Post-Truth dan Islamophobia dalam Kontestasi Politik Indonesia
Riset SosialTulisan berjudul “Post-truth and Islamophobia in the Contestation of Contemporary Indonesian Politics” merupakan karya Zainuddin Syarif, Syafiq A. Mughni, dan Abd Hannan. Karya tersebut terbit di Indonesian Journal of Islam and Muslim Society tahun 2020. Penelitian tersebut mengkaji fenomena politik era post-truth, peran dan pengaruhnya terhadap kembalinya narasi Islamophobia dalam dinamika perebutan kekuasaan Indonesia kontemporer. Selain itu, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan teori kritis. Secara garis besar, hasilnya adalah prevalensi praktik politik post-truth telah menghidupkan kembali narasi Islamophobia dalam kontestasi kekuasaan di Indonesia. Kembalinya narasi islamophobia setidaknya terjadi memalui tiga cara. Pertama praktik politik post-truth yang bersumber dari politisasi agama dan etnisitas yang berdampak negatif terhadap proses perputaran kekuasaan. Bahkan, realitas keberagaman sebagai bangsa yang plural dalam hal agama dan etnis. Kedua, praktik politik kebenaran yang di dalamnya teradapat propaganda, intimidasi, kebohongan, dan ujaran kebencian, menjadi katalis kriteria sentiment terhadap kelompok sosial-agama, seperti Aksi Bela Islam 212. Ketiga, kembalinya narasi Islamophobia akibat politik yang terbukti bentrok dengan praktik intoleransi agama di Indonesia. Terdapat empat sub bab yang akan dijelaskan dalam resume ini. Pertama, pendahuluan. Kedua, narasi Islamophobia dalam politik post-truth. Ketiga, post-truth dalam politik Indonesia. Keempat, Islamophobia dan perebutan kekuasaan di Indonesia.
Pendahuluan
Secara teoritis, diskusi perihal agama dan politik di Indonesia menemukan “ruangnya” ketika narasi politik nasional menghadapi masalah yang bersumber dari etnis, ras, kelas, dan agama. Di dalam arti praktis, wacana politik muncul sebagai konsekuensi perjuangan politik yang semakin kacau di tingkat lokal maupun nasional. Misalnya, pada saat Pilkada DKI Jakarta yang mengandung aroma praktik politik identitas yang perlahan tapi pasti kemudian berhasil ke tingkat nasional. Di dalam istilah luas, istilah politik post-truth di Indonesia yang dalam prakteknya cenderung pada sikap diskriminatif atas nama simbol dan agama bisa dianggap sebagai metamorphosis pandangan politik dan praktek Islamophobia.
Di Indonesia, politik Islamophobia bukan hal baru. Keberadaannya sudah lama dibicarakan banyak orang, terutama pada era reformasi. Saat itu, istilah Islamopobia bisa dipahami sebagai tanggapan dari kelompok tertentu terhadap praktik radikalisme dan terorisme oleh kelompok Islam sayap kanan. Saat ini, di tengah maraknya politik post-truth dan meluasnya politik identitas, narasi Islamophobia muncul dengan semakin banyak variasi. Islamophobia tidak lagi diposisikan sebagai subjek politik, namun juga objek politik.
Narasi Islamophobia dalam Politik Post-truth
Istilah post-truth pertama kali diciptakan oleh Steve Tesich dalam karyanya yang berjudul “The Government of Lies” tahun 1992. Secara umum, karya Tesich mengkritik kebijakan pemerintah Amerika Serikat, seperti yang terkait dengan kebijakan Iran selama pemerintahan Presiden Ronald Reagan dan kebijakan Perang Teluk selama pemerintahan George W. Bush. Tesich mendefinisikan post-truth sebagai situasi di mana objektivitas dan kebenaran mengalai kontraksi dan distorsi karena pengaruh dari keyakinan dan perasaan pribadi. Efek negative dari penyalahgunaan politik post-truth membentuk perpecahan antara akal dan keyakinan. Kondisi ini pada dasarnya sama dengan perilaku Islamophobia dimana keduanya menunjukkan tidak adanya rasionalitas dalam melihat kenyataan dengan jelas dan objektif, serta keduanya menyebabkan ketakutan yang berlebihan.
Post-truth dalam Politik Indonesia
Di Indonesia, tanda post-truth adalah kemunculan politik yang ditandai dengan pergeseran narasi politik ditingkat tertentu terhadap isu vis a vis identitas primordial, seperti isu mengenai agama, kelompok minoritas, kelas sosial, dan kelompok etnis tertentu. Terdapat tiga gejala politik post-truth yang terjadi sepanjang tahun 2016-2019. Pertama, politisasi identitas yang tergambar jelas pada Pilkada DKI tahun 2017. Di tengah manuver politik yang semakin memalukan para elit dan perluasan hegemoni kapitalisme global, penggunaan politik identitas tidak hanya memicu perilaku intoleran di kalangan politisi tetapi juga menyimpang dan menargetkan orang-orang di tingkat akar rumput. Sayangnya, intoleransi yang selama ini identik dengan eksistensi Ormas Islam sayap kanan, akhir-akhir ini menyasar kelompok Islam lain bahkan yang dianggap semakin moderar seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.
Kedua, politisasi agama. Saat ini, sistem politik Indoensia telah “melompat”, dari semi-presidensial menjadi sistem presidensial multi partai, dan agama masih menemukan ruangnya dalam politik. Sebab, sejak dibukanya sistem demokrasi, ruang dan panggung politik menjadi lebih terbuka dan dinamis. Sehingga, semua gerakan politik lintas ideologi dapat mengambil bagian dengan bebas. Hal ini juga termasuk gerakan politik berdasarkan Islam. Politisasi agama merupakan konsekuensi logis perebutan kekuasaan yang bebas baik di tingkat lokal atau nasional. Di dalam perebutan kekuasaan di Indoensia, penggambaran mengenai politisasi agama secara gamblang tercermin dalam berbagai politik daerah, salah satunya Pilakda DKI 2017.
Ketiga, politisasi data. Jika ditinjau dari semua bentuk propaganda politik post-truth, fenomena politisasi data bisa dibilang bentuk yang paling mungkin untuk menghindari publik. secara umum, politisasi data memang lebih lazim di negara maju, namun di negara berkembang juga kerap kali terjadi. Misalnya, di Indonesia, wacana politisasi data satu juta pengguna Facebook di Indonesia yang bocor.
Islamophobia dan Perebutan Kekuasaan di Indonesia
Di Indonesia, istilah Islamophobia hanya populer selama transisi politik pemerintahan, tepatnya dari semi presidensial menjadi sistem presidensial multipartai. Kerusuhan politik nasional yang dipengaruhi oleh ketidakstabilan geopolitik internasional dan meningkatnya teror agama, seperti peristiwa World Trade Center pada 11 September 2001, telah berpengaruh terhadap kebangkitan Islamophobia. Saat itu, wacana Islamophobia di Indonesia menjadi tujuan guna menanggapi dan mengidentifikasi dua hal. Pertama, munculnya politik gerakan berdasarkan ideologi Islam yang bersifat transnasional guna menciptakan sistem politik kekhalifahan teokratis. Kedua, munculnya teroris sayap kanan, kelompok fundamentalis dan radikal Islam yang berusaha melawan hegemoni barat dan dominasi politik dengan menyebarkan teror.
Kesimpulan
Kembalinya narasi Islamophobia di Indonesia dapat dilihat dari tiga hal. Pertama, penggunaan politik post-truth berpangkal dari politisasi agama dan etnisitas tidak hanya mencemari demokrasi di Indonesia tetapi juga mengancam struktur nasional. Kedua, narasi politik post-truth yang mengeksploitas rasisme, diskriminasi, intimidasi dan ujaran kebencian memiliki dampak negatif. Ketiga, kebangkitan Islamophobia akibat penyalahgunaan politik post-truth dalam kontestasi kekuasaan di Indonesia terlihat dari meningkatnya perilaku intoleran, dimana mayoritas merasa berhak didahulukan, dan pada saat yang sama mengharuskan minoritas untuk mematuhi. Penelitian tersebut menekankan bahwa fenomena Islamophobia beberapa tahun terakhir merupakan hasil dari kontestasi kekuasaan yang “tidak sehat”. Oleh sebab itu, iklim politik ke depan masih menggunakan metode klasik yang bertumpu pada politisasi agama dan “kerabatnya”, sehingga akan berimplikasi pada kebenaran dan wacana mengenai Islamophobia di publik.