Kontestasi Ideologi Salafisme dan Moderatisme dalam Gerakan Hijrah Indonesia
Riset SosialArtikel berjudul “Ideological Contestations of Salafism and Moderatism in Indonesia\'s Hijra Movement: Critical Discourse Analysis” merupakan karya Muh Khamdan, Wiharyani, dan Nadiah Abidin. Tulisan ini terbit di Al’Adalah: Jurnal of Islamic Studies tahun 2024. Penelitian tersebut mengeksplorasi wacana gerakan hijrah Salafisme terapan dengan menggunakan analisis wacana kritis Norman Fairclough yang berfokus pada analisis teks, praktik, dan sosial budaya. Oleh karena itu, data penelitian mencakup publikasi daring yang berafiliasi dan praktik keagamaan yang diamati dalam forum keagamaan Salafisme di Bogor, Depok, dan Jakarta. Terdapat lima sub bab dalam resume ini. Pertama, pendahuluan. Kedua, aspek dimensi dalam gerakan hijrah: kontestasi ideologi keagamaan Salafisme dan Moderatisme di Indonesia. Ketiga, Salafisme sebagai gerakan keagamaan berpengaruh di Indonesia: dinamika, strategi, dan dampaknya konflik internal. Keempat, faktor-faktor yang mempengaruhi dan implikasi kontestasi antara Salafisme dan Moderatisme. Kelima, kontestasi ideologi dalam gerakan hijrah Indonesia: Salafisme, Moderatisme, dan transformasi sosial keagamaan di era digital.
Pendahuluan
Fenomena hijrah sebagai tren keagamaan yang signifikan akhir-akhir ini, khususnya di kalangan masyarakat muslim kelas menengah di Indonesia. Sejalan dengan transformasi forum keagamaan tradisional menjadi media digital. Transformasi ini membangun arena kontestasi yang menantang ideologi keagamaan. Platform media secara efektif menyediakan dan membentuk ideologi keagamaan untuk menciptakan konten yang disesuaikan guna meningkatkan pengikut mereka di kalangan Muslim kelas menengah perkotaan, dan selanjutnya berkontribusi pada kontestasi keyakinan agama.
Transformasi digital bagi kelompok Salafi ini dapat memperluas pengaruh mereka melalui khotbah digital. Di sisi lain, organisasi arus utama, seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), dan Majelis Ulama Indonesia (MUI), mengeluarkan fatwa hukum secara kelembagaan karena mereka sering terganggu oleh pandangan keagamaan kelompok Salafi. Pada konteks ini, gerakan hijrah melambangkan transformasi ideologis identitas agama, yang sering dikaitkan antara Salafisme dan Moderatisme dalam keberagaman sosial Indonesia dan sebagai tantangan dalam menyeimbangkan ideologi-ideologi yang saling bertentangan. Pada negara dengan keberagaman sosial dan agama yang begitu tinggi, Indonesia menghadapi tantangan kritis untuk menjaga keharmonisan ditengah meningkatnya klaim kebenaran absolut, sehingga penting untuk menganalisis bagaimana media digital berfungsi sebagai ruang untuk kontestasi ideologis dan dampaknya terhadap keberagaman interpretasi dan praktik Islam.
Aspek Dimensi dalam Gerakan Hijrah: Kontestasi Ideologi Keagamaan Salafisme dan Moderatisme di Indonesia
Kontestasi ideologis antara Salafisme dan moderatisme dalam gerakan hijrah sebagai sebuah konsep dan gerakan dapat dipahami dari segi dimensi, yang mencerminkan perbedaan pendekatan terhadap ajaran Islam dan penerapannya dalam masyarakat kontemporer. Pertama, dimensi spiritual berupa ajaran yang memperbanyak ibadah dan sebaliknya meninggalkan segala tindakan yang buruk. Dimensi ini menekankan perubahan diri manusia dari aspek duniawi, berupa hakikat asal mula penciptaan, kepada unsur akhirat atau sisi Allah. Kedua, dimensi dakwah ini menjadi gerakan umat Islam sebagai \'perjalanan\' untuk menambah ilmu, memperbaiki kehidupan dengan pekerjaan yang layak, dan misi untuk menyebarkan Islam. Ketiga, dimensi politik bertujuan pada transformasi dari dar al-harb menjadi dar al-Islam di wilayah tertentu atau strategi untuk mengintegrasikan nilai-nilai Islam ke dalam negara.
Dimensi-dimensi hijrah tersebut menjadi instrumen untuk menganalisis gerakan hijrah di Indonesia. Tren hijrah ini menunjukkan adanya perubahan praktik keagamaan seseorang dalam dimensi spiritual, yang dikenal dengan istilah konversi agama. Di media sosial, gerakan hijrah kembali ditampilkan sebagai kelompok konservatif dan Islamis. Publikasi di portal Islam tersebut menggambarkan konflik ideologis yang melatarbelakangi gerakan hijrah. Konservatif merujuk pada berbagai mazhab pemikiran yang menolak semua penafsiran modern, seperti liberal atau progresif, terhadap ajaran Islam. Konservatisme juga dikenal sebagai perspektif keagamaan yang menolak gagasan kesetaraan gender dan tidak toleran terhadap perbedaan. Hal ini menunjukkan relevansi paradigma teologis kelompok Salafi yang mencari pemurnian agama secara kasat mata bagi tiga generasi pertama Islam.
Lebih jauh, gerakan hijrah di Indonesia juga mengkonstruksi identitas komunitas yang direpresentasikan oleh para tokoh Salafi (ustad) dengan gaya dan strategi model dakwah sesuai karakter generasi milenial, seperti penggunaan bahasa, ikon-ikon populer, dan simbol simbol atau busana tertentu dalam penyebarkan gerakan dakwah. Tren wacana hijrah di media digital bagi kelompok moderat dalam menyebarluaskan narasi toleransi, keterbukaan, dan inklusivitas bertolak belakang dengan kecenderungan ajaran puritan yang disebarkan oleh Salafisme. Kelompok moderat menafsirkan ajaran dan sumber Islam dengan merujuk pada teks-teks agama multidisiplin dan perspektif yang beragam, seperti mazhab dan ulama tafsir, hadis, dan teologi. Mereka tidak menghakimi tentang iman, hukum Islam yang statis, dan praktik keagamaan yang dangkal. Selain itu, simbol-simbol agama juga mengidentifikasi persaingan ideologis ini.
Baca Juga : Menjelajah Perbedaan Pemikiran Filsuf Barat dan Muslim
Kontestasi meluas hingga ke strategi keterlibatan pemuda Muslim dan pandangan tentang pluralisme. Salafisme menarik kaum muda dan selebritas dengan penilaian halal-haramnya dalam hukum Islam dan ketaatan-kemaksiatan dalam iman. Sementara itu, kelompok moderat seperti NU dan Muhammadiyah menekankan pemikiran kritis dan inklusivitas, menarik bagi kaum muda terpelajar yang mencari perspektif yang seimbang. Paradigma pluralistik mengintensifkan kontestasi tersebut: Salafisme menolaknya sebagai ancaman terhadap pemurnian agama, sementara Moderatisme memperjuangkan toleransi dan koeksistensi sebagai cara persatuan nasional dan moderasi agama. Ideologi yang bersaing ini mengungkapkan dasar identitas dan praktik keagamaan yang berkembang di Indonesia melalui interaksi tradisi, modernitas, dan pluralisme dalam dunia digital.
Salafisme Sebagai Gerakan Keagamaan Berpengaruh di Indonesia: Dinamika, Strategi, dan Dampaknya Konflik Internal
Terdapat dua jalur dalam fenomena selebriti yang mengikuti gerakan hijrah. Pertama, para artis memilih gerakan hijrah dengan bimbingan seorang tokoh Salafi. Visualisasi dakwah dan aspek gerakan yang menarik dan fashionable turut memengaruhinya. Dakwah Salafi di kalangan selebriti memperkuat kepastian halal-haram atau benar-salah berdasarkan teks-teks agama, seperti larangan dan hukum membuat musik atau memainkan alat musik. Kedua, para artis musisi mengikuti gerakan hijrah dengan bimbingan Jamaah Tabligh dari para tokoh. Kesadaran beragama para musisi ini memengaruhi proses pencarian dan pemilihan komunitas agamanya berdasarkan kecenderungan keagamaan dalam mengkonstruksi identitasnya.
Kelompok Salafi dan Jamaah Tabligh memiliki perbedaan yang sangat signifikan. Pertama, kelompok Salafi lebih fokus pada pemurnian akidah atau penguatan pondasi tauhid umat Islam. Dakwah kelompok Salafi bermaksud untuk memperkuat tauhid dengan menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya, mengikuti amalan sehari-hari Nabi, dan menjalankan ibadah wajib dan sunnah sesuai tuntunan Nabi. Visi besar kelompok Salafi adalah membentuk umat Islam ideal yang mengamalkan ajaran Nabi dan dapat membedakan antara yang benar dan yang salah, sunnah dan bid\'ah. Oleh karena itu, pembahasan tentang tauhid, bid\'ah, dan syirik menjadi tema utama. Berbeda dengan Jamaah Tabligh yang fokus pada penyemarakaan praktik sunnah sehari-hari tanpa memperdebatkan perbedaan akidah atau benar dan salah dalam berhukum (fadhailul amal).
Kedua, kelompok Salafi mengecam gerakan sufi atau tasawuf karena dianggap bagian dari bid\'ah. Sementara itu, Jamaah Tabligh mengagungkan tasawuf karena para pendiri Jamaah Tabligh merupakan para pengikut tarekat. Ketiga, Jamaah Tabligh tidak secara tegas mengacu pada kecenderungan ideologis atau afiliasi keagamaan dalam dakwahnya sebagaimana kelompok Salafi, sehingga kelompok ini lebih dinamis dalam hal pandangan keagamaan dari madzhab lain. Aturan etika mereka menegaskan bahwa Jamaah Tabligh tidak boleh berdebat tentang masalah khilafiyah atau ketentuan hukum Islam (fiqih) dan akidah. Sebaliknya, dakwah Salafi mengacu pada pandangan keagamaan tokoh-tokoh ideologis mereka, termasuk karya-karya Muhammad bin \'Abd al-Wahhab, Ibnu Taimiyah, dan ulama Manhaj Salaf lainnya.
Perkembangan Salafisme dapat dikategorikan ke dalam tiga model utama. Pertama, model Salafi Ibnu Taimiyyah yang menekankan doktrin keagamaan yang tegas tanpa menganjurkan kekerasan. Kedua, pendekatan Salafi Muhammad ibn Abd al-Wahab yang memasukkan kekerasan dengan membentuk aliansi politik yang kuat dan menyatakan Muslim yang berseberangan sebagai kafir. Ketiga, model Salafi Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rashid Ridha berfokus pada pemurnian Islam dari bid\'ah dengan merasionalisasi teks-teks agama agar selaras dengan konteks kontemporer. Di Indonesia, perkembangan Salafi modern terkait erat dengan LIPIA (Lembaga Ilmu-Ilmu Islam dan Arab), perpanjangan dari Universitas Imam Muhammad ibn Saud di Riyadh. Di bawah pemimpin seperti Syekh Abdul Aziz Abdullah al-Ammar, murid Syekh Abdullah ibn Baz, LIPIA menjadi pusat ajaran Salafi, melahirkan tokoh-tokoh berpengaruh seperti Yazid ibn Abdul Qadir Jawwas, Ja\'far Umar Thalib, dan Yusuf Utsman Baisa, yang berkontribusi signifikan terhadap pertumbuhan kelompok Salafi seperti Minhajus Sunnah, FKAWJ, dan al Irsyad.
Persaingan ideologis di antara tokoh-tokoh Salafi di Indonesia terlihat jelas dalam konflik internal dan strategi dakwah yang berbeda. Konflik semacam itu, yang diperkuat oleh sikap kaum Salafi, telah menyebabkan munculnya organisasi Islam arus utama seperti NU dan Muhammadiyah yang menyoroti Salafisme di Indonesia. Polarisasi ini menggambarkan bagaimana perbedaan ideologis, strategi dakwah, dan interpretasi hukum Islam telah menyebabkan perpecahan dalam Salafisme Indonesia. Hal ini juga menyoroti tantangan yang mereka hadapi dalam menjaga persatuan sambil menghadapi kritik dari kelompok Islam lainnya.
Baca Juga : Pemuda, Wirausaha, dan Masa Depan Negara
Faktor-faktor yang Mempengaruhi dan Implikasi Kontestasi antara Salafisme dan Moderatisme
Keberagaman sosial budaya di Indonesia semakin memperuncing pertentangan. Salafisme berupaya membangun pemahaman yang seragam tentang Islam, sering kali menolak praktik-praktik yang dipengaruhi oleh tradisi lokal. Sebaliknya, Moderatisme merangkul multikulturalisme Indonesia, mempromosikan koeksistensi dan harmoni sebagai nilai-nilai utama. Dinamika generasi juga memainkan peran penting, dengan kaum muda tertarik pada kejelasan dan konten Salafisme yang relevan. Namun, Moderatisme menarik bagi kaum muda yang lebih terdidik dengan menekankan pemikiran kritis dan penerapan nilai-nilai Islam secara kontekstual, meskipun memerlukan lebih banyak upaya untuk beresonansi secara luas.
Nada ideologis gerakan hijrah menunjukkan hubungan erat dengan teologi Salafi, yang menekankan kembalinya praktik tiga generasi pertama Islam. Teologi ini beresonansi khususnya dengan pemuda perkotaan dan mereka yang mengalami keterasingan agama, yang menawarkan perbedaan yang jelas antara yang baik dan yang buruk. Komunitas dakwah dalam gerakan hijrah disesuaikan dengan karakteristik milenial, menggabungkan simbol, bahasa, dan mode modern dengan tetap mempertahankan prinsip-prinsip Salafi. Banyak komunitas hijrah yang mencerminkan pengaruh ajaran Salafi dari Arab Saudi, khususnya melalui tokoh-tokoh seperti Ja\'far Umar Thalib, yang belajar di bawah bimbingan ulama Salafi Yaman Muqbil ibn Hadi al-Wadi\'i.
Kontestasi Ideologi dalam Gerakan Hijrah Indonesia: Salafisme, Moderatisme, dan Transformasi Sosial Keagamaan di Era Digital
Gerakan hijrah di Indonesia merupakan pertentangan ideologis yang signifikan antara Salafisme dan moderatisme, dengan media digital sebagai platform penting untuk keterlibatan ini. Kelompok Salafi secara strategis memanfaatkan media sosial untuk mempromosikan ideologi mereka, menekankan pemurnian agama melalui ekspresi simbolis seperti aturan berpakaian dan praktik ritual. Upaya ini khususnya mendapat perhatian dari kaum Muslim kelas menengah perkotaan yang mencari kesederhanaan dan kepastian dalam iman. Sebaliknya, organisasi Islam moderat berjuang untuk mempertahankan pengaruh mereka karena kurangnya keterlibatan digital yang kuat, meninggalkan celah yang dieksploitasi oleh narasi Salafi. Ketegangan ideologis ini mencerminkan perjuangan yang lebih luas atas otoritas dan identitas agama di era digital. Pendekatan tekstualis dan konservatif Salafisme, yang mengidealkan generasi Islam awal, sangat kontras dengan interpretasi Islam moderatisme yang lebih inklusif dan kontekstual. Gerakan hijrah mencontohkan bagaimana ajaran Salafi beradaptasi dengan era digital, menciptakan konten yang mudah diakses dan menarik yang menarik demografi yang lebih muda.
Kelompok moderat menghadapi tantangan dalam melawan narasi ini, karena influencer Salafi secara efektif menggunakan teknologi untuk menyajikan visi kesalehan yang menarik. Pergeseran ini tidak hanya membentuk kembali religiusitas individu tetapi juga berkontribusi untuk mendefinisikan ulang wacana Islam yang lebih luas di Indonesia, menyoroti perlunya kaum moderat untuk memperkuat kehadiran mereka secara digital. Ini termasuk menciptakan platform daring yang dikelola secara profesional yang mampu bersaing dengan strategi canggih kelompok Salafi. Konten berkualitas tinggi dan relevan yang beresonansi dengan audiens yang lebih muda sangatlah penting, seperti halnya melatih para penceramah karismatik yang dapat secara efektif mengomunikasikan nilai-nilai Islam tradisional dalam konteks modern. Secara konseptual, kelompok moderat perlu merumuskan narasi yang menyelaraskan tradisi dan modernitas, memberikan alternatif terhadap tekstualisme Salafisme yang kaku. Pendekatan ini dapat menarik bagi mereka yang mencari interpretasi Islam yang lebih inklusif dan adaptif. Selain itu, dengan mempromosikan narasi inklusif, organisasi Islam moderat dapat merebut kembali pengaruhnya dan berkontribusi pada masyarakat Indonesia yang pluralistik dan harmonis. Upaya ini penting untuk melawan tantangan pengaruh gerakan hijrah yang semakin besar.
Kesimpulan
Penelitian tersebut mengungkap wawasan penting mengenai pertentangan ideologi antara Salafisme dan Moderatisme dalam gerakan hijrah di Indonesia. Salah satu temuan utamanya adalah bahwa kelompok Salafi telah secara efektif memanfaatkan media digital untuk menyebarkan ajaran mereka, dengan fokus pada representasi Islam yang jelas dan mudah diakses, seperti penanda visual kesalehan. Pendekatan ini khususnya cocok dengan kaum Muslim kelas menengah perkotaan dan selebritas, yang tertarik pada kesederhanaan dan kepastian yang ditawarkan oleh interpretasi Salafi tentang Islam. Studi tersebut juga menyoroti bagaimana ruang digital berfungsi sebagai arena kontestasi ideologis, dengan Salafi menantang otoritas lembaga keagamaan arus utama sementara moderatisme menganjurkan interpretasi ajaran Islam yang lebih kontekstual. Kontestasi ini tidak hanya terbatas pada praktik keagamaan tetapi meluas ke pembentukan ideologis identitas Islam yang lebih luas, terutama di kalangan pemuda.