(Sumber : nasional.sindonews.com)

Kebangkitan Mayoritarianisme Islam di Indonesia

Riset Sosial

Artikel berjudul “The Rise of Islamist Majoritarianism in Indonesia” merupakan karya “Sidney Jones”. Tulisan tersebut terbit di “Religious Pluralism in Indonesia: Threats and Opportunities for Democracy" tahun 2020. Tulisan tersebut mencoba membahas lebih jauh mengenai kebangkitan mayoritarianisme di Indonesia. Peristiwa tersebut tentu saja ditandai dengan berbagai fenomena yang menjadikan mayoritarianisme justru menjadi tantangan tersendiri. Terdapat empat sub bab dalam resume ini. Pertama, pendahuluan. Kedua, apa itu mayoritarianisme? Ketiga, tiga isu mayoritas. Keempat, tanggapan pemerintah. 

  

Pendahuluan

  

Bukan sebuah kebetulan jika mayoritarianisme muncul dan bangkit terutama dalam perkembangan politik negara demokrasi di dunia. Misalnya, umat Hindu di India semakin memperjelas dan menegaskan haknya guna mendominasi dan menundukkan umat non-Hindu sesuai keinginannya. Bahkan, mereka mengancam Visi Mahatma Gandhi mengenai negara sekular di mana semua harus diperlakukan sama tanpa memandang etnis, agama, bahkan kasta. Di Indonesia, kelompok Islamis yang mengklaim posisi istimewa bagi umat Islam dan menafsirkan kembali ideologi Pancasila guna mendukung pandangannya. Kedua negara besar tersebut memiliki persamaan. Keduanya memiliki hak istimewa yang menggambarkan mayoritas adalah ancaman. 

  

Pada pemahaman di atas, mayoritarianisme merupakan ancaman bagi landasan demokrasi dengan konsep kesetaraan semua warga negara di bawah payung hukum. Ketakutan umat non-muslim di Indonesia adalah mereka menjadi warga “kelas dua” di negara mereka sendiri yang tercermin pada pelaksanaan pemilu tahun 2009. Saat itu, 97% non-muslim mendukung Jokowi, sebab pesaing tunggalnya dikaitkan dengan kelompok Islam garis keras. 

  

Apa itu Mayoritarianisme?

  

Mayoritarianisme dalam masyarakat multietnis dan multikultural diartikan sebagai sikap politik yang menolak jaminan konstitusional kesetaraan semua warga negara. Mereka berpendapat bahwa kelompok dominan dengan nilai dan norma yang diakuinya harus menang. Menurut Mukul Kesavan dalam tulisannya berjudul “Murdereous Majorities” menyatakan bahwa mayoritarianisme menekankan pada tingkat kewarganegaraan yang berbeda. Mayoritas agama dan budaya adalah warga negara yang sebenarnya. Selebihnya, warga minoritas adalah “tamu” sehingga harus berperilaku hormat dan santun. Agama adalah identitas utama. musuh dari mayoritas adalah pluralisme agama. 

  

Umat Islam di Indonesia berjumlah sekitar 90%, sehingga harus mendapatkan 90% pekerjaan di layanan sipil. Hal ini dicetuskan oleh Aminuddin yakni pemimpin alumni demonstrasi anti-Ahok pada bulan Desember 2016. Artinya, umat Islam sebagai mayoritas harus mendapat perlakuan istimewa. Selain itu, hanya umat Islam yang diizinkan untuk memerintah wilayah mayoritas muslim. Umat Islam dianggap berkewajiban untuk memilih hanya calon yang muslim, yakni mereka yang akan membela kepentingan umat. Hal ini dipertegas ketika MUI mengeluarkan fatwa pada 11 Oktober 2016 bahwa Ahok telah melakukan penistaan agama. MUI mengutip Surah Al-Maidah ayat 51 yang secara eksplisit melarang orang Kristen dan Yahudi menjadi “pemimpin” umat Islam. Ayat tersebut menjadi dasar pelarangan non-muslim untuk memerintah muslim. 


Baca Juga : Salafi Versus NU: Kaum Salafi dalam Ukhuwah Ashabiyah

  

Tiga Isu Mayoritas

  

Terdapat tiga isu yang disering dikaitkan dengan kelompok mayoritas. Pertama, pembajakan Pancasila. Misalnya, dalam disertasi yang ditulis Habib Rizieq Syihab dengan judul “Pengaruh Pancasila Terhadap Penerapan Syariah Islam di Indonesia” menuliskan bahwa dalam sejarahnya Soekarno-Hatta dianggap membajak Pancasila karena menggantu kalimat “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hal ini dianggap sebagai Ironi, sebab tidak ingin mengecewakan kelompok minoritas, namun membuat kekecewaan yang lebih besar di kalangan muslim. 

  

Kedua, Islam dan Pemilu. Beberapa kelompok Islamis meyakini bahwa muslim wajib memilih sesamanya. Mereka meyakini demokrasi adalah haram dan kejahatan. Memilih pemimpin adalah kewajiban bagi umat Islam, jika kepemimpinan “memungkinkan” untuk jatuh ke tangan non-muslim. Namun, tidak menggunakan hak pilih diperbolehkan jika kesejahteraan umat Islam tidak terancam. Artinya, calon pemimpin keseluruhan beragama Islam. Argumen tersebut sangat persuasif bagi mereka yang memiliki “sedikit” pengetahuan agama. Namun, argumen semacam itu hanya berhasil dalam kasus yang relatif jarang terjadi, di mana umat Islam berebut dengan non-muslim untuk jabatan politik. Tugas yang lebih sulit sebenarnya adalah meyakinkan umat, bahwa dari seluruh kandidat muslim, mana yang lebih membela kepentingan umat lebih dari yang lain. 

  

Ketiga, RUU pencegahan kekerasan seksual. Kampanye Islamis menentang RUU untuk mencegah kekerasan seksual adalah simbol sekaligus upaya Islamis untuk membuat negara memainkan peran yang lebih besar dalam menegakkan moralitas. Bagian yang dianggap paling kontroversial adalah definisi mengenai kekerasan seksual. 

  

Tanggapan Pemerintah

  

Menurut Miezner dalam tulisannya berjudul “Fighting Illiberalism with Illiberalism: Islamist Populism and Democratic Deconsolidation in Indonesia” menyatakan bahwa secara historis, pemerintah memiliki tiga acara dalam mengenai gerakan populis yakni represi, peredaan dan tekanan pembudayaan. Ketika mendekati pemilu 2019, Polisi melarang demonstrasi dengan mengandalkan Undang-Undang, termasuk UU 11/2008 yang melarang penyebaran informasi elektronik dalam kategori luas. Pada saat yang sama, Jokowi berusaha mengedepankan visi Islam yang moderat dan inklusif. Implikasinya dengan merangkul kelompok Nahdlatul Ulama (NU) dan konsepnya tentang Islam Nusatara dan Islam Kemanusiaan. 

  

Kesimpulan

  

Pada dasarnya mayoritarianisme memunculkan risiko bagi demokrasi di Indonesia, jika berusaha untuk mengistimewakan satu kelompok di atas yang lain. Hal ini terkait erat dengan munculnya Islamisme sebagai gerakan politik, terutama ketika pengunduran diri Soeharto tahun 1998. Beberapa cara yang bisa ditawarkan agar mayoritas Islamis dapat “dikendalikan” secara efektif adalah memikirkan kembali  sistem pendidikan dari tingkat sekolah dasar hingga pendidikan tinggi, mengembangkan buku baru dan program baru guna mempromosikan gagasan inklusif mengenai kewarganegaraan, melakukan pelatihan kembali bagi para pendidik. Upaya ini diperlukan, sebab retorika tentang Pancasila saja tidak cukup.