al-mÿÿlb” karya Syekh Zakaria al-Ansari, dan dalam kitab “al-zawÿjir” karya Ibn Hajar al Haytham. Hambali disebutkan dalam kitab kašÿf al-qnÿ oleh Al-Bahouti, Ibn Qudamah dalam buku al-muyny, Ibn Taimiyah dalam buku “al-Siyasah al-Syariyyah\". 

  

Legitimasi Rekonsiliasi Islam dengan Israel 

  

Pertama, berdasarkan fikih klasik. Para ahli hukum mendefinisikan perjanjian perdamaian sebagai kewajiban untuk menghentikan pertempuran dan mencapai keselamatan bagi kedua belah pihak selama perjanjian. Mazhab Hanafi menjelaskan bahwa rekonsiliasi adalah berhenti berperang dalam jangka waktu tertentu dengan atau tanpa membayar denda. Mazhab Maliki beranggapan bahwa rekonsiliasi sebagai kesepakatan muslim dengan pihak yang bertikai. Mazhab Syafi’i mendefinisikan rekonsiliasi sebagai kesepakatan damai dengan orang yang bertikai untuk menghentikan perang dalam jangka waktu tertentu. Menurit Hanbali, rekonsiliasi merupakan persetujuan seorang pemimpim atau wakilnya dengan non-muslim guna menghentikan perang dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan kebutuhan. Secara ringkas, rekonsiliasi dalam fikih Islam diartikan dalam beberapa hal, yakni (1) sebagai perjanjian untuk menghentikan pertempuran dan agresi, (2) rekonsiliasi diperbolehkan jika didasarkan pada kepentingan Islam atau adanya kebutuhan; (3) diperintahkan oleh seorang pemimpin. 

   


Baca Juga : Penghormatan Terhadap Bendera Negara: Kafir kah?

Kedua, faktwa rekonsiliasi dengan Israel. Pada dasarnya, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulamaa kontemporer terkait adanya rekonsiliasi atas konflik Israel-Palestina. Pada prinsipnya rekonsiliasi bertujuan menghentikan pertempuran, mencegah agresi dan mencapai keamanan kedua belah pihak. Selain itu, tidak ada perbedaan pendapat pyla di antara ulama mengenai tidak diperbolehkannnya rekonsiliasi permanen, serta normalisasi penuh relasi dengan Israel selama kedudukannya masih berada di Palestina dan Masjid Al-Aqsa. 

  

Ketiga, fatwa larangan normalisasi. Fatwa ulama Palestina pada Januari 1935 larangan menjual tanah Palestina kepada orang-orang Yahhudi, serta larangan menjadi perantara, menengahi dan memfasilitasi dalam bentu apa pun. Kemudian, tahun 1956 Komite Masjid Al-Azhar mengeluarkan fatwa larangan rekonsiliasi permanen dengan entitas Israel dan perlunya jihad. Kemudian, fatwa Pehimpunan Cendekiawan Palestina juga melarang normalisasi dengan kependudukan Israel tahun 2019. Fatwa Al-Qaradawi juga menyatakan bahwa “Tidak diperbolehkan untuk membuat perjanjian damai dengan Israel, atau bentuk penyelesaian damai apa pun, menyerahkan kepada mereka sebagian tanah Palestina, dan pengakuan terhadap Israel adalah sebuah penghianatan. 

  

Keempat, fatwa mengizinkan normalisasi. Ibn Baz mengungkapkan fatwa bahwa “Setiap orang yang memimpin umat Islam, baik seorang raja, pangeran atau presiden, harus menmperhatikan kepentingan rakyatnya. Ia juga menjelaskan bahwa rekonsiliasi dengan orang Yahudi tidak membutuhkan kesetiaan atau kasih sayang, melainkan rasa aman antar dua belah pihak dan tidak saling menyakiti. Artinya, diperbolehkan berdamai apabila diperlukan dalam hal ketidakmampuan untuk memerangi mereka. 

  

Kelima, dalil larangan. Alasan larangan kontemporer adalah melarang perjanjian normalisasi karena dianggap tidak sesuai dengan bentuk perjanjian perdamaian hukum dalam fikih, sehingga tidak diperbolehkan secara Islam. 

  

Normalisasi: Antara Kitab Suci dan Interpretasi 

  

Menurut Abdullah Saeed, kaum literalis menggunakan interpretasi yang berpegang pada otoritas kitab suci, teks dan tradisi pada tingkat yang lebih tinggi. Mereka menganggap bahwa semakin dekat interpretasi dengan otoritas tertinggi, maka semakin valid dan andal interpretasinya. Oleh sebab itu, setelah nabi wafat, pihak yang dianggap paling berhak dalam menafsirkan al-Qur’an adalah generasi sahabat yang disusul generasi tabi’in. Para sahabat dan tabi\'in memiliki otoritas tertinggi dalam menafsirkan al-Qur\'an dibandingkan dengan generasi-generasi setelahnya, karena mereka adalah generasi muslim yang paling dekat dengan zaman kenabian, sehingga dirasakan lebih mengetahui Islam secara utuh. 

  

Bagi kaum kotektualis, esensi penafsiran pendekatan kontekstual adalah soal konteks. Kaum ini percaya bahwa ajaran Al-Qur\'an harus digunakan untuk menciptakan masyarakat yang baik dan adil, bukan hanya untuk mendapatkan aturan yang kaku. Kaum kontekstualis berpendapat bahwa makna bukan sekadar konten otonom dalam teks, sebab makna merupakan hasil dialektika antara teks dan konteks. Oleh karena itu, makna teks tidakterbatas pada apa yang ditampilkan secara tekstual, tetapi bersifat majemuk. Kelompok ini menganggap hari ini sebagai era kerja sama guna kemaslahatan umat. Manusia hidup dalam satu dunia dan satu tanggung jawab. Oleh sebab itu, kerja sama demi perdamaian dan kemakmuran dianjurkan oleh Islam. 

  

Kesimpulan


Baca Juga : Pentingnya Respons Aktif Audiens Bagi Pendakwah

  

Secara garis besar, penelitian ini berusaha menunjukkan bahwa terdapat tiga jenis normalisasi dengan pendapat hukum yang berbeda. Peratama, normalisasi parsial artinya berhenti konflik, menghentikan agresi dan mencapai kesepakatan kedua belah pihak. Kedua, rekonsiliasi permanen yang mengarah pada normalisasi penuh yang fokus pada hak warga Palestina atas tanah mereka. Ketiga, rekonsiliasi permanen yang mengarah pada normalisasi penuh dan perdamaian permanen. Artinya, lebih dari sekadar kesepakatan atas tanah yang disengketakan. Hal ini termasuk normalisasi hubungan komersial, pariwisata, diplomatik, bahkan budaya. Selain itu, penelitian ini berusaha menegaskan bahwa dewasa ini kecenderungan ikatan solidaritas komunal telah bergeser pada arah hubungan internasional yang lebih dominan pada kepentingan dan konteks nasional, sekaligus isu darurat. Pertimbangan normalisasi semakin menemukan momentumnya, ketika dunia dihadapkan pada potensi bencana dan krisis kemanusiaan global akibat pandemi dan pemanasan global. 


Baca Juga : Sabab al-Nuzul dan Penetapan Hukum


Baca Juga : Potensi Indonesia Menjadi Pusat Industri Halal Dunia


Baca Juga : Membela Islam Dengan Ilmu Pengetahuan


Baca Juga : Meneliti Jaringan dan Gerakan PKS: Saiful Anwar Raih Doktor Islamic Studies


Baca Juga : Guru Mumu: Pejuang yang Menyemai Iman dan Kemerdekaan di Kalimantan Barat


Baca Juga : Pengembangan Sumber Daya Manusia di Era Covid-19


Baca Juga : Rekreasi di Dusun Bambu


Baca Juga : The Ethical Dimensions of Artificial Intelligence in Education, Society, and Religion


Baca Juga : Dakwah Ulama Era Pandemi: TGB, Covid-19, dan Etika di Ruang Publik (Bagian Keempat)