Moderasi Beragama Pada Pariwisata Halal
Riset SosialArtikel berjudul “Navigating Religious Moderation in Halal Tourism: Insights From Traditional Leaders in the Lake Toba Caldera, North Sumatera” merupakan karya Maraimbang Daulay, Imam Sukardi, ismail Fahmi Arrauf Nasution, dan Miswari. Tulisan ini terbit di Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam tahun 2024. Konsep mdoerasi beragama digunakan untuk menganalisis persepsi tokoh masyarakat adat di Kaldera Danau Toba, Sumatera Utara terhadap wisata halal. Toba, Samosir, Humbang Hasundutan, dan Dairi merupakan daerah dengan mayoritas penduduk beragama Kristen yang ditetapkan sebagai destinasi wisata prioritas oleh pemerintah, dengan fokus pada wisata halal. Penelitian tersebut menggunakan metode kualitatif, dengan wawancara dengan tokoh adat sebagai sumber utama, dilengkapi dengan wawancara dengan wisatawan dan pelaku usaha, serta observasi dan kajian pustaka. Terdapat empat sub bab dalam resume ini. Pertama, pendahuluan. Kedua, moderasi beragama dan pariwisata halal. Ketiga, persepsi dan sikap pemimpin adat di Danau Kaldera Toba. Keempat, analisis perspektif moderasi beragama.
Pendahuluan
Kementerian Agama (Kemenag) menerapkan moderasi beragama dalam pengelolaan Aparatur Sipil Negara (ASN) melalui serangkaian program dan kebijakan yang dirancang untuk menumbuhkan individu yang toleran, inklusif, dan mampu menjaga kerukunan dalam lingkungan yang majemuk. Kemenag menyelenggarakan berbagai pelatihan dan pendidikan bagi ASN tentang konsep moderasi beragama, yang diberikan dalam bentuk seminar, lokakarya, dan kurikulum yang mengintegrasikan nilai-nilai moderasi beragama. Tidak hanya lembaga pemerintah tetapi juga kelompok moderat menyebarkan ide moderasi di antara masyarakat melalui media digital. Program Moderasi Beragama dengan demikian menjadi kerangka panduan untuk mengevaluasi berbagai praktik keagamaan dalam masyarakat, termasuk program wisata halal, memastikan keselarasan dengan prinsip-prinsip toleransi, keseimbangan, dan keadilan.
Wacana mengenai wisata halal di kawasan Kaldera Danau Toba telah memicu perdebatan di kalangan pemerintah daerah dan masyarakat. Pemerintah daerah pada umumnya mendukung penerapan pariwisata halal untuk meningkatkan jumlah wisatawan. Namun, keberhasilannya sangat bergantung pada persepsi dan sikap masyarakat serta para pemimpin adat. Mereka memiliki peran penting dalam membimbing dan membina masyarakat dan merupakan mitra utama pemerintah dalam mewujudkan program tanpa perlawanan dari masyarakat.
Moderasi Beragama dan Pariwisata Halal
Secara historis, moderasi beragama merupakan jalan tengah yang mencegah penyebaran persepsi keagamaan yang ekstrem, seperti ajaran Sufi filosofis dan Salafi, yang mengarah pada panteisme dan terlalu literal ketika disalahpahami. Para intelektual Indonesia memperkenalkan moderasi beragama sebagai konsep filsafat dengan mengeksplorasi integrasi rasionalitas dengan teks-teks keagamaan. Prinsip-prinsip moderasi beragama meliputi mengambil jalan tengah (tawasut ), keseimbangan (tawazun), keadilan (i\'tidal), toleransi (tasamuh), kesetaraan (musawah), dan musyawarah (shura). Tawasut mengandung makna mengambil jalan tengah untuk menghindari ekstremisme kaku dan liberalisme berlebihan dalam penafsiran agama. Tawazun menekankan pentingnya membedakan antara penyimpangan (inhiraf) dan divergensi (ikhtilaf) dalam keyakinan, selain menjaga keseimbangan antara duniawi dan masalah spiritual. I\'tidal berarti menyeimbangkan hak dengan kewajiban untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan sosial. Tasamuh mendorong toleransi dan penerimaan terhadap persepsi agama yang berbeda. Musawah mendorong rasa hormat terhadap semua individu, terlepas dari latar belakangnya. Shura mendukung pengambilan keputusan yang demokratis melalui diskusi dan musyawarah. Prinsip-prinsip yang berakar pada Al-Qur\'an dan Hadits tersebut rasional dan berkorelasi dengan Pancasila, ideologi nasional Indonesia.
Implementasi moderasi beragama dilihat melalui empat indikator, yaitu komitmen kebangsaan, toleransi, antikekerasan, dan ekspresi keagamaan yang mengakomodasi budaya lokal. Komitmen nasional mengacu pada sikap keagamaan yang berkorelasi dengan nilai nilai Pancasila, menjunjung tinggi keberagaman, dan menjauhi persepsi yang tidak sesuai dengan sistem negara Indonesia. Toleransi mencakup menghargai dan menghormati persepsi keagamaan yang berbeda. Lebih jauh lagi, anti kekerasan menyiratkan sikap liberal dan menolak sikap keagamaan yang konservatif, eksklusif, dan radikal yang mendorong kekerasan fisik atau nonfisik terhadap mereka yang memiliki keyakinan berbeda. Mengakomodasi budaya lokal berarti memadukan ajaran agama dengan nilai-nilai budaya, sehingga memerlukan sikap keagamaan yang fleksibel.
Persepsi dan Sikap Pemimpin Adat di Danau Kaldera Toba
Baca Juga : Solidaritas Dalam Tubuh Masyarakat Modern
Persepsi dan sikap pemimpin adat sangat memengaruhi keberhasilan program yang digagas pemerintah. Sebagai pemandu masyarakat, para pemimpin ini memainkan peran penting dalam pengambilan keputusan terkait budaya setempat. Tanggung jawab utama adalah melestarikan tradisi lokal dan melindungi nilai-nilai dari pengaruh eksternal. Bertindak sebagai penjaga budaya sosial. Penerapan wisata halal dianggap sebagai strategi untuk menarik lebih banyak wisatawan, sehingga membawa narasi baru bagi masyarakat Kaldera Danau Toba. Tokoh adat dianggap sebagai kunci keberhasilan penerapan wisata halal di daerah. Oleh karena itu, persepsi dan sikap mereka menjadi penentu penting dalam mewujudkan wisata halal di daerah yang ditetapkan oleh pemerintah pusat sebagai destinasi wisata prioritas.
Namun, arti penting wisata halal masih minim di kalangan masyarakat setempat dan sempat mendapat penolakan. Misalnya, saat Gubernur Sumatera Utara mengumumkan inisiatif wisata halal, banyak warga Toba yang salah mengartikannya sebagai upaya \'mengislamkan\' daerah tersebut dan langsung menyelenggarakan pesta panggang babi sebagai bentuk ptanda protes. Peristiwa ini menggarisbawahi perlunya sosialisasi konsep wisata halal yang lebih menyeluruh.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Toba menyatakan bahwa masyarakat setempat tidak menentang program wisata halal. Namun, pemahaman tentang apa itu wisata halal masih terbatas. Ketua MUI meyakini bahwa jika masyarakat sudah mendapatkan informasi yang lengkap, masyarakat akan mendukung inisiatif tersebut karena peningkatan wisatawan akan secara langsung menguntungkan perekonomian. Gagasan tersebut didukung oleh persepsi para pemimpin adat di Toba, yang awalnya berasumsi bahwa wisata halal merupakan pintu gerbang Islamisasi, yang merupakan prasangka umum. Ketika gubernur Sumatera Utara, mengumumkan inisiatif wisata halal di Kaldera Danau Toba, penduduk setempat mengisyaratkan ketidaksetujuan mereka dengan menyelenggarakan pesta panggang daging babi. Salah satu penyedia layanan penyewaan perahu dari Pantai Bulbul, juga merasa bahwa wisata halal merupakan awal dari upaya Islamisasi ekonomi.
Jelas bahwa wisata halal hanya tentang menyediakan fasilitas tambahan bagi wisatawan muslim, para pemimpin, dan masyarakat tidak akan keberatan menerimanya. Penerimaan ini dapat menstimulasi ekonomi lokal karena wisatawan muslim akan lebih cenderung memilih Toba sebagai destinasi ketika menawarkan fasilitas ramah halal. Oleh karena itu, masyarakat dan tokoh adat di Toba pada dasarnya terbuka untuk menerima wisata halal, asalkan masyarakat setempat yakin bahwa wisata halal tidak akan mengganggu adat istiadat setempat. Bahkan, para tokoh adat menganjurkan agar diadakan pelatihan lanjutan melalui lokakarya untuk memberikan pemahaman yang lebih baik tentang manfaat penerapan wisata halal, terutama dalam hal peningkatan ekonomi setempat.
Pemimpin adat Samosir mendukung program wisata halal tetapi tidak setuju dengan penggunaan istilah \'wisata halal\' sebagai strategi pemasaran. Istilah tersebut menyiratkan bahwa makanan lokal haram, sehingga menciptakan citra negatif terhadap masyarakat Samosir. Para pemimpin adat Samosir berharap agar label \'wisata halal\' tidak digunakan dalam kasus mereka, karena istilah tersebut dapat disalahpahami dan ditolak oleh penduduk setempat. Pemerintah mengakui bahwa wisata halal merupakan konsep baru dan mungkin menimbulkan keresahan di masyarakat. Namun, wisata halal justru mendongkrak pariwisata dan menguntungkan pemerintah maupun warga. Oleh karena itu, Pemerintah Samosir menerapkan kriteria wisata halal secara cermat dan bijaksana, tanpa menggunakan istilah tersebut secara langsung, agar tidak menimbulkan rasa tidak nyaman di kalangan warga. Pemerintah menggunakan pendekatan tidak langsung dan tidak konfrontatif untuk memastikan bahwa akomodasi menyediakan fasilitas yang dibutuhkan wisatawan muslim.
Analisis Perspektif Moderasi Beragama
Di wilayah Toba, Samosir, Dairi, dan Humbang Hasundutan, sikap masyarakat lokal dan para pemimpin yang bergerak di bidang pariwisata halal mencerminkan moderasi beragama dengan menolak label tersebut sembari mengakomodasi kebutuhan wisatawan Muslim. Kekhawatiran atas potensi persepsi negatif dan konflik antar agama mendorong penolakan label \'pariwisata halal\' karena menyiratkan dominasi Muslim. Meskipun demikian, masyarakat menunjukkan toleransi (tasamuh), kesetaraan (musawah), dan keadilan (i\'tidal) dengan menyediakan fasilitas yang ramah Muslim. Pendekatan ini mencerminkan komitmen terhadap keberagaman dan kerukunan, pentingnya melestarikan identitas budaya lokal, dan berfungsi sebagai indikator moderasi beragama. Di semua daerah, nilai-nilai toleransi, keadilan, dan kesetaraan menjadi inti pendekatan para pemimpin terhadap moderasi beragama. Mereka menolak istilah \'pariwisata halal\' tetapi mendukung praktik inklusif, yang mencerminkan komitmen terhadap keberagaman dan persatuan nasional Indonesia.
Kesimpulan
Mayoritas masyarakat dan pemimpin adat di kawasan Kaldera Danau Toba memiliki pandangan yang beragam tentang pariwisata halal. Banyak yang menganggap label tersebut sebagai bentuk diskriminasi yang hanya mementingkan identitas tertentu, sehingga menimbulkan kekhawatiran tentang dominasi Muslim. Kekhawatiran ini terutama muncul karena kurangnya pemahaman tentang definisi wisata halal yang berfokus pada penyediaan fasilitas tambahan bagi wisatawan muslim. Namun, para pemimpin adat lebih menyukai istilah yang lebih netral yang mencerminkan keramahtamahan daerah terhadap wisatawan muslim tanpa mengurangi kearifan lokal dan keragaman budaya. Pada penerapan konsep wisata halal, masyarakat setempat di Danau Toba pada umumnya menunjukkan sikap moderat beragama yang menitikberatkan pada nilai nilai toleransi dan keseimbangan, dengan toleransi dan komitmen kebangsaan sebagai indikator utamanya. Meskipun ada penolakan terhadap istilah \'wisata halal\', pendirian fasilitas halal dapat diterima sepanjang tetap menjaga kerukunan dan menghargai identitas budaya setempat. Oleh karena itu, praktik moderasi beragama di Kaldera Danau Toba dapat menjadi model untuk mengakomodasi perbedaan agama dalam konteks pariwisata yang inklusif dan berkelanjutan.