(Sumber : Nur Syam Centre)

Mewujudkan Hak Asasi Manusia Bagi Kelompok Minoritas

Riset Sosial

Tulisan berjudul “Perlindungan Terhadap Kelompok Minoritas di Indonesia dalam Mewujudkan Keadilan dan Persamaan di Hadapan Hukum” adalah karya Danang Risdiarto. Karya ini terbit di Jurnal Rechtsvinding pada tahun 2017. Tulisan tersebut bertujuan untuk mengetahui perlindungan hukum apa saja yang diberikan negara terhadap kelompok minoritas di Indonesia. Penelitian dilakukan melalui studi pustaka dengan menelaah peraturan perundang-undangan, hasil penelitian, hasil kajian, maupun referensi lain yang berkaitan dengan pengaturan terhadap kelompok minoritas dalam mewujudkan hak asasi mereka di hadapan hukum. Di dalam resume ini akan diulas kembali tulisan Risdiarto dalam enam sub bab. Pertama, pendahuluan. Kedua, tipologi kelompok minoritas di Indonesia. Ketiga, prinsip keadilan di negara hukum. Keempat, konsep persamaan di hadapan hukum di Indonesia. Kelima, perlindungan hukum terhadap kelompok minoritas di Indonesia. Keenam, upaya pemenuhan HAM bagi kelompok minoritas.

 

Pendahuluan

 

Pada era rezim Orde Baru selama 32 tahun, beragam pelanggaran Hak Asasi Manusia terjadi. Setelah jatuhnya rezim Orde Baru, era Reformasi diharapkan dapat menciptakan demokrasi di seluruh aspek kehidupan. Namun, kebebasan di era Reformasi justru memunculkan tindak diskriminasi yang tidak kalah dengan penguasa otoriter rezim Orde Baru. Misalnya, penolakan pendirian Gereja Santa Clara di Bekasi oleh berbagai organisasi masyarakat, meskipun sudah mendapatkan izin sejak 28 Juli 2015. 

 

Aturan mengenai perlindungan HAM bagi kelompok minoritas diatur dalam beberapa undang-undang. Misalnya, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, mengenai Hak Asasi Manusia bahwa kelompok minoritas harus mendapat perlakuan dan perlindungan yang sama di depan hukum. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 mengenai Pengesahan International Convenant on Civil and Political Rights, yang menegaskan kepada negara untuk menghormati hak-hak kelompok minoritas.

    

Tipologi Kelompok Minoritas di Indonesia

 

Pada dasarnya tidak ada kesepakatan internasional mengenai minoritas yang bersifat mengikat. Komnas HAM memberikan definisi minoritas dalam dua pandangan. Secara numerik, minoritas berarti populasi yang jumlahnya sedikit. Secara pengaruh, minoritas artinya tidak dominan dan mendapatkan perlakuan yang merugikan. Selain itu, Komnas HAM menawarkan lima ruang lingkup kelompok minoritas di Indonesia, yakni kelompok minoritas ras, etnis, agama, penyandang disabilitas, dan kelompok minoritas berdasarkan identitas gender dan orientasi seksual.

 

Prinsip Keadilan di Negara Hukum

  

Baca Juga : Ruang Digital Minim Da'i Perempuan

Hukum merupakan sistem yang memiliki posisi strategis dan dominan dalam kehidupan masyarakat. Di dalam hukum terdapat istilah fiat justita et pereat mundus, artinya meskipun dunia runtuh hukum harus ditegakkan. Itulah yan disebut kepastian hukum. Hukum tidak identik dengan keadilan, melainkan bersifat umum, mengikat dan menyamaratakan. 

 

Berdasarkan karakteristiknya, keadilan bersifat subyektif, individualistis dan tidak menyamaratakan. Artinya, apabila penegak hukum menitikberatkan pada nilai keadilan, sedangkan nilai kemanfaatan dan kepastian hukum dikesampingkan, maka hukum tidak akan berjalan dengan baik. Keadilan merupakan hakekat hukum.

 

Konsep Persamaan di Hadapan Hukum di Indonesia

 

Di dalam hukum terdapat teori Equality before the law, artinya semua orang sama di depan hukum. Teori ini menurut UUD 1945, merupakan mata rantai hak dan kewajiban yang harus berfungsi menurut kedudukan masing-masing. Kesamaan di hadapan hukum artinya setiap warga negara harus diperlakukan adil oleh penegak hukum dan pemerintah. Di dalam mewujudkan persamaan di hadapan hukum, Indonesia telah meratifikasi konsep dan prinsip HAM yang tertuang dalam konstitusi dan semangat Pancasila. Instumen HAM yang sudah diratifikasi tercermin dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Konvenan Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, serya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Konvenan Hak Sipil Politik, dan konvensi-konvensi maupun norma PBB yang lain.

 

Penegasan yuridis tersebut, menunjukkan tiga kewajiban negara terhadap HAM. Negara berkewajiban menghormati, melindungi, dan memenuhi HAM. Persamaan di hadapan hukum harus diartikan secara dinamis, bukan statis. Artinya, jika ada persamaan di hadapan hukum bagi semua orang, maka harus diimbangi dengan persamaan perlakuan bagi semua orang. 

Perlindungan Hukum Terhadap Kelompok Minoritas di Indonesia

 

Pada dasarnya Indonesia telah dan selalu mengakui hak kelompok minoritas sesuai prinsip Bhineka Tunggal Ika. Buktinya, terlihat dalam posisi di jabatan publik yang dipercayakan kepada beragam suku dan agama di Indonesia. Namun, Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah mengenai perlindungan kelompok minoritas. 

 

Perlindungan terhadap kelompok minoritas di Indonesia, dimulai oleh Presiden B.J Habibie dengan menerbitkan Inpres Nomor 26 Tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi. Tahun 2000, Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keppres Nomor 6 Tahun 2000 tentang pencabutan Inpres Nomor 14 Tahun 1967 mengenai Agama, Kepercayaan dan Adat China. Kemudian, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Adminitrasi Kependudukan (UU Adminduk) diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013, secara hukum mencabut peraturan pemerintah tentang administrsi berdasarkan penggolongan kebangsaan, ras dan agama.   Komnas HAM menjelaskan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006, dirancang untuk memberikan jaminan kesetaraan warga dalam layanan administrasi kependudukan tanpa memandang latar belakang agama.

 

Upaya Pemenuhan HAM Kelompok Minoritas

 

Indonesia meratifikasi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang secara eksplisit tertuang dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Namun, Indonesia tetap belum menunjukkan ketajamannya dalam mengusut tuntas berbagai kasus pelanggaran HAM. Pada dasarnya terdapat enam bentuk pelanggaran HAM pada kelompok minoritas, yakni diskriminasi, penyiksaan, eksploitasi, perilaku subordinatif, pembunuhan dan aborsi.

 

Pemerintah sudah melakukan upaya untuk melakukan pemenuhan, penegakan dan perlindungan HAM bagi kelompok minoritas. Hal tersebut dapat terlihat dari regulasi dan kebijakan yang dikeluarkan. Misalnya, Peraturan Menteri Sosial Nomor 8 Tahun 2012, yang mendefinisikan kelompok minoritas sebagai penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS). Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 27 Tahun 2014, yang menggolongkan kelompok minoritas sebagai bagian dari masyarakat tuna sosial.

 

Masyarakat juga berperan dalam penegakan HAM, misalnya muncul berbagai aktivis dan advokasi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Aktivis dapat berperan sebagai alat kontrol bagi kebijakan pemerintah yang rawan terhadap pelanggaran HAM. LSM juga dapat menangani berbagai masalah, seperti masalah kesehatan masyarakat, korupsi, demokrasi, pendidikan, kemiskinan, lingkungan, bahkan penegakan hukum.

 

Kesimpulan

  

Tulisan Danang Risdiarto merupakan “alarm” bahwa penegakan HAM di Indonesia masih banyak membutuhkan perhatian. Pemerintah memang telah berupaya untuk menegakkan HAM, terutama bagi kelompok minoritas. Namun, masih banyak pekerjaan rumah bagi pemerintah, karena pelanggaran HAM masih marak terjadi. Sebenarnya, penegakan HAM bukan semata tanggung jawab pemerintah, tetapi juga seluruh warga negara.  Pengakuan adanya HAM pada seseorang, berarti mengakui adanya kewajiban semua orang untuk menghormati hak asasi yang dimiliki orang lain. Artinya, pengakuan hak pada pihak tertentu berimplikasi pada kewajiban pihak lain. Produk hukum yang sudah ada tidak cukup, butuh empati  dan kesadaran solidaritas yang mendasar. Pemerintah sudah sepatutnya mengedepankan pendekatan berbasis HAM dalam seluruh proses pembangunan program dan kebijakan yang disusun sesuai dengan upaya perlindungan HAM.