(Sumber : www.nursyamcentre.com)

Pancasila dan Pendidikan Agama Islam: Model Deradikalisasi Pendidikan

Riset Sosial

Tulisan berjudul “Pancasila and Islamic Education: The Deradicalization Model of Madrasahs Based on Islamic Boarding Schools in Central Java” merupakan karya Ihsan dan Ahmad Fatah. Artikel ini terbit di Qudus International Journal of Islamic Studies (QIJIS) pada tahun 2021. Tujuan dari penelitian ini adalah meninjau deradikalisasi dalam beragama melalui penguatan pemahaman Pancasila dalam konteks Pesantren di Jawa Tengah. Subjek penelitian ini ialah pondok pesantren di wilayah Pantai Utara Jawa Tengah. Pendekatan yang digunakan adalah kualitatif dengan wawancara dan observasi sebagai metode pengumpulan data. Terdapat lima sub bab dalam resume ini. Pertama, pendahuluan. Kedua, Pancasila dan deradikalisasi. Ketiga, deradikalisasi melalui penguatan Pancasila. Keempat, deradikalisasi dan pendidikan agama Islam. Kelima, reformulasi pendidikan agama Islam. 

  

Pendahuluan

  

Radikalisme dan terorisme atas nama Islam masih menjadi tantangan yang nyata bagi kehidupan berbangsa. Tantangan tersebut diantaranya adalah penolakan Pancasila sebagai ideologi bangsa dan intoleransi beragama. Pemerintah telah mengambil berbagai langkah strategis sebagai upaya represif dengan menangkap teroris hingga upaya pencegahan dengan memperkuat aturan terkait teorirsme, deradikalisasi agama serta moderasi beragama.  

  

Berdasarkan survei Alvara Research Centre, dukungan terhadap khilafah paling tinggi berasal dari Pegawai Negeri Sipil (ASN) 19,4%, siswa sebanyak 18,6%, mahasiswa sebanyak 16,8%, professional sebanyak 15%. Namun, pendukung Pancasila jauh lebih tinggi sebesar 80%. Mereka yang menolak Pancasila disebabkan anggapan bahwa ideologi bangsa tersebut sekular dan hasil pemerintahan thagut

  

Penolakan terhadap Pancasila bisa dijadikan sebagai ukuran utama adanya radikalisme. Hal ini disebabkan tolak ukur bahwa jika kalangan radikal bisa menerima Pancasila, maka pembangunan negara dan nilai nasionalisme akan diterima. Oleh sebab itu, penerimaan Pancasila adalah syarat utama bagi upaya deradikalisasi agama. Kemunculan radikalisme muncul dari kurangnya pemahaman terkait ideologi bangsa. Jika pemahaman Pancasila dibangun, maka radikalisme secara logis bergeser pada moderatisme. 

  

Proses deradikalisasi agama kemudian dapat diselenggarakan melalui penguatan pemahaman Pancasila berlandaskan pada penguatan wawasan Islam moderat yang sejalan dengan nilai-nilai Pancasila. Pada jalur pendidikan dapat dilaksanakan melalui internalisasi Pendidikan Agama Islam (PAI). Artinya, penguatan pemahaman Islam moderat dilakukan melalui penguatan pendidikan Pancasila yang dikembangkan melalui mata pelajaran PAI. 

  

Pancasila dan Deradikalisasi

  

Deradikalisasi berarti melunakkan pandangan radikalisme individu bahwa kegiatan terorisme adalah ilegal, tidak bermoral dan tidak dapat dibenarkan. Deradikalisasi adalah kebalikan dari radikalisasi yang bertujuan perubahan nilai dan perilaku. Menurut Mareta dalam artikelnya yang berjudul “Rehabilitasi Dalam Upaya Deradikalisasi Narapidana Terorisme, Masalah-Masalah Hukum” menyatakan terdapat 18 parameter deradikalisasi dianggap efektif. Di antaranya adalah (1) mencapai keterbukaan; (2) berpikir kritis; (3) memahami konteks daar al harb dan dar as salam; (4) memiliki empati yang tinggi; (5) melepaskan diri dari kekerasan; (6) mendorong pemberdayaan diri; (7) belajar terus menerus; (8) mampu menyesuaikan masyarakat; (9) melakukan reintegrasi sosial; (10) memiliki kemandirian mental; (11) tingkat toleransi tinggi; (12) membangun hubungan baik dengan anggota masyarakat yang heterogen; (13) memahami kearifan lokal; (14) memiliki kewarganegaraan; (15) memiliki keberanian melawan tekanan kelompok; (16) mempromosikan pesan anti-kekerasan secara publik; (17) memiliki ketahanan dalam menyampaikan pesan non-kekerasan kepada masyarakat; (18) menginspirasi pemuda untuk menjadi agen perubahan dalam mempromosikan anti kekerasan. 


Baca Juga : Menteri Abdul Halim Iskandar : Tak Perlu Dana Besar Atasi Persoalan Stunting

  

Pancasila merupakan prinsip kebangsaan dan negara, ideologi yang menjadi norma dasar dari konstitusi dan sistem hukum Indonesia.  Pancasila tidak tercantum dalam konstitusi atau produk perundang-undangan. Artinya, diposisikan di luar konstitusi dan perundang-undang. Posisi Pancasila dalam ranah sejarah adalah kesepakatan para pendiri bangsa, sehingga meskipun tidak terkandung dalam konstitusi, penegasan Pancasila sebagai sumber dari segala hukum terletak pada UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. 

  

Deradikalisasi Melalui Penguatan Pancasila

  

Radikal yang dimaksud adalah radikalisme politik (Salafi Haroki) dan radikalisme teroris (Salafi Jihadi) yang bercita-cita mendirikan khilafah. Pancasila sebagai prinsip nasional menjadi pilar bagi bentuk negara-bangsa yang telah membubarkan kesatuan global wilayah politik Islam (khilafah). Landasan konstitusional dalam menegakkan kedaulatan rakyat (demokrasi) yang dianggap mencederai kedaulatan Tuhan (hakimiyatullah). Jelas bahwa khilafah menempatkan Syariah sebagai konstitusi negara. Oleh sebab itu, Pancasila akhirnya berbenturan dengan konstitusi syariah, NKRI bentrok dengan daulah islam, serta demokrasi bentrok dengan kedaulatan Tuhan. 

  

Salah satu argumentasi kuat untuk “menghancurkan” kontra Pancasila adalah membuktikan keislaman atau keagamaan dari dimensi Pancasila. Artinya, apabila Pancasila ditolak atas nama Islam, maka deradikalisasi ditunjukkan dengan dimensi Islam dari Pancasila dan NKRI. Hal ini dapat dilakukan sebab Islam yang mainstream di Indonesia adalah moderat dan pancasilais. Pada pemahaman mainstream ini, Pancasila dianggap Islam dengan iman dan syariah dengan beberapa alasan. Pertama, prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa menandai nilai Islam paling dasar yakni tauhid seperti dalam surah Al-Ikhlas. Kedua, selarasnya konstitusi, undang-undang dan kebijakan negara dengan hukum Islam. Misalnya, tidak melarang umat Islam dan beragama lainnya dari penerapan Syariah dan aturan agama di Indonesia. Ketiga, keempat sila lainnya selaras dengan tujuan syariah yang mengacu pada lima hak asasi manusia yakni melindungi kehidupan; akal; harta; memelihara agama dan menjaga kehormatan. Keempat, dimensi keislaman dalam membangun NKRI menunjukkan bahwa negara telah menerima persetujuan agama sebagai bagian dari sistem politik Islam. Misalnya yang dilakukan oleh pesantren dan ormas Islam NU. 

  

Empat alasan tersebut dengan jelas menunjukkan bahwa NKRI sah secara syar’i, sehingga tidak ada lagi alasan untuk menolak atas nama Islam. Semua dalil Islam tentang keabsahan Pancasila dan NKRI adalah tahap pertama deradikalisasi Islam berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Selanjutnya, penjelasan hubungan antara agama dan negara dalam Pancasila untuk menghilangkan miskonsepsi radikal yang menganggap NKRI sebagai negara sekular yang bertentangan dengan Islam. 

  

Garis politik Pancasila telah menghadirkan konsep politik yang lebih sejalan dengan nilai politik Islam. Jauh berbeda dengan sistem politik yang dibangun oleh negara Islam dengan gaya radikalisme. Politik ini mengacu pada kesejahteraan negara dengan tujuan keadilan sosial bagi seluruh rakyat yang sejalan dengan prinsip fiqh, tasahrruf al imam ‘ala ar-raiiiyyah maqashid asy-syariah dan dasar Islam sebagai agama. Pada konteks ini, tujuan kesejahteraan negara melampaui bentuk negara. Artinya, kesejahteraan tidak bergantung pada bentuk negara tertentu asalkan tidak melanggar asas kesejahteraan negara. Hal ini disebabkan karena kesejahteraan negara adalah inti dari politik.

  

Deradikalisasi dan Pendidikan Agama Islam (PAI)

  


Baca Juga : UIN Maulana Malik Ibrahim: Riset Bagi Pengembangan Ilmu KeIslaman (Bagian Ketiga)

Salah satu upaya deradikalisasi adalah dengan memperkuat pemahaman Pancasila melalui pendidikan agama Islam (PAI). Hal ini sangat strategis mengingat pemahaman Pancasila melalui wawasan keislaman menjadi “pintu penutup” untuk proses radikalisme. Berbeda dengan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) yang masih bersifat umum dan belum dibahas tuntas pada dimensi keagamaan Pancasila.  Deradikalisasi melalui PAI melalui perspektif Pancasila dapat diimplementasikan melalui beberapa langkah. 

   

Pertama, menempatkan Pancasila sebagai dasar negara nasional serta religius bahkan tauhidi (bersifat tauhid). Hal yang perlu dipahami adalah sifat religius dan tauhidi Pancasila terletak pada prinsip kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai hal utama. Kedua, menempatkan Pancasila sebagai pengamalan nilai ketuhanan. Artinya, sila pertama mewakili prinsip rahmat ketuhanan (tauhid rahamutiyah), mencirikan ketuhanan Tuhan (tauhid uluhiyah) dan kekuasaan Tuhan (tauhid rububiyah). Rahmat Tuhan dianggap sebagai pemuliaan Allah SWT kepada manusia (Q.S Al Ma’idah:32); perintah berbuat baik di tengah perbedaan (QS. Al Maidah:48); perintah menjadi pemimpin yang melayani (Q.S Asy Syura’:38) perintah mencintai orang miskin (Q.S Al-Maun: 1-7). Ketiga, pengenalan Pancasila sebagai pengamalan nilai-nilai agama. kaitannya adalah nilai kemanusiaan, persatuan, populisme dan keadilan sosial menjadi nilai takwa karena perintah Allah SWT. 

  

Secara garis besar prinsip Pancasila yang terkandung pada al-Qur’an mengacu pada nilai ketuhanan, menghormati manusia, persatuan dalam pluralisme, menjadi pemimpin yang populis dan mencintai orang miskin. Semua nilai Pancasila adalah perintah Allah yang pada akhirnya menjadi komitmen umat Islam untuk melaksanakan perintah al-Qur’an.

  

Reformulasi Pendidikan Agama Islam (PAI)

  

Pada konteks ini, PAI perlu merumuskan kembali paradigma pendidikan Islam dari agama formalistik menjadi humanistik. Materi yang diajarkan tidak hanya mengacu pada doktrin Islam, melainkan wawasan terkait maqashid syariah. Tujuan utamanya adalah mengacu pada perlindungan dasar kehidupan manusia yakni agama, kehidupan, pemikiran, keturunan, dan harta benda. Bukan meminggirkan doktrin syariah, melainkan diperluas untuk mencapai ilmu maqashid syariah. 

  

Pendidikan Pancasila melalui PAI dianggap sebagai upaya menempatkan Islam dan Pancasila pada posisi yang harmonis. Artinya, memiliki kesamaan nilai. Islam mengandung nilai tauhid dan maqashid syariah, sedangkan Pancasila mengandung nilai kesatuan yang dipraktikkan melalui nilai kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan sosial. 

  

Pada konteks ini, Pesantren menjadi lembaga pendidikan strategis untuk penguatan Pancasila melalui PAI. Hal ini terwujud selama proses pembelajaran mengikuti kompetensi dasar PAI seperti mengapresiasi pentingnya toleran, moderat, perilaku mewujudkan persatuan dan kesatuan umat baik internal maupun eksternal. Misalnya, pengajaran tentang pemahaman hukum fikih dengan berbagai pendapat terkait suatu hukum, sehingga siswa akan memahami perbedaan dan tidak terjadi fanatisme agama. Selain itu, dengan bimbingan kelembagaan dan kualitas pendidikan dari tokoh ulama yang menjadi panutan. 

  

Kesimpulan

  

Keselarasan antara nilai Pancasila dan Islam memang lebih unggul Islam. Oleh sebab itu, Pancasila merupakan objektivitas nilai Islam di mana nilai Islam diobjektivasikan atau dimanifestasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui Pancasila. Pada kaitannya dalam bidang pendidikan bisa dilakukan melalui mata pelajaran PAI. Materi utama PAI adalah upaya harmonisasi Islam dan Pancasila melalui keselarasan tauhid dan maqashid Syariah dengan nilai ketuhanan Pancasila. PAI bisa menjadi media pendidikan untuk pemahaman Pancasila yang mengacu pada pemahaman humanis, nasionalis, toleran, demokratis yang mengarah pada etos kesalehan sosial.