Pemeliharaan Islam di Negara Kuat
Riset SosialArtikel berjudul “Managing Islam in Singapore: A Strong and Resilient State” merupakan karya Norshahril Saat. Tulisan ini terbit di Jurnal Studia Islamika tahun 2022. Penelitian tersebut mengkaji efektivitas negara dalam mengelola hubungan negara-masyarakat Melayu khususnya dalam hal keamanan dan religiositas di Singapura. Relasi antara masyarakat dan negara cenderung bersahabat, meskipun terdapat sedikit ketegangan. Sejak tahun 1970-an, komunitas muslim mengalami hal yang disebut oleh para pengamat sebagai kebangkitan Islam. Terdapat empat sub bab dalam resume ini. Pertama, pendahuluan. Kedua, masyarakat dan politik Singapura. Ketiga, relasi negara-Melayu/Muslim: negara kuat. Keempat, kebangkitan Islam di Asia Tenggara.
Pendahuluan
Komunitas Melayu-Muslim mencakup sekitar 13,4% dari 5,6 juta penduduk Singapura. Meskipun umat Islam adalah minoritas di Singapura, namun negara ini terletak di antara negara dengan mayoritas muslim di Indonesia dan Malaysia. Perkembangan Islam di kedua negara tersebut mempengaruhi komunitas muslim Singapura, khususnya yang berbahasa melayu. Dampaknya jelas terlihat pada wacana dan perilaku.
Menurut sejarah, sebelum masa kolonial antara abad ke 16 hingga pertengahan abad 20, batas wilayah Indonesia, Singapura dan Malaysia adalah “potongan” kerajaan. Hari ini, batas yang memisahkan ketiga negara dihasilkan dari pemerintahan Belanda di Indonesia, pemerintahan inggris di Malaya dari abad 18 hingga 1950-an. Kolonialisme Eropa membagi dan memerintah negara ini menurut ideologi pembangunan kerajaan dan kepentingan kapitalistik mereka. Faktanya, perbedaan antara Indonesia, Malaysia dan Singapura mengenai perbatasan terus terjadi hingga saat ini. Meskipun, sebagian besar perselisihan diselesaikan secara damai di bawah hukum internasional.
Masyarakat dan Politik Singapura
Di Singapura, ras adalah pengidentifikasi kunci mengenai bagaimana masyarakat dan politik diatur. Warga diklasifikasikan ke dalam empat kategori ras yakni Cina, Melayu India dan lainnya yang biasa disebut dengan CMIO. Meskipun hal ini tidak disebutkan dalam konstitusi, tapi budaya, bahasa dan Islam adalah “identitas” utama orang Melayu Singapura.
Sejak tahun 1988, pemerintah Singapura memperkenalkan skema Group Representation Constituency (GRC) untuk memastikan bahwa semua kelompok ras terwakili secara proporsional di parlemen. Pemilihan apa pun, beberapa kandidat harus mencalonkan diri dalam tim untuk daerah pemilihan yang ditandai sebagai GRC. Asal dari tim mana pun, setidaknya salah satu kandidat harus berasal dari komunitas minoritas. Berdasarkan perspektif negara, skema tersebut menjamin keterwakilan minoritas di parlemen dalam setiap pemilu.
Relasi negara dengan muslim di Singapura telah banyak di bahas oleh para akademisi. Mereka umumnya berpendapat bahwa Singapura negara kuat yakni negara progresif yang kapan pun melawan kelompok konservatif, populisme dan korupsi. Negara ini condong bersih, adil dan berorientasi pada tujuan.
Baca Juga : Menengok Perilaku Toleransi Beragama di Perayaan Natal
Sejak kemerdekaan, setidaknya satu posisi dalam kabinet dicadangkan untuk politisi Melayu-Muslim. Selama ini jabatan yang sering diberikan kepada orang Melayu adalah lingkungan dan sumber daya air, komunikasi dan informasi, kemasyarakatan, kebudayaan dan pemuda, serta sosial keluarga. Sejak tahun 2015, para pemimpin muslim Melayu diberikan posisi sebagai menteri kedua untuk pendidikan dan luar negeri. Para menteri dan anggota parlemen Melayu-Muslim juga bertanggung jawab atas lembaga yang dibentuk negara dan mewarisi urusan Islam, pendidikan, budaya, seni dan warisan.
Sejak peristiwa 9/11, para Melayu-Muslim di Singapura menjadi sorotan karena banyak dugaan keterlibatan dalam kelompok radikal, sehingga mereka harus ditangkap dan ditahan. Beberapa di antaranya menjadi anggota jaringan teroris regional Jemaah Islamiah (JI) pada tahun 2000-an yang menimbulkan keraguan lebih lanjut mengenai loyalitas masyarakat kepada negara. Bahkan, banyak juga warga Singapura yang ditahan akibat dugaan terpengaruh oleh jaringan teroris global ISIS.
Relasi Negara-Melayu/Muslim: Negara Kuat
Pada tahun 1990-an, Singapura diklasifikasikan sebagai negara dengan ekonomi “Macan Asia Tenggara” bersama Korea Selatan, Jepang, Taiwan, dan Hongkong. Prestasi ini merupakan hasil dari industrialisasi besar-besaran. Para pemimpin Singapura di bawah komando Perdana Menteri Lee Kuan Yew cepat memulai peluang baru dan mengikuti gelombang tren, sehingga Singapura tetap kompetitif. Ketika ASEAN juga bergerak cepat menuju industrialisasi, Singapura dengan cepat bergerak pada sektor jasa dan memanfaatkan lokasi geografis serta pelabuhan. Selain itu, negara ini juga dianggap sebagai “smart city” yang menunggangi gelombang digitalisasi.
Jika ditinjau dari segi prioritas, pemerintah Singapura fokus bagaimana mempertahankan kelangsungan hidup. alasannya adalah, Singapura merupakan negara kecil yang dikelilingi negara mayoritas muslim yang dominan di masa lalu. Pada tahun 1960-an, Indonesia melancarkan konfrontasi terhadap Singapura dan Malaysia yang berujung pada serangan teroris. Sejak tahun 1967, Indonesia, Malaysia dan Singapura telah berdamai dalam semangat ASEAN.
Prioritas kedua adalah pertumbuhan dan stabilitas ekonomi. Pemerintahan Singapura saat ini dapat dikatakan unggul dalam hal ini. rekam jejak pemerintahan yang bersih juga membuat iri banyak negara. Singapura telah mengembangkan kapasitas teknis yang kuat melalui kebijakan ekonomi yang sehat untuk mengatasi ketidakpastian ekonomi global, seperti krisis moneter. Selain itu, pemerintah Singapura hari ini juga memiliki kapasitas kelembagaan yang kuat dan mampu memperkenalkan regulasi yang jelas bagi dunia usaha dan investor.
Singapura adalah negara multiras dan sekular. Artinya, tidak memiliki toleransi terkait setiap upaya melemahkan kohesi sosial negara. Agama ditinggalkan dari politik. Di sisi lain, negara ini juga bekerja sama dengan masyarakat sipil untuk mempromosikan kerukunan rasial melalui dialog antar agama. Pemerintah tidak mentolerir ekstremisme tanpa kekerasan yang menabur perselisihan antar ras, bahkan mengadopsi pendekatan yang keras terhadap ekstremisme yang mencakup radikalisme dan terorisme.
Kebangkitan Islam di Asia Tenggara
Mayoritas orang Melayu beragama Islam. Selain itu, orang Melayu dianggap sebagai penduduk asli Singapura, dan Malaysia juga mayoritas terdiri dari orang Melayu. Meskipun begitu, orang Melayu dan muslim bukan kelompok yang homogen. Orang Melayu pada umumnya adalah Sunni dan mengikuti Mazhab Syafi’i. Dominasi mazhab ini disebabkan oleh kelompok yang membawa Islam ke dunia Melayu yakni Hadramis dan Sufi yang berasal dari Yaman.
Pada tahun 1970-an, orang Melayu mengalami kebangkitan Islam yang mengacu pada penegakan nilai dan praktik Islam, lembaga Islam, hukum Islam, bahkan Islam secara keseluruhan dalam kehidupan di mana pun. Hal ini merupakan upaya menciptakan kembali etos Islam, tatanan sosial Islam yang berpedoman pada al-Qur’an dan Sunnah. Pada periode ini, Kawasan Asia Tenggara dilanda persaingan geopolitik di Timur Tengah, khususnya Arab Saudi, Mesir dan Iran. Salah satu dampaknya adalah gerakan pemuda yang berkembang di beberapa negara Asia Tenggara, termasuk Singapura. Ada banyak pertukaran pemimpin mahasiswa dari Malaysia, Singapura dan Indonesia. Alhasil, kebangkitan Islam jelas mengubah perilaku orang Melayu. Adanya tanda-tanda orang Melayu menjadi konservatif juga mengartikan bahwa pemerintah Singapura harus terus menerus mengeluarkan kebijakan yang “terbaik” untuk memastikan bahwa masyarakat selaras dengan kemajuan.
Kesimpulan
Secara garis besar penelitian tersebut menunjukkan bahwa Singapura dalam mengelola relasi masyarakat dan negara khususnya dalam masalah keamanan dan religiositas sangat efektif. Kekuatan negara tidak diperoleh dari penggunaan hard power atau undang-undang. Melainkan fleksibilitas dan pengetahuan yang mendalam mengenai kapan, apa dan bagaimana melakukan intervensi. Jika ditinjau dari kapasitas negara, Singapura dianggap tangguh dalam mengelola ancaman apa pun termasuk ekstremis dalam ruang lingkup ideologi negara. Ketahanannya juga tidak hanya ditunjukkan melalui kapasitas administratif dan kelembagaan dalam menerapkan aturan dan perundang-undangan di bidang keamanan, melainkan juga menggunakan soft power. Pemerintah bersama dengan berbagai kelompok swadaya ras dan agama berusaha menumbuhkan budaya dialog yang kuat