Menerapkan Etika Global dalam Konteks Lokal
Riset SosialArtikel berjudul “Implementing Global Ethics Local Context: A Study of Religious Leaders’ Perspectives in Central Java Indonesia” merupakan karya Solihan, Komarudin, dan Misbah Zulfa Elizabeth. Tulisan tersebut terbit di Qudus International Journal of Islamic Studies tahun 2024. Etika global merupakan konsep yang dideklarasikan oleh Deklarasi Parlemen Agama-agama Dunia di Chicago pada tahun 1993. Konsep ini awalnya berasal dari nilai-nilai semua agama. Mempelajari penerapan etika global dalam konteks lokal merupakan hal yang menarik, terutama mengingat bahwa nilai-nilai etika perlu dipahami dengan jelas dan dipraktikkan secara efektif. Hal ini khususnya penting karena istilah dan konsep khusus yang diuraikan dalam Deklarasi Parlemen Agama-agama Dunia mungkin tidak dikenal dalam lingkungan lokal tersebut. Terdapat lima sub bab dalam resume ini. Pertama, pendahuluan. Kedua, penerapan nilai etika global. Ketiga, sebuah model penerapan etika global. Keempat, pemangku kepentingan dalam implementasi etika global. Kelima, hambatan penerapan etika global.
Pendahuluan
Gagasan etika global telah diperbincangkan selama 25 tahun terakhir. Selama kurun waktu tersebut, etika global telah mengilhami lahirnya beberapa gerakan dan organisasi, seperti jurnal ilmiah, asosiasi, program gelar pascasarjana, pusat penelitian, yayasan amal, dan kantor di Perserikatan Bangsa Bangsa. Istilah dan konsep etika global tidak dapat dipisahkan dari “Toward a Global Ethic: An Initial Declaration” yang digagas oleh Hans Küng dan dikeluarkan pada pertemuan Parliament of World\'s Religions di Chicago pada tahun 1993. Deklarasi tersebut mengusulkan empat pedoman etika: 1) komitmen terhadap budaya antikekerasan dan penghormatan terhadap kehidupan; 2) komitmen terhadap budaya solidaritas dan tatanan ekonomi yang adil; 3) komitmen terhadap budaya toleransi dan kehidupan yang penuh kebenaran; 4) komitmen terhadap budaya kesetaraan hak dan kemitraan antara pria dan wanita.
Deklarasi Menuju Etika Global merupakan konsensus dan ekstraksi nilai-nilai agama di dunia untuk membingkai dan mengatur gerakan dan laju globalisasi. Konsensus ini tidak dimaksudkan untuk mengurangi peran agama dalam tatanan moral dan kemanusiaan. Ciri-ciri dan karakteristik khusus masing-masing agama adalah masih diakui keberadaan dan keasliannya. Jadi, perlu dicatat bahwa setiap agama memiliki doktrinnya sendiri, yang berarti bahwa pemahaman antar agama bervariasi di antara mereka. Sementara itu, etika dan perilaku berbagai agama memiliki banyak kesamaan.
Deklarasi ini berangkat dari anggapan tentang dunia dan agama yang telah berubah. Dunia telah menjadi satu yang polisentris, multikultural, dan multiagama. Pada konteks ini, satu-satunya jalan untuk mencapai hubungan antaragama adalah melalui “persaudaraan antaragama.” Sebagai salah satu sumber nilai-nilai etika yang luhur, agama-agama harus bersama terlibat dalam dialog tentang berbagai persoalan kritis kehidupan dan nasib umat manusia di masa depan. Nilai-nilai etika yang bersumber dari agama agama tersebut merupakan dasar etika global, yang secara umum dipahami sebagai konsensus fundamental minimum, dan memiliki peran sebagai nilai-nilai yang mengikat, standar yang tidak dapat diganggu gugat, dan sikap moral yang fundamental. Ide dasar etika global ini mengandung pandangan yang sangat humanis, yang menyatakan bahwa “setiap manusia harus diperlakukan secara manusiawi.”
Penerapan Nilai Etika Global
Nilai--nilai etika global dapat diterapkan dalam konteks lokal, khususnya di Jawa Tengah, karena nilai-nilai tersebut berlandaskan pada nilai-nilai agama. Namun, masyarakat setempat mempertimbangkan terminologi yang digunakan oleh Parlementer Agama-agama Dunia hanya berkenaan dengan penggunaan bahasa yang berbeda. Oleh karena itu, masalah pertama terkait dengan istilah yang digunakan. Diperlukan penjelasan yang menyeluruh dan jelas tentang istilah yang digunakan oleh Parlementer Agama-agama Dunia. Istilah ini dapat diperkenalkan secara luas dan memadai kepada masyarakat setempat.
Terdapat terdapat banyak kendala dalam penerapan nilai-nilai etika global, termasuk yang terkait dengan keadilan, penegakan hukum, kasih sayang, dan kesetaraan. Seluruh tokoh agama sepakat bahwa penerapan nilai-nilai etika global di Indonesia, khususnya di Jawa Tengah, memang perlu digarisbawahi, terutama terkait dengan isu keadilan, penegakan hukum, kasih sayang, dan kesetaraan. Namun, hampir seluruh tokoh agama juga menyatakan bahwa tersedianya akses kelembagaan organisasi keagamaan, organisasi sosial yang memiliki jaringan organisasi dan personal hingga ke lapisan masyarakat bawah memungkinkan penerapan nilai-nilai etika global.
Baca Juga : Friendly Leadership: Renungan Kepemimpinan
Selain itu, penerapan nilai-nilai etika global memerlukan penguatan, aeperti solidaritas sosial sosial yang dapat menyelesaikan masalah keuangan, memperkuat jaringan, dan membuat masyarakat sadar akan masalah mereka. Budaya lokal juga dianggap sebagai aspek penguatan yang penting, terutama dalam membentuk kebiasaan pribadi. Penguatan tekstual juga memainkan peran penting dalam memengaruhi spiritualitas, kontrol, dan kewaspadaan secara positif. Di sisi lain, penguatan konstekstual juga diperlukan untuk beradaptasi dengan cepat terhadap perkembangan terkini.
Etika global dapat diimplementasikan meskipun tidak semuanya, dan n dicapai dalam waktu singkat. Perlu dilakukan pentahapan secara proses, mulai dari kajian, sosialisasi, implementasi, dan evaluasi. Perlu juga mempertimbangkan prioritas permasalahan yang harus ditangani. Hal ini memerlukan pemikiran yang mendalam dan luas agar hasilnya tidak berdampak buruk. Meskipun tokoh agama berpendapat bahwa penerapan etika global dapat dilakukan, namun perlu adanya penguatan berbagai aspek, meliputi solidaritas sosial, kesadaran sosial, budaya lokal, tekstual, kontekstual, dan pendampingan.
Sebuah Model Penerapan Etika Global
Permasalahan sosial keagamaan yang ditemukan dapat dijabarkan menjadi lima permasalahan yang terkait dengan etika global, yaitu: hukum, lingkungan hidup, nilai-nilai kehidupan yang hakiki, solidaritas sosial, dan gender. Prinsip penerapan etika global dalam konteks Jawa Tengah didasarkan pada empat pedoman etika: komitmen terhadap budaya tanpa kekerasan dan rasa hormat terhadap kehidupan; komitmen terhadap budaya solidaritas dan tatanan ekonomi yang adil; komitmen terhadap budaya toleransi dan kehidupan yang jujur; dan komitmen terhadap budaya hak yang sama dan kemitraan antara pria dan wanita. Penerapan etika global di Jawa Tengah dalam menanggapi berbagai tantangan tersebut dapat berbeda-beda berdasarkan pedoman etika yang relevan yang diterapkan. Pada konteks ini, kearifan lokal dapat terus tumbuh subur selama sejalan dengan keempat pedoman etika di atas.
Pemangku Kepentingan dalam Implementasi Etika Global
Etika global adalah badan pemerintahan yang mempunyai kewenangan untuk melakukan penegakan hukum, politik untuk menjadi uswah hasanah (contoh yang baik), pemimpin masyarakat, dan masyarakat secara umum. Berbagai pihak memainkan peran dalam penerapan etika global, masing-masing berkontribusi berdasarkan posisi mereka dalam lingkungan tersebut. Salah satu contohnya adalah tokoh agama. Tokoh agama memiliki posisi yang sangat penting menurut masyarakat Jawa Tengah. Masyarakat Jawa cenderung bersifat paternalistik yang merujuk pada pandangan bahwa seorang pemimpin adalah panutan dalam kehidupan. Dominasi dalam konteks ini begitu kuat sehingga masyarakat seolah-olah bergantung pada berbagai keputusan yang dibuat oleh para tokoh masyarakat. Biasanya, tokoh masyarakat di sini dapat menjadi pemimpin sosial dan pemimpin agama sekaligus.
Pemimpin agama di Jawa Tengah mempunyai kedudukan yang sangat kuat dalam menentukan berbagai proses sosial dalam masyarakat. Tokoh agama yang hidup dan tumbuh di tengah masyarakat menjadi inisiator pembangunan masyarakat. Pengaruh tokoh agama juga cukup signifikan dalam proses politik, seperti menentukan pilihan partai politik dan kepala daerah. Semakin tinggi kepercayaan masyarakat terhadap tokoh agama, maka semakin tinggi pula pengaruhnya.
Hambatan Penerapan Etika Global
Penerapan etika global merupakan konsep yang kompleks dan terus berkembang dalam masyarakat. Kontradiksi ini sering kali muncul akibat perbedaan keyakinan agama, baik internal maupun eksternal. Di sisi pro, dukungan terhadap etika global cenderung datang dari individu dengan tingkat pendidikan tinggi yang mengadvokasi inklusivitas dalam konteks sosial maupun agama. Sebaliknya, penentangan terhadap etika global umumnya didukung oleh kelompok dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah, yang lebih menyukai eksklusivitas dalam hal-hal sosial dan keagamaan. Sebagian besar anggota masyarakat yang setuju dengan penerapan etika global adalah mereka yang memiliki tingkat pendidikan yang relatif tinggi. Selain itu, mereka juga menerapkan gaya hidup inklusif dalam kehidupan sosial mereka.
Selain pada permasalahan pada konteks agaam, beberapa permasalahan juga menghambat penerapan etika global dalam konteks lokal Jawa Tengah. Misalnya, berbagai kesenjangan akibat proses pembangunan masyarakat yang sedang berlangsung. Salah satu ketimpangan yang terjadi adalah ketimpangan ekonomi yang berdampak pada berbagai permasalahan seperti kemiskinan dan kriminalitas. Ketimpangan lainnya adalah ketimpangan pendidikan dan ketimpangan antarwilayah. Berbagai ketimpangan tersebut berdampak pada berbagai proses sosial lainnya, termasuk kesulitan dalam penerapan etika global di tingkat lokal di Jawa Tengah.
Kesimpulan
Implementasi etika global dalam konteks lokal dari perspektif tokoh agama di Jawa Tengah ternyata menjadi tantangan yang dinamis dan problematis. Dinamika tersebut terletak pada istilah etika global yang bukan merupakan istilah lokal, padahal butir-butir etika global merupakan nilai-nilai yang bersumber dari agama. Oleh karena itu, implementasi etika global tidak hanya terkait dengan pemahaman agama saja, tetapi juga berbagai permasalahan sosial dan kebijakan yang terkait dengan keadilan, penegakan hukum, kasih sayang, dan kesetaraan. Keberadaan ormas dan organisasi keagamaan yang memiliki struktur hingga tingkat desa dan keberadaan tokoh masyarakat yang memiliki inklusivitas dalam kehidupan sosial keagamaannya menjadi potensi. Namun, para tokoh agama di Jawa Tengah masih perlu memperkuat berbagai aspek, termasuk solidaritas sosial, kepedulian sosial, dan pemahaman budaya lokal. Pendampingan tekstual dan kontekstual harus diintegrasikan ke dalam nilai nilai agama dan adat istiadat masyarakat. Hal ini memerlukan keterlibatan para pemangku kepentingan dari bidang agama, pendidikan, masyarakat, dan keluarga, dengan perannya masing-masing. Jadi, dapat disimpulkan bahwa implementasi etika global dalam konteks Jawa Tengah memerlukan waktu yang cukup lama karena memerlukan penyesuaian di berbagai aspek agama dan sosial.