Kesalahan Representasi Al-Qur'an dalam Wacana dan Praktik Mengenai Wanita di Indonesia
Riset SosialTulisan berjudul “Why are Women Subordinated? The Misrepresentation of the Qur’an in Indonesian Discourse and Practice” merupakan karya Erwati Aziz, Irwan Abdullah dan Zaenuddin H. Prasojo. Artikel ini terbit di Journal of International Women’s Studies pada tahun 2020. Artikel tersebut bertujuan untuk mengeksplorasi tafsir “sepihak” Al-Qur’an yang mengabaikan ayat mengenai menghormati wanita. Representasi yang keliru dari ayat-ayat tersebut, menyebabkan perempuan dirugikan dalam wacana publik, sosial, praktek maupun kebijakan. Artike Aziz, Abdullah dan Prasojo tersebut mencoba menganalisa Al-Qur’an dan hadits serta serangkaian wawancara untuk mendapatkan hasil yang valid. Di dalam resume ini akan dijelaskan kembali tulisan ketiganya dalam empat sub bab. Pertama, pendahuluan. Kedua, diskursus tentang subordinasi wanita. Ketiga, kesetaraan gender dalam Islam. Keempat, istri dalam Al-Qur’an.
Pendahuluan
Di Indonesia dengan negara yang berpenduduk mayoritas muslim terbesar di dunia, wanita dianggap tidak setara dengan pria. Hal ini disebabkan budaya patriarkal lokal dan pemahaman agama. Secara global dalam wacana kesetaraan gender dalam Islam, wanita juga dipahami sebagai makhluk yang memiliki posisi “bawah”, sehingga harus terbatas dalam kehidupan sosial, ekonomi, bahkan politik. Kalimat seperti “Wanita berasal dari tulang rusuk Adam”, “Wanita menemani pria” dan “Wanita pakaian pria”, telah dipahami sebagai “pedoman” guna menjelaskan posisi wanita.
Berbagai tafsir patriarki digunakan guna melanggengkan dogma yang membedakan pria dan wanita. Mernissi dan Hasan yang dikutip oleh Widyastini dalam bukunya berjudul “Gerakan Feminisme Islam dalam Perspektif Fatimah Mernissi” menyatakan bahwa, beberapa tafsir klasik mengenai posisi wanita dalam Al-Qur’an telah mempengaruhi banyak karya cendekiawan muslim. Demikian pula dengan berbagai hadits yang dirujuk guna membenarkan subordinasi wanita dan keunggulan pria. Referensi hukum yang membenarkan wanita setara dengan pria secara historis telah diabaikan. Misalnya, mengutip surah An-Nisa’ ayat 34 yang menyatakan bahwa pria adalah pemimpin wanita. Artinya, tempat wanita setelah pria.
Diskursus Tentang Subordinasi Wanita
Isu kesetaraan gender dan Islam telah banyak diteliti oleh para sarjana, termasuk di Indonesia. Banyak literatur yang membahas perjuangan wanita untuk memperoleh keadilan. Terdapat empat kecenderungan yang ditemukan dalam studi mengenai gender, Islam, dan hubungan pria dan wanita. Pertama, penelitian yang fokus pada hubungan suami-istri dalam Islam, termasuk memposisikan istri sebagai kebutuhan untuk melayani suami. Misalnya, penelitian Nina Nurmila dalam penelitiannya berjudul “Indonesian Muslim’s Discourse of Husband-Wife Relationship” yang menunjukkan bahwa, di Indonesia seringkali mengutip hadits yang menggambarkan penolakan terhadap tuntutan suami adalah kemarahan Tuhan. Artinya, ketaatan wanita terhadap pria adalah bukti ketaatan terhadap Tuhan.
Kedua, penelitian yang menempatkan perempuan sebagai korban berbagai tindakan kekerasan. Misalnya, penelitian Levi Geir Eidhamar yang berjudul “My Husband is My Key to Paradise: Attitudes of Muslims in Indonesia and Norway to Spousal Roles and Wife-Beating” yang menyatakan bahwa, dalam masyarakat patriarki seperti di Indonesia, Islam telah memberikan izin suami untuk memukul istri yang tidak patuh. Artinya, Islam telah memberikan “kekuasaan” terhadap pria.
Ketiga, penelitian yang memperdebatkan perempuan dalam masyarakat Islam dan aturan normatif yang mengaturnya. Misalnya, penelitian Niels Spierings yang berjudul “The Influence of Islamic Orientations on Democratic Support and Tolerance in Five Arab Countries” yang menyatakan bahwa, di negara dengan mayoritas muslim seperti Indonesia dan Nigeria menunjukkan bahwa perempuan memiliki peran terbatas dalam hal ekonomi. Ia menemukan bahwa gaji wanita muslim lebih rendah daripada wanita non-muslim. Wacana mengenai wanita harus tinggal di rumah sebagai “ibu rumah tangga” menjadi inti wacana terkait keterlibatan wanita dalam ranah publik. Seperti yang tertera dalam surah Al-Ahzab ayat 33 yang digunakan untuk membenarkan larangan wanita untuk meninggalkan rumah.
Baca Juga : Waspadai Pencuri Pahala Kala Puasa
Keempat, wacana yang mengkaji perubahan peluang bagi wanita. Pendidikan dianggap memberikan ruang bagi wanita. Misalnya, dalam mengejar pendidikan di Indonesia, wanita jauh lebih banyak daripada pria yang bisa dilihat dalam pesantren. Smith-Hefner dalam penelitiannya yang berjudul “Javanese Women and the Veil in Post-Soeharto Indonesia” menemukan bahwa muslim di Indonesia memiliki lebih banyak otoritas dalam pendidikan modern sejak jatuhnya rezim Soeharto.
Kesetaraan Gender dalam Islam
Posisi Islam ketika berbicara mengenai kesetaraan gender dapat dieksplorasi melalui tiga tingkatan. Pertama, persamaan yang ditemukan dalam Al-Qur’an mengenai promosi hubungan egaliter antara pria dan wanita. Kesetaraan gender menurut Al-Qur’an dibahas dalam beberapa surah, yakni An-Nisa ayat 1, 32, 124, An-Nahl ayat 95, Al-Baqarah ayat 187, Ali Imran ayat 47, Ar Rum ayat 21, Al-An’am AYAT 101, Al-Jin ayat 3, dan surah Al-Ma’arij ayat 12. Inti dari ayat-ayat tersebut adalah suami memiliki tanggung jawab yang setara dengan istri. Pembagian kerja dalam keluarga harus berdasarkan “pengakuan” masing-masing peran, bukan subordinasi. Sehingga, tidak boleh ada kekerasan terhadap wanita dalam rumah tangga, sebab ayat-ayat tersebut telah jelas menunjukkan hubungan yang setara.
Kedua, hadits nabi yang menawarkan konsep kesetaraan gender dan praktik sosial yang harmonis. Kesetaraan gender dalam hadits banyak diwariskan oleh Imam Bukhari dan Abu Daud. Salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari berbunyi:
Abu Huraira (semoga Allah senang dengannya) meriwayatkan Nabi Muhammad SAW pernah berkata: Dia yang percaya pada Allah dan akhirat, jika dia menyaksikan apapun dia harus membicarakannya dengan baik atau diam. Bersikaplah baik terhadap wanita, karena wanita terbuat dari tulang rusuk, dan bagian tulang rusuk yang paling bengkok adalah bagian atasnya. Jika mencoba untuk meluruskannya, maka akan mematahkannya, dan jika meninggalkannya, bengkoknya akan tetap ada. Jadi bersikaplah baik terhadap wanita. (HR. Al-Bukhari).
Hadits yang mempromosikan kesetaraan gender seringkali diartikan secara parsial, bahkan validitasnya dipertanyakan. Sementara ini, interpretasi berdasarkan gender berdasarkan hadits-hadits tersebut dipahami dalam konteks kekuasaan yang didominasi oleh kepentingan pria. Akibatnya adalah wanita menjadi semakin tersubordinasi.
Ketiga, kesetaraan gender menurut ulama. Di dalam hierarki yurisprudensi Islam, pandangan ulama dipandang sebagai referensi ketiga setelah Al-Qur’an dan hadits. Pandangan ulama mengenai kesetaraan gender berkembang dalam wacana akademik yang dinamis. Namun, pandangan ini belum sepenuhnya diadopsi sebagai rujukan hukum, sebab mayoritas orang Indonesia memahami hanya terbatas pada kesetaraan dalam hubungan suami dan istri. Ketika kesetaraan gender dipromosikan oleh ulama perempuan, itu sering dianggap sebagai mewakili ambisi perempuan yang tidak bisa diterima; Sementara itu, ketika pandangan seperti itu disuarakan oleh laki-laki, mereka dianggap kehilangan haknya.
Istri dalam Al-Qur’an
Ayat Al-Qur’an dan hadits telah “dirujuk” sebagai sebagian dari proses kesenjangan gender yang direproduksi oleh aktor dengan kepentingan pribadi pada subordinasi wanita. Banyak ayat yang menekankan pada kesetaraan dan hadits yang menghormati wanita namun diabaikan. Terdapat konsep penting mengenai positioning wanita dalam Al-Qur’an. pertama, istri sebagai seorang sahabat. Kedua, istri sebagai mitra. Ketiga, istri sebagai kekasih.
Kesimpulan
Pada dasarnya tafsir Al-Qur’an dan hadits menunjukkan bahwa ada ruang untuk kesetaraan gender yang memiliki dasar yurisprudensi Islam. Namun, dalam penerapannya terutama dalam konteks sosial budaya di Indonesia, telah menjadi “lahan subur” bagi benih ketimpangan. Meskipun berbagai ayat aAl-Qur’an menampilkan pria dan wanita sebagai menempati posisi yang sama, namun hal ini tidak dipraktikkan dengan “kuat” di masyarakat. Perlakuan egaliter terhadap pria dan wanita kurang berpengaruh dibandingkan ketidaksetaraan yang dipertahankan dan dimanipulasi secara diskursif.