(Sumber : GusDur.net)

Perampasan Kekuasaan Negara Terhadap Kebebasan Beragama

Riset Sosial

Artikel berjudul “Hijacking of State Power on Religious Freedom by Community Organizations in Indonesia” merupakan karya Andi Luhur Prianto, Suud Sarim Karimullah, Idri, Zumiyati Sanu Ibrahim, Aat Ruchiat Nugraha, dan Yavuz Gonan. Tulisan tersebut terbit di Jurnal Ilmiah islam Futura tahun 2024. Tujuan penelitian tersebut adalah mengungkap kegagalan negara dalam menggunakan kewenangannya untuk menjamin pemenuhan kebebasan beragama bagi seluruh warga negaranya secara maksimal  dan memadai karena dalam praktiknya, negara terkadang berlindung di balik slogan netralitas ketika melihat kelompok mayoritas melakukan praktik kekerasan terhadap kelompok minoritas. Metode yang digunakan adalah analisis wacana dengan pendekatan fenomenologi untuk memahami makna berbagai peristiwa dan interaksi manusia. Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka, studi media, dan observasi dengan menggunakan metode analisis isi dan analisis wacana dalam mengolah data. Terdapat empat sub bab dalam resume ini. Pertama, pendahuluan. Kedua, dominasi ormas terhadap kebebasan beragama di Indonesia. Ketiga, diskusi tolak Pancasila dan keberagaman: upaya ormas membangun legitimasi hukum. Keempat, peran negara dalam memberikan kebebasan beragama kepada seluruh warga negaranya.

  

Pendahuluan

  

Berakhirnya masa Orde Baru Soeharto membawa perubahan signifikan dalam proses demokratisasi di Indonesia. Pada bidang politik, kekuasaan tidak lagi monolotik, namun lebih kepada terdesentralisasi, kompetitif dan terbuka. 

  

Seiring dengan hal tersebut, kebebasan sipil dan politik juga mulai mendapatkan ruang. Sayangnya, hak sipil di negara demokrasi tersebut tidak dirasakan oleh kelompok minoritas yang memiliki pandangan berbeda dengan kelompok agama mayoritas. Fakta sering menunjukkan bahwa agama dapat memicu tindakan kekerasan, dan penganut agama menjadikannya sebagai pemicu tindak kekerasan. Salah satu penyebab utama masalah ini adalah kelompok mayoritas agama yang mencoba memanfaatkan negara sebagai arena menanamkan ideologi agama dalam ajarannya. Akibatnya, dalam beberapa kasus kekerasan terhadap kelompok minoritas agama di Indonesia, pilihan kebijakan negara tidak dapat terpisah dari tekanan kelompok mayoritas agama. Jadi, negara melalui instrumen hukum, sering kali gagal dan terkesan lalai dalam menegakkan hak-hak sipil, khususnya berkaitan dengan kelompok minoritas agama. 

  

Di Indonesia, kekerasan bermotif agama telah terjadi pada jangka waktu lama. Namun, kekerasan agama di Indonesia mengalami peningkatan yang signifikan pasca reformasi politik tahun 1998 yang bertepatan dengan pertumbuhan organisasi keagamaan radikal. Agama, sebagai suatu kesadaran akan makna dan legitimasi tindakan para penganutnya dalam interaksi sosial mereka, mengalami konflik interpretasi, sehingga di sinilah perselisihan konflik antar pemeluk agama mengandung muatan kompleks  dan tidak hanya menyentuh dimensi keyakinan agama yang dianutnya. Namun, juga terkait dengan dimensi sosial, ekonomi, kepentingan politik dan sebagainya. Konflik antar pemeluk agama mudah sekali terjadi, terutama jika ditunggangi oleh kelompok kepentingan. Hasilnya adalah konflik kepentingan atas nama Tuhan dan Agama. 

  

Dominasi Ormas Terhadap Kebebasan Beragama di Indonesia

  

Pemerintah sebagai pihak yang memiliki kewenangan formal untuk mengatur hubungan sosial, termasuk hubungan antar umat beragama, menjadi aktor yang memiliki peran strategis dalam mendukung terciptanya toleransi yang kondusif. Membayangkan adanya pemerintahan negara yang tegas, tampak netral, dalam menjamin kebebasan beragama dan hak asasi manusia setiap warga negara di Indonesia bukan sebuah perkara mudah. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari adanya anggapan bahwa negara selama ini sangat tidak bersahabat dengan keberadaan kelompok minoritas agama. 

  

Tidak dapat dipungkiri bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1946 secara konstitusional menjamin kebebasan agama sebagai bagian integral dan hak asasi manusia yang diakui, dijamin, dan dilindungi negara melalui beberapa pasal di dalamnya. Beberapa pasal yang menjadi landasan di antaranya adalah Pasal 28E ayat 1 dan 2; Pasal 28I ayat 1; Pasal 29 ayat 2. Selain itu, ada hak untuk menjalankan ibadah sesuai keyakinannya yakni Pasal 28D ayat 1; Pasal 28 E ayat 1; Pasal 28G ayat 1; Pasal 28 J ayat 1; Pasal 3 ayat 2 dan 3; Pasal 5 ayat 1 dan 3; Pasal 22 ayat 2 Undang-Undang HAM. Bukan hanya dalam konstitusi Indonesia, prinsip kebebasan beragama dan toleransi berakar pada tradisi dan kepercayaan agama. Pada tradisi Islam, prinsip tersebut ditegaskan dalam al-Qur’an dan Sunnah. 


Baca Juga : Fenomenologi Sebagai Metode Penelitian Sosiologi (2)

  

Tanggung jawab negara untuk menjamin kebebasan beragama mencakup pemanfaatan kebebasan beragama itu sendiri. Namun, ada pula kasus di mana negara seakan bersembunyi di balik kedok netralitas sambil melakukan praktik kekerasan terhadap minoritas. Selain itu, konsep praktik hegemonik secara “terselubung” menemukan validasi hukum melalui langkah legislatif yang bertujuan menegakkan ideologi mayoritas. Di sini letak permasalahannya, kelompok minoritas sering menjadi korban ideologis dari kelompok agama yang dominan. Mereka menggunakan kekuasaan negara sebagai alat memaksakan kepentingan mereka. Pada konteks ini, dominasi menjadi kata kunci memahami bagaimana arus utama bekerja. Klaim kebenaran menjadi pintu masuk melancarkan praktik hegemoni suatu kelompok terhadap kelompok lain. Jadi, arah pelembagaan mudah didikte oleh kelompok mayoritas yang dominan.

  

Diskusi Tolak Pancasila dan Keberagaman: Upaya Ormas Membangun Legitimasi Hukum

  

Wacana anti Pancasila dan keberagaman yang ada di Indonesia biasanya sering ditemukan permasalahan intra agama di mana kelompok mayoritas menuduh adanya penolakan Pancasila terhadap kelompok lain yang berbeda, meskipun masih memiliki tradisi keagamaan yang sama. Misalnya, Ustaz Hanan Attaki, Felix Siauw dan Ustaz Khalid Basalamah yang ditolak mengisi kajian karena dituduh sebagai kelompok radikal yang menolak Pancasila. Tidak dapat dipungkiri bahwa Pancasila berfungsi sebagai landasan bersama yang menyatukan berbagai etnis, suku, ras, dan budaya. Jaminan kebebasan beragama sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 menegaskan asas ini bagi semua orang. Kebebasa beragama adalah prinsip yang memberikan kebebasan kepada setiap individu untuk memilih dan percaya pada agama mereka. Ini adalah landasan membina toleransi beragama. 

   

Kebebasan beragama adalah hal yang melekat pada setiap manusia. Terwujudnya hak ini mencakup konsep “forum internum” dan “forum externum” yang membentuk aspek integral dari manifestasinya. Pada konteks kebebasan beragama, forum internum mengacu pada wilayah pemikiran, hati nurani dan keputusan individu, berkenaan dengan agama dan kepercayaan yang merupakan hak mutlak. Ranah internal ini tidak dapat diintervensi oleh eksternal/individu. Pada saat yang sama forum ekternum meliputi kebebasan mengekspresikan dan memanifestasikan keyakinan agama secara terbuka. 

  

Peran Negara dalam Memberikan Kebebasan Beragama kepada Seluruh Warga Negaranya

  

Negara yang ideal adalah mampu berbuat adil terhadap seluruh warga negaranya, serta bertenggung jawab menjaga ketertiban di negara domokrasi. Permasalahan atau konflik yang terjadi sering kali menunjukkan ketidakmampuan negara bersikap otonom dalam menyelesaikan masalah di masyarakat, sehingga seakan memunculkan kesan bahwa hanya segelintir orang yang mengendalikan negara. Bahkan, ada beberapa peneilitian yang menunjukkan bahwa kecenderungan intoleransi dan diskriminasi yang timbul dalam masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung diketahui oleh pemerintah. Salah satu sumber masalah ini adalah ketidakjelasan kewenangan lembaga pemerintah bahkan peraturan perundang-undangan yang ada. 

  

Jika pada masa Orde Baru hampir semua hal termasuk konflik antar agama dapat diselesaikan oleh militer dan birokrasi karena bersifat represif, saat ini tidak jelas kewenangan untuk itu. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat dan daerah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) setempat, pemerintah, Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan (Bakor Pakem) di bawah kejaksaan, dan kepolisian kerap membuat pernyataan yang mengejukan bahwa untuk menangani hal semacam itu, mereka menunggu fatwa dari pemerintah Indonesia. 

Pemerintah memiliki peran dan tanggung jawab dalam mewujudkan dan membina agama. Pemerintah diharapkan lebih tegas, konsisten dan adil terhadap semua pihak. Selain itu, pemerintah adalah pelayan, mediator, atau fasilitator, sehingga menentukan kualitas permasalahan umat bergama. Undang-Undang jelas menyatakan bahwa pemerintah memiliki kewajiban konstitusional untuk melindungi, memajukan, menegakkan, dan memehuni HAM. 

  

Kesimpulan

  

Kebebasan beragama adalah hak asasi manusia yang tidak boleh dikurangi dengan cara apa pun. Setiap individu memiliki kebebasan memilih agama dan menjalankannya. Negara menjamin bahwa setiap penduduk bebas memeluk agama dan beribadah sesuai keyakinannya. Pemerintah wahib memberikan bimbingan dan pelayanan untuk kelancaran pelaksanaan ajaran agama. Pemerintah harus memastikan adanya transparansi dan akuntabilitas dalam setiap kebijakan terkait kebebasan beragama. Program dan kampanye mengenai kesadaran sangat penting guna mengurangi prasangka dan diskriminasi. Penegakan hukum yang adil terhadap pelanggaran kebebasan beragama harus ditingkatkan. Selain itu, dialog antar agama yang konstruktif harus didorong dan lembaga pengawasan independen harus dibentuk guna memantau pelanggaran. Pelatihan pejabat negara mengenai kebebasan beragama juga penting agar pemerintah dapat lebih efektif menjaga kerukunan umat beragam dan menciptakan lingkungan yang inklusif dan adil.